Shailendra pun akhirnya menghampiri Marko. Letak tempat di dalam hall ini tentu saja ia sudah hafal, bagaimana tidak? Hampir setiap hari ia diajak melihat Marko—suaminya latihan baseball.
Shailendra menuruni tribun dengan perasaan berkecamuk. Entah sedikit takut, sedikit senang, dan sedikit ya.. berantakan. Terus muncul dibenaknya pertanyaan, “Ya kali gitu disini?”, tapi meskipun begitu, ia tetap menghampiri Marko-nya karena kini kakinya sudah mengarahkannya hingga berada di depan locker room pemain baseball U Team.
Ia memasuki locker room itu perlahan-lahan. Takut jika masih ada anggota U yang lain di dalam sana, sangat tidak sopan kan apabila ia masuk begitu saja?
Saat ia mengintip dan mendapati tidak ada siapa-siapa di dalam, ia langsung masuk. Menyusuri ruangan yang tak seberapa besar itu dengan nafas dan degup jantung yang sama-sama kencang berderunya.
“Ka?” panggilnya pelan.
Karena tak kunjung menemukan presensi Marko, Shailendra memberanikan diri mengintip satu persatu bilik yang ada di sana.
“Kaka? Ini aku.. udah disini..” katanya lagi.
Saat sampai di bilik ke 6, lengannya dicekal kuat kemudian badannya ditarik masuk ke dalam salah satu bilik tersebut.
Shailendra kaget namun posisinya kini masih membelakangi Marko. Tubuhnya dihimpit Marko dari belakang, lengannya pun masih setia berada dalam cekalan Marko.
“Ka...” sambil menolehkan kepalanya ke belakang.
“Lama banget?” protes Marko.
“Maaf..”
“I miss you, Ca, paham gak sih?”
“Iya, Ka, tau.. maaf akunya lama..”
Karena tak tega melihat kesayangannya dengan posisi yang tak nyaman, Marko melepaskan cekalan tangannya kemudian memutarbalik tubuh Shailendra hingga sepenuhnya menghadap ke arahnya.
Shailendra menunduk, takut tatapnya bertemu dengan yang sedang berapi-api di depannya.
“Look at me.” pinta Marko.
Shailendra mendongakkan kepala perlahan.
Belum sepenuhnya ia mendongak, Marko lebih dulu meraup bibirnya tergesa-gesa.
“Hmph..”
Sekali dua kali tergesa, terus-terusan tergesa bahkan hingga kepalanya bergerak kesana kemari mencari posisi terbaik.
“I missed you so much.” ucap Marko di sela pagutan itu. Shailendra membuka matanya sebentar kemudian mengangguk cepat seperti mengatakan, “Iya aku tau.”
“Maaf aku tergesa-gesa,” ucap Marko, dahi keduanya masih menempel. Keduanya pun bisa merasakan deruan nafas satu sama lain karena hasil pagutan yang tergesa-gesa sebelumnya.
“It's okay, Ka. Sekarang kaka maunya apa?”
“Aku boleh buka bajunya? Pengen nen, Ca.” ucapnya sambil melempar tatap memohon.
Jujur saja Shailendra kaget, Marko itu bukan tipe yang suka beginian di tempat umum. Tapi siapalah ia bisa menolak Marko?
Shailendra pun mengangguk.
“Gigit aja deh, Bajunya, gak usah dibuka,” ucap Marko. “Gigit.” katanya yang kemudian dituruti oleh Shailendra.
Kaos putih yang sudah terangkat ke atas itu pun kini menampilkan dua tonjolan merah kesayangan Marko—yang entah sejak kapan menegang.
Langsung diraup oleh Marko seakan tak ada hari esok. Pertama hanya dikecup ringan saja, namun lama-kelamaan menjadi lumatan, hisapan, dan gerakan abstrak yang tentu saja membuat Shailendra kegelian.
Yang sebelah kiri dihisap yang sebelah kanan dimainkan dengan ibu jari. Ditusuk-tusuk bagian tengahnya dan sesekali membentuk lingkarang imajiner di sana.
“Mmhh, Kaka..”
Karena tak tahan oleh afeksi yang ia dapatkan, Shailendra mulai berani memajukan pinggulnya. Semenjak putingnya diraup habis oleh Marko, tubuh bagian bawahnya sama sekali tak bisa diam. Ingin disentuh juga sepertinya.
“Mmhh, jangan digigit..” lenguhnya lagi, suaranya tak seberapa jelas karena kaos yang masih ada di cengkeraman mulutnya.
Slurppp!
Saat Marko meraup habis puting miliknya, Shailendra reflek membawa telapak tangannya untuk ia jadikan penutup dan peredam suara kotornya. Afeksi yang diberikan Marko sungguh tiada duanya, tapi ia ingat kalau mereka sedang berada di tempat umum, ia harus menahan lenguhannya. Padahal sudah sambil menggigit kaosnya tapi tetap saja masih keras lenguhan yang dihasilkannya.
Marko selesai dengan kegiatannya, kini kembali menatap kekasihnya yang sudah berantakan. Puting mencuat yang memerah, rambut sedikit berantakan, dan kaos yang masih setia digigit kencang membuat nafsunya meroket luar biasa.
“Celananya dibuka juga, boleh?”
“Nanti ditaruh ma-mana, Ka, takut ada orang masuk...” balasnya sambil mencengkram lengan kekar Marko yang sedang memainkan pinggang rampingnya.
“Taruh di tempat duduk situ, gampang.”
Shailendra akhirnya setuju.
Setelah melepas celana jeans dan dalaman Shailendra, Marko terkesiap. Menatap seseorang di kukungannya dengan tatap lapar. “I don't wanna fuck you from behind, maaf ya, jadi aku harus lepas celananya.” ucapnya.
“Kaki satunya angkat ya? Pegangan aku biar gak capek.” ucap Marko lagi sambil menuntun Shailendra.
Saat satu kakinya sudah diangkat, Marko mulai menjelajahi bagian bawah Shailendra menggunakan tangannya.
Foreplay sebentar.
Merasakan lubang Shailendra sedikit melonggar, Marko tersenyum mirik.
“Clean already?” tanyanya.
“Mmh,” balas Shailendra sambil mengangguk.
“I thought we gonna do the prep longer, ternyata kamu udah prep sendiri. Siapa yang nyuruh?”
“Just in case aja—ahhh, Ka..”
Dua jemari panjang Marko tiba-tiba masuk ke lubangnya.
“Langsung masuk bisa nih,”
“Then go inside me.” titah Shailendra.
“Ini bajunya, siapa yang suruh berhenti gigit?” tanya Marko mengintimidasi.
“Ma-maaf.. Mmhhh.” lenguhnya, posisi berdirinya semakin tak karuan karena Marko memperdalam tusukan jarinya di bawah sana.
Shailendra menggigit bajunya lagi.
Marko selesai dengan foreplaynya dan kini ia membuka gesper celananya. Shailendra yang menyaksikan itu hanya memejamkan matanya, ia takut ada seseorang tak sengaja masuk ke ruangan itu.
“Don't be afraid, it's okay.” ucap Marko kemudian memberi kecup kupu-kupu di bibir Shailendra.
“Aku masuk ya? Pegangan lagi sini.” ucapnya sambil mengarahkan tangan Shailendra ke pundaknya.
Mereka tak pernah melakukannya sambil berdiri, jelas Shailendra tak tahu bagaimana rasanya. Kepala penis Marko masuk, namun karena merasa terlalu lama, Marko mendorong penisnya hingga terbenam seluruhnya disana.
“Shit..” umpatnya. Akhirnya bisa ia rasakan lagi surgawi milik Shailendra, setelah beberapa bulan tak saling menyapa.
“Sakit, Kaka.” pekik Shailendra.
Marko reflek mencium punggung Shailendra, memberi ketenangan sambil menunggu persetujuan Shailendra untuk bergerak lebih jauh.
“Udah. Gerak aja.” katanya.
Marko pun mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Suara kotor antar tabrakan kulit pun dapat terdengar sedikit menggema di sekitaran ruangan itu.
“Aaahh ah ah ah, mmhh,”
“Mmhh, marko—”
“Mmhh ahh ah disitu disitu, marko marko marko,”
Marko menatap mata Shailendra, “Feel good?” tanyanya tak tahu diri.
“Mmhh iya, enak banget. Ahh!”
Saat keduanya asik berbagi desahan,
“Aduh anjing gue cape banget.”
Marko menatap Shailendra melotot, itu suara Jeano.
“Buru kalo mau pipis, Jen. Gue males disini lama-lama, gerah anying.”
Ternyata ada seseorang lain, itu Satria.
Shailendra berbisik, “Kaka.. mmhh,”
Jangan kalian pikir Marko akan berhenti, jawabannya adalah tidak. Yang seperti ini justru menguji adrenalinenya.
“Udah hayu.” ajak Jeano pada Satria saat selesai buang air kecil.
“Udah pergi merekanya, Sayang. Boleh teriak lagi.” ucap Marko kembali mempercepat dorongannya, putihnya sampai sebentar lagi.
“Aku mau keluarhh..” ucap Shailendra sambil mencengkeram leher Marko, mencari friksi lain yang belum ia dapatkan.
“Kiss me.” pinta Shailendra.
Marko pun memajukan kepalanya mendekat ke arah Shailendra, karena masih bergerak maju-mundur, pagutan yang dihasilkan berantakan. “Close, close, close.” ucap Marko menempelkan dahinya pada milik Shailendra dan memejamkan matanya.
“Fuck, fuck!”
Keduanya pun menjemput putih bersamaan.
Marko keluar di dalam, seperti biasa.
“Thank you, Baby.“
“Huhhh capek!” rajuk Shailendra saat Marko selesai mengeluarkan kepemilikannya dari sana.
Marko kembali mengaitkan kancing celananya, merapikan rambut Shailendra, dan membantunya memakai celananya.
“Maaf, Sayang. I'll pay for it. Okay? Maaf ya kalo aku seenaknya sendiri, maaf ya? Dimaafin gak?” tanyanya sambil merapikan kaos Shailendra yang masih menceng tak karuan.
“Ini kalo aku hamil lagi, salah Kaka ya.”
Marko terkekeh.
“Kita pulang. Ke parkirannya aku gendong aja.”
;
Mereka gak tau aja dari tadi Satria masih di dalem salah satu bilik disitu, karena tadi waktu di ajak Jeano balik malah gantian dia yang kebelet pipis.
Mampus Marko, Eca.