tuanmudalee

Perjalanan dari tongkrongan Farrel ke kos Heaven cukup dekat, maka Heaven dengan cepat bernisiatif untuk menyetir mobil Farrel—mengingat keadaan Farrel yang tak memungkinkan.

“Ternyata ini alesan lu gak ada bales chat gue dari pagi, tumbenan banget.” sindir Heaven sambil berjalan mengambil kotak P3K yang terletak di kamar mandi kosnya.

Farrel sama sekali tak membalas pernyataan yang dikatakan Heaven karena sibuk meringis merasakan cenat-cenut di pelipis dan rahangnya—pukulan Karrel tak main-main kerasnya rupanya.

“Kenapa diem aja? Sakit?” tanya Heaven sambil kembali mendudukkan dirinya di depan Farrel.

Farrel mengangguk.

“Mampus.” sahut Heaven sambil mulai menuangkan obat merah ke beberapa helai kapas di gengamannya.

“Sakit, Ven.” rengek Farrel saat Heaven mulai menutulkan kapas itu ke luka di wajah tampannya.

“Diem dulu.” perintah Heaven.

“Ssstttt aaww..” rintih Farrel lagi.

Jujur, Heaven tak tega melihat Farrel terus-terusan merintih kesakitan. Tapi kalau tak segera diobati, bisa infeksi. Nanti wajah tampannya jadi ternodai.

Lah? Mikir apa sih gue?

Batin Heaven.

“Ven, udah ya? Sakiittt.” pinta Farrel sambil memohon, luka kebiruan di rahang dan pelipisnya memang sesakit itu. He even couldn't resist it.

“Dikit lagi, dikiiitttt.” balas Heaven sambil memperagakan gestur 'sedikit' dengan kedua jari tangannya.

“Ven..” sela Farrel sambil membolakan matanya, merayu Heaven agar menghentikan kegiatannya.

“Ergh ya ya okay, selesai.” sahut Heaven pasrah kemudian menjauhkan kapas itu dari wajah Farrel.

Farrel tak bergeming, kepalanya tertunduk sambil tangannya memegangi bekas lukanya.

Apa lagi yang gue gak tau dari lo, Augie?

Merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan Heaven yang sama sekali tak teralihkan, Farrel buka suara.

“Karrel itu adek gue.”

Heaven terbelalak.

Sungguh matanya seakan bisa lepas dari tempatnya sekarang juga.

“Darrelzeno itu juga adek gue. Darrel yang pertama, Karrel yang kedua.”

Heaven semakin terbelalak.

Ketika melihat raut kaget Heaven, Farrel justru menganggap itu lucu dan menggemaskan. Dicubitlah akhirnya pipi gembil Heaven.

“Biasa aja kali reaksinya.” katanya.

“Dih sakit tau!” protes Heaven sambil mengusap-usap bekas cubitan Farrel.

“Kenapa diem doang? Mau tanya apa ke gue?”

Heaven terdiam sebentar.

“Terus kenapa dia nonjokkin lu?”

Pertanyaan retoris, yang sudah Farrel duga akan keluar dari mulut Heaven.

Farrel hanya mengerdikkan bahu.

“Lah?”

“Cemburu kayanya sama gue,” tukas Farrel.

“Oalah..”

Heaven tak mau bertanya lagi, ia merasa itu bukan haknya. Biarkan permasalahan Farrel dengan Karrel jadi urusan mereka. Ia tak perlu tahu.

“Cemburu kali. Gue bisa deket-deket sama lo, but he can't.” sambar Farrel kemudian menatap Heaven disertai senyum mirik di wajah luka-lukanya.

“Keluarga aneh.” sahut Heaven pura-pura cuek demi menyembunyikan rona merah muda di pipinya.

“Luka gue sakit, Ven.” titah Farrel.

“Ya terus? Siapa suruh minta stop diobatinnya.”

Kiss dong biar sembuh.”

“GUE TAMPOL AJA SINI ANJING.” sahut Heaven kemudian menyerang Farrel dengan bantal di kasurnya.

“Aw, aw, sakit. Ampun, ampunnn.”

Setelah Heaven berhenti dengan aksinya, Farrel kini giliran menatap sosok menggemaskan di depannya lamat-lamat.

Kapan ya lo bisa jadi milik gue?

Asik bersenda gurau sambil mematik sigaret entah yang ke berapa kali di tempat biasa, Farrel tiba-tiba terhuyung saat kerah bajunya ditarik oleh seseorang. Membuat posisinya yang tadinya duduk jadi berdiri.

“Apaan sih anjing?” protesnya.

Orang-orang di sekelilingnya langsung memfokuskan pandang pada Farrel.

“Ngomong, Bang, ngomong.” ucap lawan bicaranya, masih setia mencengkeram kerah baju Farrel.

We could fix this when we got home, De,”

“Jangan malu-maluin gue.” tambah Farrel namun kali ini berbisik.

Ya, benar. Yang mencengkeram kerah bajunya secara tiba-tiba adalah Karrel.

Datang ke tongkrongan sang kakak dengan perasaan tak karuan, alis yang saling bertautan, dan tangan yang terlihat sangat kuat kepalannya.

“Lepasin.” perintah Farrel.

“Ah anjing!”

BUGH!

Bukannya melepas Farrel, Karrel justru melayangkan satu pukulan yang cukup kuat di pipi kiri Farrel. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, Karrel hanya kesal kali ini.

Mengetahui pukulan yang dilayangkan Karrel cukup keras, Farrel terjatuh ke lantai. Sambil berdiri sempoyongan, Farrel melempar tatap mematikan pada lawan bicaranya.

“Lo yang anjing, sini lo bangsat!”

BUGH!

Telak.

Kesabaran Farrel terkuras habis. Farrel akhirnya membalas pukulan itu tak kalah keras dan tentu saja membuat Karrel terjatuh dalam sekejap.

“Gue bahkan belum tutup mulut buat nyuruh lo supaya jangan bikin malu, tapi ternyata isi kepala lo ini..” sambil mendorong kepala Karrel dengan jari telunjuknya, “.. emang masih kekanakan. Main, main, dan main isinya. Annoying tau gak lo?” ucapnya.

Karrel menundukkan kepalanya sedikit.

Malu.

“Soal apa yang mau gue omongin kemarin, kan bisa nanti lagi dibahasnya? Lo kenapa sih ngebet banget sampe nyerang gue kaya gini? Bagus lo bertingkah kaya gitu ke abang lo sendiri hah?” tanya Farrel, nadanya meninggi, bahkan urat-urat di lehernya mulai bermunculan.

Saat hendak meraih kaos Karrel, kedua lengannya ditahan Darrel—adiknya yang pertama.

“Bang, udah, Bang. Diliat orang gak enak, udah.” katanya.

“Lepasin, Dar.”

“Bang..”

“LEPAS.”

Darrel pun menyerah, Farrel memang tak bisa dibantah apabila ia sudah marah. Merasa tak bisa mengehentikan Farrel sendirian, Darrel meminta satu-persatu teman yang duduk satu meja dengannya dan Farrel untuk menahan juga.

Bryan sudah,

A heng sudah,

Rean sudah,

Nanda pun juga.

Tapi tak ada yang berhasil, Farrel semakin menjadi. Jangan tanyakan keadaan Karrel, tentu tak baik-baik saja. Namun terlepas dari itu, Farrel tidak menyakiti Karrel melebihi batas yang sudah ia tentukan. Karrel tetap adiknya dan sekalipun Farrel benci, Farrel tak akan menyakiti Karrel lebih dari ini.

“Gua telfon Heaven ajalah anjing, cape sendiri liatnya.” sela Nanda setelah berbagai cara sia-sia dilakukan.

“Emang mempan?” sahut Darrel sambil mengernyitkan dahinya.

“We'll see.”

;

“Pukul lagi, Bang. Belum puas kan?”

“Mana bisa gue puas dari tadi gue cuma mukul lo 4x.” sahut Farrel ketus sambil mencengkeram kaos Karrel untuk yang kesekian kalinya.

Saat hendak melayangkan pukulan,

“WOI AUGIE!”

Suara itu menginterupsi pendengarannya.

Farrel pun reflek mengendurkan cengkeramannya ketika melihat Heaven berjalan semakin dekat ke arahnya.

“Ven..” panggilnya linglung.

Heaven menatap dua anak adam itu secara bergantian.

Karrel,

Farrel,

Karrel,

Farrel.

“Lepasin.” perintahnya pada Farrel.

“Ven,”

“Lepas, Augie.”

Setelah menghela nafas pasrah, Farrel melepas cengkeraman itu kemudian kepalanya tertunduk menatap ujung sepatunya.

“Ikut gue.” ajak Heaven sambil menggandeng lengan kekar milik Farrel.

Saat Farrel berhasil dibawa pergi dari situ, keadaan sekitar yang tadinya tegang, shock, dan khawatir langsung hening dalam sekejap.

Fyuh...” pekik Rean.

“Augie saha anyingg???” sela Aheng sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Apa juga gue bilang.” ucap Nanda melirik Darrel kemudian menaik-turunkan alisnya.

“Abang lu aneh banget, Dar, demi.” sambar Bryan.

Darrel yang diajak bicara hanya melongo. Heaven berhasil menaklukkan kakaknya yang sedang dipenuhi kobaran api kemarahan hanya dengan satu kata, lepasin.

Bukan karena apa-apa, tapi perasaan seorang Farrel memang tak bisa dibantah lagi eksistensinya. Sayang sekali ia dengan sosok yang lebih muda satu tahun darinya itu, Heaven yang dengan tiba-tiba mengabarinya di tengah kekhawatirannya yang menyeruak pukul 12 malam sama sekali tak membuat Farrel gentar.

Sesampainya Farrel di Starbucks Graha Pena, ia memasuki tempat itu dengan langkah acak. Pundaknya tertabrak pintu, menyenggol orang yang berpapasan, bahkan sempat tersandung pembatas.

Sedangkan Heaven yang melihat Farrel berjalan gupuh pun hanya mengulas senyumnya, entah ada perasaan yang membuatnya merasa sangat spesial ketika ia bersanding dengan sosok Farrel.

“Augie!” sapanya sambil melambaikan tangan.

Langkah acak Farrel terhenti sebentar ketika tatapnya bertemu dengan jelaga kecokelatan kesayangannya. Menghela nafas panjang dan mengulas senyum dengan siratan penuh kekhawatiran.

“Ven, ya Tuhan,” katanya sambil menghampiri Heaven dengan langkah acaknya lagi.

Basa-basi bukan kebiasaan Farrel, maka ketika Heaven berada tepat di depannya, dengan cepat Farrel meraih daksa yang lebih kecil itu dalam rengkuhannya. Tak peduli apa yang akan Heaven katakan setelah ini, yang penting Farrel bisa memastikan ucapannya soal “I just wanna make sure you're safe, especially in my arms”.

Awalnya Heaven terbelalak dengan tindakan Farrel, namun ketika dekapan yang ia rasakan kian mengerat, Heaven lagi-lagi hanya tersenyum. Sepenting itu ternyata eksistensinya buat Farrel?

“Erat banget ini, Gie, meluknya.” ledek Heaven.

Just wanna make sure you're okay.” balasnya sambil mengusap punggung yang lebih mungil.

“Kenapa sih, Ven? Ada apa?” tanya Farrel.

Heaven terkekeh pelan tapi Farrel dapat mendengar itu.

“Bagus lo ketawa kaya gitu, ini gue lagi tanya loh?” tanya Farrel ketus.

“Umumumu malah-malah anaknya.”

“Lepas dulu peluknya baru gue cerita.”

“Bentar deh, ntaran aja ceritanya. Peluk dulu 3 menitan.” sela Farrel.

“MODUSS JELEKKKKK!!” protes Heaven tapi sama sekali tak berniat melepas dekapan itu.

;

“Kenapa, Gie?” tanya Heaven setelah keduanya sudah dalam posisi ternyaman—pastinya sudah melepas dekap sedari tadi.

“Harusnya gue, Cil, yang tanya gitu.” sahut Farrel sambil mengusak surai Heaven.

“Kenapa, hm?” tanya Farrel.

I don't know. I just.. need some time alone, I guess?”

Tell me.” sahut Farrel.

Is it okay kalo gue cerita? Gue gak mau nambah-nambahin pikiran lu.”

Totally okay, Cil.”

“Gue cape, Gie,”

“Kayanya..”

“Kok kayanya?”

“Ya gue gak tau kenapa, bisa-bisanya gue ngerasa cape banget padahal ini terjadi gak sekali dua kali,”

“Gue dituntut untuk jadi yang paling baik, gue dituntut untuk jadi yang bisa menghasilkan ini lah itu lah. Gue sampe belain daftar asdos demi nambah-nambahin pemasukan ibu dan adek-adek gue. Tapi ternyata balasan yang gue dapet gak sekeras usaha yang gue lakuin.”

Farrel memasang raut bingung.

“Gue kasih hampir semua pemasukan yang gue dapet ke ibu dan adek-adek gue, tapi ibu masih aja nganggep gue gak berguna, duit yang gue kasih kurang lah apa lah. Cape, Gie, gue kan juga manusia, gue bisa cape juga.”

Farrel mengangguk memberi tanda bahwa Heaven bisa melanjutkan ucapannya.

“Gue salah ya, Gie, kalo ngeluh kaya gini? Padahal kan ini juga buat orang tua gue.”

“Udah?” tanya Farrel.

Heaven mengangguk.

First of all, Heaven gue mungkin bukan siapa-siapa lo tapi gue mau bilang makasih karena lo udah kerahin semua usaha dan tenaga yang lo punya buat ibu dan adek-adek lo. Gue gak tau tuntutan kaya apa yang selama ini lo hadapi, tapi you did great, Ven, karena lo udah sampe disini sekarang.

Lo boleh capek, lo berhak capek, dan lo berhak ngeluh. Gue kalo jadi lo pasti juga bahkan ngelakuin hal yang sama karena kita disini statusnya masih sebagai anak, kita masih harus belajar, menuntut ilmu tapi kenapa di sisi lain kita malah disuruh nopang hidup orang tua kita? Semua orang juga tau kalo itu bukan kewajiban kita. Tapi ketika kita ada di keadaan yang gak memungkinkan, kita mau gak mau harus ngejalanin semuanya, kita harus mau liat sisi terbawah hidup kita karena kalo bukan kita yang tanggung jawab atas keluarga kita, bakalan siapa lagi?

Gue mungkin gak tau perasaan apa yang lo rasain sekarang tapi gue harap lo kuat terus ya? Bukannya gue memperlakukan lo layaknya robot, tapi lo harus inget kalo ada jiwa-jiwa yang lagi menopangkan hidupnya di pundak lo. Pundak lo yang kuat ini jangan sampe runtuh, karena kalo runtuh bakal ke siapa mereka bertopang?

Lo sayang ibu dan adek-adek lo kan?”

Heaven menundukkan kepalanya sedalam mungkin, memejamkan matanya erat, tak peduli akan sederas apa air matanya lolos, ia hanya ingin menangis malam itu.

It's okay, it's okay to cry.” ucap Farrel sambil membelai lembut punggung tangan Heaven yang kini mengenggam erat ujung sweaternya.

“Gue egois ya, Gie? Hiks,”

No you aren't, Heaven.”

“Gue harus apa—hiks—Gie?”

Tangisan yang kian mengeras dan tubuh yang kian kencang bergetar, Farrel berinisiatif menuntun Heaven ke dekapannya, lagi.

“Sini, jangan nangis sendirian. Bagi semua rasanya ke gue.” ucapnya sambil mengusap-usap tengkuk leher Heaven.

“Lo mau tau apa yang harus lo lakuin?” tanya Farrel.

Heaven mengangguk dalam dekapannya.

“Kuat, Ven.”

If you keep your shoulder strong, they're safe. And I hope that this shoulder will never get tired of protecting people from anything terrible in the world. You must believe in yourself, Ven.” ucapnya sambil menegakkan pundak Heaven dengan kedua tangannya.

“Hey, face me like you face all of your fears. Coba gue mau liat mukanya.”

Heaven perlahan mendongak.

Farrel melempar senyum setenang embun pagi, tatapnya kian melembut tiap kali bersirobok dengan tatap milik Heaven.

“Gue boleh minta peluk lagi?” tanya Heaven, matanya membola seakan memohon didekap untuk yang kesekian kali.

Farrel tersenyum, “With pleasure.” sambil merentangkan kedua tangannya.

Nyatanya dua anak adam itu sama-sama menderitanya. Menderita karena jadi yang pertama, menderita karena dituntut jadi yang paling sempurna, dan menderita karena harus punya punggung yang kuat tiada duanya. Tapi entah Heaven atau Farrel yang lebih beruntung, karena keduanya selalu bertemu di waktu yang tepat, sehingga jika salah satunya terluka yang satunya bantu membasuh dan menerka.

Shailendra pun akhirnya menghampiri Marko. Letak tempat di dalam hall ini tentu saja ia sudah hafal, bagaimana tidak? Hampir setiap hari ia diajak melihat Marko—suaminya latihan baseball.

Shailendra menuruni tribun dengan perasaan berkecamuk. Entah sedikit takut, sedikit senang, dan sedikit ya.. berantakan. Terus muncul dibenaknya pertanyaan, “Ya kali gitu disini?”, tapi meskipun begitu, ia tetap menghampiri Marko-nya karena kini kakinya sudah mengarahkannya hingga berada di depan locker room pemain baseball U Team.

Ia memasuki locker room itu perlahan-lahan. Takut jika masih ada anggota U yang lain di dalam sana, sangat tidak sopan kan apabila ia masuk begitu saja?

Saat ia mengintip dan mendapati tidak ada siapa-siapa di dalam, ia langsung masuk. Menyusuri ruangan yang tak seberapa besar itu dengan nafas dan degup jantung yang sama-sama kencang berderunya.

“Ka?” panggilnya pelan.

Karena tak kunjung menemukan presensi Marko, Shailendra memberanikan diri mengintip satu persatu bilik yang ada di sana.

“Kaka? Ini aku.. udah disini..” katanya lagi.

Saat sampai di bilik ke 6, lengannya dicekal kuat kemudian badannya ditarik masuk ke dalam salah satu bilik tersebut.

Shailendra kaget namun posisinya kini masih membelakangi Marko. Tubuhnya dihimpit Marko dari belakang, lengannya pun masih setia berada dalam cekalan Marko.

“Ka...” sambil menolehkan kepalanya ke belakang.

“Lama banget?” protes Marko.

“Maaf..”

I miss you, Ca, paham gak sih?”

“Iya, Ka, tau.. maaf akunya lama..”

Karena tak tega melihat kesayangannya dengan posisi yang tak nyaman, Marko melepaskan cekalan tangannya kemudian memutarbalik tubuh Shailendra hingga sepenuhnya menghadap ke arahnya.

Shailendra menunduk, takut tatapnya bertemu dengan yang sedang berapi-api di depannya.

Look at me.” pinta Marko.

Shailendra mendongakkan kepala perlahan.

Belum sepenuhnya ia mendongak, Marko lebih dulu meraup bibirnya tergesa-gesa.

“Hmph..”

Sekali dua kali tergesa, terus-terusan tergesa bahkan hingga kepalanya bergerak kesana kemari mencari posisi terbaik.

I missed you so much.” ucap Marko di sela pagutan itu. Shailendra membuka matanya sebentar kemudian mengangguk cepat seperti mengatakan, “Iya aku tau.”

“Maaf aku tergesa-gesa,” ucap Marko, dahi keduanya masih menempel. Keduanya pun bisa merasakan deruan nafas satu sama lain karena hasil pagutan yang tergesa-gesa sebelumnya.

It's okay, Ka. Sekarang kaka maunya apa?”

“Aku boleh buka bajunya? Pengen nen, Ca.” ucapnya sambil melempar tatap memohon.

Jujur saja Shailendra kaget, Marko itu bukan tipe yang suka beginian di tempat umum. Tapi siapalah ia bisa menolak Marko?

Shailendra pun mengangguk.

“Gigit aja deh, Bajunya, gak usah dibuka,” ucap Marko. “Gigit.” katanya yang kemudian dituruti oleh Shailendra.

Kaos putih yang sudah terangkat ke atas itu pun kini menampilkan dua tonjolan merah kesayangan Marko—yang entah sejak kapan menegang.

Langsung diraup oleh Marko seakan tak ada hari esok. Pertama hanya dikecup ringan saja, namun lama-kelamaan menjadi lumatan, hisapan, dan gerakan abstrak yang tentu saja membuat Shailendra kegelian.

Yang sebelah kiri dihisap yang sebelah kanan dimainkan dengan ibu jari. Ditusuk-tusuk bagian tengahnya dan sesekali membentuk lingkarang imajiner di sana.

“Mmhh, Kaka..”

Karena tak tahan oleh afeksi yang ia dapatkan, Shailendra mulai berani memajukan pinggulnya. Semenjak putingnya diraup habis oleh Marko, tubuh bagian bawahnya sama sekali tak bisa diam. Ingin disentuh juga sepertinya.

“Mmhh, jangan digigit..” lenguhnya lagi, suaranya tak seberapa jelas karena kaos yang masih ada di cengkeraman mulutnya.

Slurppp!

Saat Marko meraup habis puting miliknya, Shailendra reflek membawa telapak tangannya untuk ia jadikan penutup dan peredam suara kotornya. Afeksi yang diberikan Marko sungguh tiada duanya, tapi ia ingat kalau mereka sedang berada di tempat umum, ia harus menahan lenguhannya. Padahal sudah sambil menggigit kaosnya tapi tetap saja masih keras lenguhan yang dihasilkannya.

Marko selesai dengan kegiatannya, kini kembali menatap kekasihnya yang sudah berantakan. Puting mencuat yang memerah, rambut sedikit berantakan, dan kaos yang masih setia digigit kencang membuat nafsunya meroket luar biasa.

“Celananya dibuka juga, boleh?”

“Nanti ditaruh ma-mana, Ka, takut ada orang masuk...” balasnya sambil mencengkram lengan kekar Marko yang sedang memainkan pinggang rampingnya.

“Taruh di tempat duduk situ, gampang.”

Shailendra akhirnya setuju.

Setelah melepas celana jeans dan dalaman Shailendra, Marko terkesiap. Menatap seseorang di kukungannya dengan tatap lapar. “I don't wanna fuck you from behind, maaf ya, jadi aku harus lepas celananya.” ucapnya.

“Kaki satunya angkat ya? Pegangan aku biar gak capek.” ucap Marko lagi sambil menuntun Shailendra.

Saat satu kakinya sudah diangkat, Marko mulai menjelajahi bagian bawah Shailendra menggunakan tangannya.

Foreplay sebentar.

Merasakan lubang Shailendra sedikit melonggar, Marko tersenyum mirik.

Clean already?” tanyanya.

“Mmh,” balas Shailendra sambil mengangguk.

I thought we gonna do the prep longer, ternyata kamu udah prep sendiri. Siapa yang nyuruh?”

Just in case aja—ahhh, Ka..”

Dua jemari panjang Marko tiba-tiba masuk ke lubangnya.

“Langsung masuk bisa nih,”

Then go inside me.” titah Shailendra.

“Ini bajunya, siapa yang suruh berhenti gigit?” tanya Marko mengintimidasi.

“Ma-maaf.. Mmhhh.” lenguhnya, posisi berdirinya semakin tak karuan karena Marko memperdalam tusukan jarinya di bawah sana.

Shailendra menggigit bajunya lagi.

Marko selesai dengan foreplaynya dan kini ia membuka gesper celananya. Shailendra yang menyaksikan itu hanya memejamkan matanya, ia takut ada seseorang tak sengaja masuk ke ruangan itu.

Don't be afraid, it's okay.” ucap Marko kemudian memberi kecup kupu-kupu di bibir Shailendra.

“Aku masuk ya? Pegangan lagi sini.” ucapnya sambil mengarahkan tangan Shailendra ke pundaknya.

Mereka tak pernah melakukannya sambil berdiri, jelas Shailendra tak tahu bagaimana rasanya. Kepala penis Marko masuk, namun karena merasa terlalu lama, Marko mendorong penisnya hingga terbenam seluruhnya disana.

“Shit..” umpatnya. Akhirnya bisa ia rasakan lagi surgawi milik Shailendra, setelah beberapa bulan tak saling menyapa.

“Sakit, Kaka.” pekik Shailendra.

Marko reflek mencium punggung Shailendra, memberi ketenangan sambil menunggu persetujuan Shailendra untuk bergerak lebih jauh.

“Udah. Gerak aja.” katanya.

Marko pun mulai memaju-mundurkan pinggulnya. Suara kotor antar tabrakan kulit pun dapat terdengar sedikit menggema di sekitaran ruangan itu.

“Aaahh ah ah ah, mmhh,”

“Mmhh, marko—”

“Mmhh ahh ah disitu disitu, marko marko marko,”

Marko menatap mata Shailendra, “Feel good?” tanyanya tak tahu diri.

“Mmhh iya, enak banget. Ahh!”

Saat keduanya asik berbagi desahan,

“Aduh anjing gue cape banget.”

Marko menatap Shailendra melotot, itu suara Jeano.

“Buru kalo mau pipis, Jen. Gue males disini lama-lama, gerah anying.”

Ternyata ada seseorang lain, itu Satria.

Shailendra berbisik, “Kaka.. mmhh,”

Jangan kalian pikir Marko akan berhenti, jawabannya adalah tidak. Yang seperti ini justru menguji adrenalinenya.

“Udah hayu.” ajak Jeano pada Satria saat selesai buang air kecil.

“Udah pergi merekanya, Sayang. Boleh teriak lagi.” ucap Marko kembali mempercepat dorongannya, putihnya sampai sebentar lagi.

“Aku mau keluarhh..” ucap Shailendra sambil mencengkeram leher Marko, mencari friksi lain yang belum ia dapatkan.

Kiss me.” pinta Shailendra.

Marko pun memajukan kepalanya mendekat ke arah Shailendra, karena masih bergerak maju-mundur, pagutan yang dihasilkan berantakan. “Close, close, close.” ucap Marko menempelkan dahinya pada milik Shailendra dan memejamkan matanya.

Fuck, fuck!”

Keduanya pun menjemput putih bersamaan.

Marko keluar di dalam, seperti biasa.

Thank you, Baby.

“Huhhh capek!” rajuk Shailendra saat Marko selesai mengeluarkan kepemilikannya dari sana.

Marko kembali mengaitkan kancing celananya, merapikan rambut Shailendra, dan membantunya memakai celananya.

“Maaf, Sayang. I'll pay for it. Okay? Maaf ya kalo aku seenaknya sendiri, maaf ya? Dimaafin gak?” tanyanya sambil merapikan kaos Shailendra yang masih menceng tak karuan.

“Ini kalo aku hamil lagi, salah Kaka ya.”

Marko terkekeh.

“Kita pulang. Ke parkirannya aku gendong aja.”

;

Mereka gak tau aja dari tadi Satria masih di dalem salah satu bilik disitu, karena tadi waktu di ajak Jeano balik malah gantian dia yang kebelet pipis.

Mampus Marko, Eca.

“Dah, ayo jalan.” ajak Heaven setelah dirasa sudah memakai helmnya dan duduk di jok belakang dengan benar.

Yang diajak berangkat malah asik menatap wajah gembil Heaven yang terhimpit helm bogo dari spion motornya.

“Aduh! ven. Kok dipukul sih kepala gue..” pekik Farrel sambil mengelus helmnya.

“Gue suruh berangkat bukan ngeliatin gue kayak orang gak jelas gitu.”

“Iya ini berangkat, Baginda. Pegangan dong.”

“Males banget. Buruan, Gie, ah.”

Farrel lagi-lagi iseng mencari keberadaan tangan Heaven di belakangnya, setelah ketemu yang dicari, Farrel langsung melingkarkan tangan Heaven ke pinggangnya. “Gini loh, Ven, dari tadi.” katanya.

“Ck. Yaudah buru!”

;

Sesampainya di pasar malam, Heaven bengong melihat kerlap-kerlip sekelilingnya. Matanya berbinar bahkan ada warna yang terpancar akibat kerlap-kerlip yang dilihatnya.

“Suka banget?” tanya Farrel, yang ditanya hanya mengangguk.

“Mau beli jajan dulu atau lo mau main dulu?” tanyanya lagi.

“OH IYA GIE!” sahut Heaven membuat Augie memegang dadanya.

“Kaget, Ven, astaga. Kenapaaaa?”

“Hari ini gue yang traktir jajannya okay? No penolakan.” ucapnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan Farrel.

“Dalam rangka apaan?”

“Gue lolos seleksi asdos!!!” sahut Heaven antusias, tapi matanya lebih antusias karena tak terlepas dari wahana biang lala yang didominasi warna ungu itu.

“Eh? Keren banget? Congrats then.”

“Huum.”

“Lu mau beli apa? Gulali? Sosis bakar? Jasuke? Pop ice? Es krim? Atau lu mau beli gelang yang macem-macem itu?” tanya Heaven

“Boleh?” tanya Farrel.

“HAH???” suaranya musik yang kian mengeras membuat pendengarannya sedikit tak berfungsi.

“GUE BOLEH BELI SEMUA ITU???”

“OOHH. BOLEH, AUGIEEE. KAN GUE YANG NYURUH.”

“KITA JALAN KE SANA AJA, DI SINI TERLALU KENCENG MUSIKNYA.” ajak Farrel. Awalnya memang Heaven tak menghiraukannya karena ia tak mendengar Farrel, tapi setelah tangannya digandeng, Heaven hanya kebingungan sambil sesekali melihat ke arah tautan tangannya dengan Farrel.

;

Kini Farrel terduduk di kursi yang ada di sana, sedangkan Heaven mengantri jasuke karena katanya ia ingin sekali jasuke dengan susu cokelat yang banyak di atasnya.

Farrel mendongak bertepatan dengan Heaven yang berjalan ke arahnya dengan 2 gelas jasuka digenggamannya. “Bahagia banget hahaha, lucu.” gumam Farrel.

“Buat lu.” ucap Heaven sambil menyodorkan jasuke itu.

Thanks.

“Mau apa lagi, Gie?”

“Mau lo. Bisa?”

Heaven melotot. “Gue tusuk pake sendok mau?” tukasnya sambil mengarahkan sendok jasuke ke arah wajah Farrel.

“Pelan-pelan, Ven, makannya. Liat, belepotan semua.” ucap Farrel menunjuk ujung bibir Heaven, masih ada sisa cokelat di sana.

“Hah? Iya?” sambil langsung membersihkan mulutnya. “Udah ilang kan?” tanyanya.

Farrel terkekeh pelan.

Farrel kemudian mengambil sapu tangan yang selalu ada di saku celananya, “Permisi ya?” katanya lalu pelan-pelan membersihkan sisa cokelat di ujung bibir Heaven itu.

Done.” katanya.

“Makasih, Nder. Maaf ngerepotin.” sahut Heaven.

“YEEEE DASAR!”

“Kita ke orang jualan gelang yuk? Gue pengen beli yang warna item-item.” ajak Heaven.

Farrel menurut saja. Jujur, berada di situ membuat Farrel merasa ia sedang menjaga anak kecil. Dibuntuti kemana-mana, kesana-kemari dengan mata berbinar, tapi Farrel suka.

“Pak, yang ini berapa?”

“Itu kudu sepasang, De. Sama yang ini.” ucap si Bapak penjual gelang setelah menyodorkan pasangan gelang lainnya.

“Boleh deh. Saya ambil yang ini ya, Pak.”

“Bisa diukir, De. Mau diukir sekalian?”

“Heh? Serius? Nambah gak, Pak, kalo diukir?”

“Enggak, gratis tis tis.”

“Wihh okay, Pak. Dua-duanya diukir. Yang item doang itu Heaven, ha e a ve e en, yang—”

“Sekedap, De. Bapak catet dulu, takut salah nulisnya. Coba diulang.”

“Ha e a VE, ve ya, Pak, terus e en. Ha e a ve e en. Udah, Pak?”

“Sudah. Satunya?”

“Satunya Augie, Pak. A u ge i e tulisannya. Belakangnya pake e, Pak.”

“Siap, bentar 10 menit ya.”

-

“Keren bangettt. Makasih, Pak!!” pekik Heaven saat kedua gelangnya sudah jadi.

“Buat Augie, hehehehe.”

Thank you lagi, bocil.” balasnya sambil mengusak surai tebal milik Heaven. Yang diusak melempar tatap tajam, namun sudah tak protes lagi kali ini—mungkin sudah mulia terbiasa dengan tindakan Farrel yang suka serba tiba-tiba.

“Udah? Masih mau main atau pulang?”

“Pulang deh. Capeekkkk huh.”

;

Selama perjalanan dari pasar malam ke kos Heaven, Farrel keasikan bersenandung bersama guliran angin malam. Hingga saat lampu merah, ia bertanya pada yang dibonceng, namun tak ada respon.

“Ven, besok kelas apa?”

“Ven?”

Saat dilihat dari kaca spionnya, ternyata Heaven tertidur. Bisa-bisanya pules padahal di atas motor, batin Farrel sambil tersenyum.

Farrel menepuk pelan lutut Heaven, ia tak tega karena posisi Heaven mengkhawatirkan. “Hey, sini di pundak gue sandarannya. Jangan ngegantung gitu ntar jatuh.” ucap Farrel, masih setia menepuk lututnya supaya Heaven terbangun.

“Hmmm,”

Kemudian kini dagu Heaven berada di pundak Farrel dan kedua tangannya melingkar di pinggang Farrel, begitu sampai keduanya tiba kosan Heaven.

Setelah menelisik ruangan sempit dengan aroma menguar yang paling Heaven tak suka, ia akhirnya menemukan presensi Bryan dan tentunya ada Farrel di sana—tangannya terlipat di atas meja dan kepalanya ditundukkan, betul-betul sudah melayang kesadarannya.

“Ati-ati ya, Ven.”

Thanks, Bang. Lu juga ya.” balasnya kemudian susah payah membopong tubuh mabuk Farrel keluar menuju kendaraan yang dibawanya.

;

Heaven sungguh hanya diam, diam, diam. Memang Farrel berat, memang ia lelah, dan memang ia kecewa hari ini. Tapi Heaven tetaplah Heaven, seorang yang hanya bisa ngedumel saja, ia bukan seorang yang ekspresif. Percuma juga kan bertingkah ekspresif pada orang yang sadar saja tidak?

Didudukkan Farrel di kursi penumpang dan dipasangkan seatbeltnya juga.

“Erghh..” geram Farrel mulai merasa tak nyaman.

Heaven dengan hati-hati mengemudikan mobilnya ke arah apartment milih kekasihnya. Saat sampai pun di depan kamar pun ia langsung memasukkan digit nomor dan dalam hitungan detik pintu tersebut terbuka.

Heaven menjatuhkan tubuh Farrel perlahan di kasur tempat biasanya Farrel tidur. Sepatu dan kaos kakinya dilepaskan, kemejanya dilepaskan diganti dengan baju tidur, begitu pula celananya. Wajahnya yang kusam dan sedikit berkeringat pun dibersihkan oleh Heaven. Posisi kepalanya yang miring tak karuan ia betulkan, yang terakhir ia sedikit kecilkan suhu ACnya kemudian menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh tak sadar Farrel.

Saat Heaven hendak keluar dari kamar itu, lengannya dicekal.

“Sayang.. stay.. please..” gumam Farrel, matanya masih terpejam erat. Seperti mengigau.

Heaven berusaha melepaskan cekalan itu perlahan.

“Heaven, I love you. I'm sorry. I didn't mean to.” gumamnya lagi.

Heaven hanya memandangi tubuh yang tak punya daya itu.

“Ssstt ssttt.. udah udah, tidur lagi ya.” katanya sambil mengusap-usap sayang rambut Farrel kemudian melepaskan cekalan di lengannya perlahan.

Saat dirasa Farrel kembali baik-baik saja, Heaven keluar dari sana.

Bagai peribahasa sambil menyelam minum air, Farrel bergegas menghampiri sang tambatan hati setelah menyelesaikan urusannya.

Soal bagaimana Farrel mengetahui dimana keberadaan Heaven, jangan anggap ia penguntit. Karena nyatanya ia juga sering sekedar duduk, merenung, dan sesekali memikirkan judul skripsi di cafe yang sama—Marriotts. Jauh sebelum Farrel bertemu dengan Heaven di lingkungan kampus, Farrel sudah menemukan Heaven di cafe tersebut. Marriotts itu jadi saksi bisu dari kehampaan perasaan seorang Farrel.

Jauh sebelum Farrel bisa memandang runtutan konstelasi bintang yang terbentuk di raut indah milik Heaven, Farrel sudah jatuhkan hati. Pemuda dengan postur tubuh tinggi semampai; bahkan hampir 100% badannya hanya terdiri dari kaki saja dan kulit kecokelatan yang selalu cocok dengan segala bentuk gaya rambut yang pernah Farrel perhatikan, Farrel jatuh cinta. Sesekali berharap kalau-kalau ia bisa menyentuh gugusan konstelasi bintang di raut indah itu.

;

“Hey,” sapa Farrel.

Yang disapa hanya mendongakkan kepala.

“Buat lo.” tambah Farrel sambil menyodorkan sepotong vanilla creep cake yang ia pesan sebelum menuju kursi tempar Heaven duduk. Bahkan lengkap dengan saut cokelatnya, Farrel harap ingatannya benar kalau Heaven lebih suka dengan saus cokelat dari pada saus kelapa.

Farrel pun duduk tepat di depan Heaven, memandangi raut dengan runtutan konstelasi bintang yang sejak waktu lalu ia damba-dambakan. “Kenapa gak dimakan?” tanyanya.

“Kok diem? Lo lagi ada masalah ya?”

Bukannya menjawab pertanyaan Farrel, Heaven justru menuangkan saus cokelat di atas creep cakenya kemudian melahapnya cepat.

Karena merasa tingkah Heaven terlewat menggemaskan, Farrel reflek mengusak surai tebal laki-laki di depannya itu. “Calm a bit down, Ven. Itu cuma punya lo gak bakal ada yang ambil.” tuturnya.

;

Setelah memberi Heaven waktu untuk diam, Farrel kembali bertanya. “Udah? Feel better?”

I think so,”

“Udah mau cerita? Atau belum?”

“Gue ganggu waktu lu gak sih?” tanyanya nyeleneh.

“Urusan gue udah selesai, Ven. Lo gak ganggu sama sekali.”

“Bagus lah kalo gitu,”

“Gue cuma lagi bete aja,”

Tak mendengar respon dari sang lawan bicara, Heaven terhenti sebentar.

“Lanjut aja.” kata Farrel.

“Karrel, temen gue, dia tuh rada susah dihubungin gitu sekarang. Semenjak ganti semester, kan dapet kelasnya beda. Jadi gue jarang ketemu dia. Nah terus hoodienya yang dia pinjem kemarin itu masih di gue, emang sih habis gue pake lagi, tapi ini udah bersih kok. Cuma tiap kali mau kembaliin, dianya gak ada gak ada mulu. Gue chat juga gak dibales.”

“Terus udah gitu, gue liat dia ngetwit gak tau sama siapa, kayanya sih cowonya. Gue bukannya apa-apa cuma kek masa bales chat gue doang gak bisa? Kek.. ini kan hoodie lu jugaaa. Paham gak sih, Gie?”

Terlalu bingung harus merespon apa Farrel pun hanya terdiam setelah mendengar penuturan Heaven. Itu hoodie miliknya, bukan Karrel.

“Augie? Hello?” panggil Heaven sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah melamun Farrel.

Sorry-sorry. Kalo gitu mau dititipin ke gue aja? Gue kenal deket kok sama si Karrel.”

“Gue ngerepotin terus kayanya dari pertama kali kita ketemu.” sahut Heaven.

“Lo gue cubit ya kalo ngomong gitu lagi.”

“Gue ngerepoti—AAAWWW SAKITT JANGAN DITEKEN GITU AUGIE ANJIR!”

Pipi gembilnya dicubit, sedikit keras.

Heaven you have to know this: Farrel bilang gitu bukan karena dia ngasih lu warning, tapi supaya dia bisa pegang pipi dengan rentetan konstelasi bintang yang udah dari lama dia kagum-kagumi.

Heaven mengusap pipinya pelan, bekas cubitan Farrel masih terasa berdenyut. “Sakit ya?” tanya Farrel, tangannya hampir menghampiri pipi gembil itu lagi tapi lebih dulu dihempas oleh sang empunya.

“Ih jauhkan tangan lu dari pipi gue, sakit tau!”

Yang ditegur hanya terkekeh pelan.

“Mulai besok berangkatnya sama gue terus ya?”

“Kenapa gitu?” tanya Heaven sambil kembali melahap sisa creep cakenya.

It's just.. Gue cuma pengen jagain lo.”

“Gue bukan bayi, Gie.”

“Berarti gak mau ya?”

Heaven mendongak. Menatap jelaga berbinar di depannya. “Mau.” sahutnya.

Tatapan yang semula ragu kini tampak lega, “Sip.” balas Farrel.

Kasihan, berusaha mati-matian menghadang perasaan ingin meledak dalam dirinya dengan satu kata itu saja.

Hari ini adalah hari dimana maba Neo Tech University menjalankan kegiatan ospek. Sedari kemarin malam Felix—si anak pendatang baru di genk Heaven telah mengingatkan tentang barang bawaan yang harus ada ketika hari H. Bodohnya, Heaven tidak membawa nametag yang menjadi bagian paling penting dalam acara. Bagaimana tidak? Nametag itu sebagai pengenal, kalau ketawan tidak punya nametag hukuman seperti apa yang akan ia terima?

Setelah mengirim pesan di grup, Heaven menghampiri Karrel untuk mengambil board bekas yang ia katakan.

“Rel!” panggilnya sambil melambaikan tangan.

Karrel yang mengetahui itu melotot, ia dengan cepat mengambil board itu kemudian menghampiri Heaven sambil menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. “Sssttt! Jangan kenceng-kenceng!” ucapnya sambil memberikan board bekas itu.

“Makasih yaaa, gue balik.” ucap Heaven, suaranya mengecil.

;

Terlalu asik berbagi board untuk nametag, keduanya tak menyadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikan pergerakan mereka dari ujung lapangan.

Hanya senyum mirik yang tercipta setelah melihat itu. Entah rencana seperti apa yang akan dilakukannya, yang jelas perjalanan Heaven maupun Karrel dalam mengikuti OSPEK hari pertama dapat dipastikan tidak lancar.

“Silakan bergabung kembali bersama kelompok untuk mendiskusikan arahan yang sudah diberikan beberapa menit lalu. Apabila ada pertanyaan yang menyangkut pelaksanaan acara silakan bertanya pada panitia. Sekian, terima kasih.”

Itu Farrel.

Ketua pelaksana kegiatan OSPEK, mahasiswa Teknik Elektro yang sering jadi perbincangan seantero Neo. Memang tampan, tapi seram. Tak ada yang berani mendekatinya, entah perempuan maupun laki-laki. Makannya sekarang laki-laki tampan itu tak punya tambatan hati. Jomblo.

“Yan,” panggil Farrel.

Fyi, di antara grup BUAYAs yang mengikuti organisasi kampus plus menjadi panitia OSPEK hanyalah Rean.

“Hah?”

“Lo jadi pendamping maba yang rambutnya panjang, kecokelatan, tebel, kulitnya tan kan?”

“Buset, lengkap,”

“Jawab buru.”

“Iyeee, tuh bocahnya tuh.” sahut Rean sambil menunjuk seseorang yang dimaksud Farrel.

“Habis gini selesai kan?” tanya Farrel.

“Lo tuh ketuplak beneran kaga sih?” sambil menoyor kepala Farrel.

“Anjing!” “Sana balik lo.” protes Farrel.

;

Setelah berkumpul di aula, berdoa bersama, mahasiswa-mahasiswa baru itu akhirnya diizinkan pulang.

Ketika seisi aula hampir kosong, Farrel memanggil seseorang menggunakan megaphonenya.

“Lo. Diem disitu.” tukasnya.

Yang dipanggil kebingungan, menolehkan kepala ke kanan, kiri, depan, belakang, siapa tahu bukan dirinya yang dipanggil.

“Gue?” tanyanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

“Ya.”

Farrel kemudian berjalan menghampiri maba itu.

Ketika sampai di depannya, Farrel menyusuri penampilan maba itu, dari atas kepala sampai kaki. Literally from head to toe.

“Kenapa, Bang?”

Saat mendengar suara itu, Farrel langsung bertanya, “Mana nametag lo?” tanyanya.

Ya. Maba itu Heaven. Yang dipanggil Farrel adalah Heaven.

“Ini nametag?” sahut Heaven sambil mengangkat board yang setia mengalung di lehernya.

“Ini bukan punya lo,”

“Lepas.” perintah Farrel telak.

“Maksudnya, Bang?”

“Lo kira gue gak tau ya lo diem-diem ngambil board jelek ini di pertengahan acara? Gimana bisa seorang maba lupa sama nametagnya di hari pertama? Berarti lo lupa bawa nama lo sendiri ya?”

Heaven hanya menunduk. Memang ia salah dan yang dikatakan Farrel ada benarnya. Nametag saja lupa, ceroboh sekali.

“Maaf, Bang.”

“Kalo ngomong sama orang tatap matanya. Kaya anak kecil aja.”

Heaven memejamkan matanya erat. Aduhhh banyak mau! batinnya. Kemudian ia mendongakkan kepalanya ragu.

Mencari keberadaan tatap dari lawan bicaranya. “Maaf, Bang.” katanya.

“Gue hari ini masih baik sama lo. Jangan mikir kalo gue bakal kasih punishment. Gak kok.”

Heaven menghela nafas. Legaaa.

“Makasih, Bang.”

Karena Farrel mundur satu langkah, Heaven mengira ia diberi jalan untuk bisa segera pulang. Namun ketika Heaven sudah melewati Farrel sepenuhnya, Farrel menginterupsinya lagi.

“Siapa yang ngizinin lo balik?” tanyanya sambil bersidekap dada.

Heaven lagi-lagi memejamkan matanya erat, namun kini sedikit jengkel.

“Iya, Bang. Maaf.”

“Gue gak kasih punishment bukan berarti lo bebas-bebas aja.”

Farrel menyodorkan handphonenya.

Heaven menatap Farrel bingung, “Ini.. apa, Bang maksudnya?”

“Nomer hp lo. Masukkin sini.”

Dari situ lah perjalanan keduanya dimulai.

“morning, baby” sapa marko ketika melihat shailendra membuka mata perlahan. marko yang kini tangannya berada di atas kepala shailendra pun memiliki akses secara leluasa untuk melakukan apapun terhadap seseorang di depannya.

sebuah perbedaan yang harus kalian tahu bahwa kini marko telah mengenakan bawahannya—tanpa atasan, sedangkan shailendra masih setia tanpa sehelaipun kain perca menutupi tubuh moleknya.

“hmm.. morning..”

“terang banget ka—hnggg—mager...” rengek shailendra yang masih setengah sadar.

“bersih-bersih yuk? aku bantu” ajak Marko sambil mengusap-usap pundak mungil shailendra dengan satu tangannya.

shailendra tak merespon, hanya menatap marko saja.

“ayo, sayang”

“hmmm” gumam shailendra.

sebelum marko berdiri, hendak ke kamar mandi, lengannya dicekal sehingga membuatnya kembali terduduk lagi di kasur king size itu.

“hm?” tanya marko.

“sini dulu” pinta shailendra sambil merentangkan kedua tangannya, meminta marko mendekat dan mensejajarkan posisinya yang masih setia berbaring itu—marko mendekat.

cup

“i almost forgot your morning kiss” ucap shailendra setelah mengecup kilat ranum marko—tak peduli ranumnya yang pecah-pecah cause shailendra loves everything about marko.

dengan cepat marko merespon perlakuan suaminya yang tiba-tiba itu. ia membalas kecupan dari shailendra namun kini beda, ia bukan sekedar mengecup, tapi melumat.

“mmhh kaka udahh—mhh katanyamh mau bersih-bersih” ucap shailendra terbata karena marko tak kunjung melepas lumatannya.

“sorry sorry, aku kepancing banget tadi. sorry, baby. ayo sekarang kamu berdiri”

saat shailendra sudah sepenuhnya beranjak dari kasur, marko tertawa renyah yang dimana membuat shailendra kebingungan.

“hm? kenapa ka?” tanyanya linglung.

marko dengan tak berdosanya memberi tahu shailendra menggunakan gerakan mata dan bibirnya—menunjuk arah bawah shailendra.

ingat kan kalau shailendra masih sepenuhnya telanjang?

“KAKAAA!!!!!” protesnya kemudian berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya marah—lebih ke malu sebetulnya. marko yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala; lucu banget suaminya.

;

“brrrrr wuu dingin!!!” titah shailendra saat membersihkan rambutnya di bawah shower yang senantiasa membasahi tubuhnya sedari tadi.

marko dan shailendra mandi bersama, namun sekarang marko hanya melihat saja dari belakang karena shailendra belum mau dibantu apa-apa, jadi marko membiarkannya sendiri dulu.

“damn it” monolog marko. something has happened just now.

“ka, masih disitu kan? bantuin gosok punggung aku dong” pinta shailendra dengan matanya yang masih tertutup karena masih asik membasuh rambutnya.

marko dengan cepat mengambil sabun, menekannya 3x pam, kemudian mulai meratakannya di punggung dan seluruh bagian tubuh shailendra.

shailendra menoleh ke belakang saat mendapati perlakuan itu, “hehe makasih” katanya.

tak terasa agenda showering mereka sudah selesai, shower sudah dimatikan, shailendra hendak keluar dan memakai bathrobenya, namun sesuatu terjadi.

“stay” pinta marko setelah mencekal lengan mungil shailendra, kini shailendra berada di dekapan marko—membelakangi marko.

“ka, nanti masuk angin loh” ucapnya sambil mengusap-usap lengan kekar marko yang setia melingkar pada pinggang rampingnya.

“i think we have something left”

“apa deh? keramas udah, pake sabun juga udah”

marko dengan cepat membawa tubuh shailendra untuk ia tempelkan ke dinding kamar mandi yang masih basah bekas kegiatan mandi mereka barusan. marko mengukung tubuh shailendra dari belakang dengan kedua tangannya ia sandarkan di dinding.

“kaka?”

marko menulikan rungunya. tangannya kini justru berpindah mengusap seduktif paha dalam dan pantat bulat shailendra, membuat shailendra menggeliat terkejut.

“ka..”

shailendra yang awalanya hanya menggeliat kini sedikit terperanjat karena marko menyapa lubang senggamanya. “mmhhh”

“the something that left itu disini, aku bantu bersihin, boleh?” tanya marko—jarinya masih setia bergerak menggoda lubang berkerut di bawah sana.

shailendra mengangguk pasrah. lagian memang harus dibersihkan dan juga jika ia ingin kabur, bagaimana caranya? tubuhnya saja tengah terkukung oleh marko sekarang.

“i'm gonna push it in, kalo sakit teriak aja, gak bakal ada yang denger juga”

setelah mendapat anggukan dari shailendra, marko melumuri ketiga jarinya dengan sabun mandi. kini jarinya siap menjadi pembersih di dalam lubang shailendra.

“mmhhhh” lenguh shailendra karena merasakan sesuatu berusaha menerobos bagian bawahnya.

“moan for me, it's okay” bisik marko kemudian mengecup ringan pundak mungil shailendra yang masih setengah basah itu.

“aaahhh—kakaahh, enakh tapi dalem banget aaahh”

marko tersenyum penuh kemenangan, ia berhasil membuat shailendra berteriak.

“mau aku dalemin lagi, hold onto me”

marko makin memperdalam jarinya dengan tujuan membersihkan sisa-sisa cairan cinta mereka semalam.

kemudian shailendra bersiap mencengkeram lengan kekar marko kemudian memejamkan matanya erat—kind of anticipation.

clop clop clop

“haahh kakahh mmhhh—aahh”

melihat suaminya dalam keadaan basah, telanjang, mata terpejam, dan mendesah keras membuat sesuatu dari dalam diri marko tergugah.

“feel good? hm? padahal tujuan aku ngebersihin doang” godanya, kini sambil menggigit-gigit kecil ujung pundak mungil shailendra.

“yes, yes, feels so good, mmhh marko..”

“dikit lagi selesai” ucap marko.

saat dirasa cukup, marko mengeluarkan tiga jarinya perlahan. sedikit tak rela karena harus menghentikan permainan jarinya.

melihat lubang berkerut shailendra masih berkedut membuat marko terbelalak—mata dan adik kecilnya lapar. ditambah posisi shailendra yang sedikit menungging sehingga lubangnya terlihat jelas.

saat marko sibuk memperhatikan lubang, di sisi lain shailendra bernafas lega—akhirnya lubangnya kembali kosong. ia lega dirinya sudah dibersihkan.

cup

ceruk leher shailendra dikecup lama.

shailendra hanya tersenyum, pikirnya, marko sangat bahagia akhir-akhir ini.

saat mulutnya sibuk mengecup ceruk leher shailendra, satu tangannya yang lain menyiapkan sesuatu di bawah sana.

“excuse me, baby” ucapnya.

“for wha—aahhh kakaahhh too sensitive mmhhh”

marko mendorong pelan penisnya untuk masuk ke dalam lubang yang sedari tadi ia kagumi. matanya terpejam nikmat karena remasan yang ia rasakan dari dinding rektum milik shailendra.

“mmhh kenapa masuk lagihh—aahh marko!”

“i can't hold it anymore, sorry babe. i'll take care of you again later—shh fuck!” sahut marko saat penisnya telah masuk seluruhnya di lubang shailendra.

“so tight just for me..” tutur marko sambil memainkan penis shailendra yang sedari tadi tak ia jamah.

“no no no, jangan dimainin itunyaahh ahh akuu”

shailendra bingung harus berpegang pada apa, sandaran di depannya hanyalah sebuah tembok datar yang tak bisa digenggam, sedangkan mencengkeram lengan marko saja tak cukup menurutnya.

pusing, stimulasi yang ia terima membuatnya terkulai lemas sehingga posisi berdirinya tak lagi tegak. mungkin jika lengan kekar marko tak melingkar di pinggangnya, ia sudah merosot ke bawah sekarang.

“mmhh kakaahhh, wanna cum. cum cum keluarh”

marko mempercepat kocokannya di penis shailendra kemudian memperdalam dorongannya—sesekali mengeluarkan penisnya seluruhnya, kemudian memasukkannya lagi dalam sekali hentakan.

“haahh—aahhh enakh kena disitu mmhhh”

“cum for me, baby” bisik marko seduktif.

“aahhh marko!”

shailendra merilis putihnya tepat setelah marko melumat cuping telinganya.

“aku juga mau keluar”

“like that, sempitin kaya gitu” ucap marko meracau seiring dorongannya yang kian bertambah cepat.

saat dirasa putihnya akan segera tiba, marko mengeluarkan penisnya cepat kemudian mendorong ke bawah pundak shailendra agar suaminya berlutut di hadapannya.

shailendra tentu menurut saja.

“babeee, cum...” rintih marko sambil mengocok penisnya di depan wajah imut suaminya.

shailendra mengangguk.

“cum for me, marko, i'll take it as well as possible” ucap shailendra menggoda.

“aarghh fuck!”

marko merilis putihnya, tepat di wajah dengan kulit kecoklatan milik suaminya.

“your skin, also my loads looks perfect when it merged up” ucapnya sambil membersihkan cairan yang tersisa di wajah cantik suaminya.

“stand up, eca”

shailendra berdiri kemudian mengalungkan kedua tangannya di leher marko.

“you happy?” tanyanya.

“definitely” sahut marko.

“sorry ya aku kelepasan” tambahnya.

“it's okay, aku nikmatin juga kan buktinya?”

“yuk sekarang keluar, gak baik di kamar mandi lama-lama” ajak shailendra.

;

ding dong!

ding dong!

salah satu staf hotel yang mereka singgahi ternyata sedari tadi berada di depan pintu kamar mereka guna memberikan jatah sarapan untuk keduanya.

tak kunjung mendapat balasan staf tersebut pantang menyerah, ia terus memencet bel di kamar tempat marko dan shailendra singgah.

namun saat ia akan memencet bel lagi entah untuk yang ke berapa belas kalinya, ia mendengar teriakan manja dari dalam kamar.

staf tersebut terbelalak kemudian pergi sambil mengumpat dalam bahasa kamboja.

ADUH MARKO ECA!!!!

fin.

Setelah mendapati pesan dari Jaehyun sedemikian, Taeyong rasanya semakin tak karuan. Sejak kapan Jaehyun berubah menjadi seorang yang mudah menyerah? Ia baru saja sedang mempertahankan hubungan keduanya, tapi Jaehyun? Ah, Taeyong semakin sesak.

Padahal tak ada satu pun miss communication di antara keduanya selama bertahun-tahun menjalin hubungan. Taeyong dan semua orang heran. Apa yang sebetulnya sedang merasuki Jaehyun.

Maka dengan itu, Taeyong mengemasi barangnya, melangkah berat ke arah garasi rumahnya guna mengambil mobil dan mengajukan mobilnya ragu, ia membawa seribu satu keresahan seiring dengar berputarnya roda mobil itu.

“Kenapa harus di sekolah, Je? SMAN 127 itu tempat kita pertama kali ketemu. It was an amazing encounter.. and it hurts me even more karena kamu akhirnya ngeakhirin perjalanan panjang kita di tempat pertama kali kita ketemu” monolognya sambil sesekali menyeka tirta yang lolos dari pelupuk matanya.

;

Sesampainya Taeyong disana, ia melenggang keluar dari mobilnya dengan langkah sempoyongan. Ragu untuk menemui seseorang yang ia percaya akan mengakhiri hubungan di antara keduanya.

Ia berjalan sebentar, memasuki sekolah itu seutuhnya. Langkah demi langkah yang ia cipta maka memori demi memori tepatri dalam pikirannya. Setiap tempat di sekolah ini menyimpan memori yang hanya ia dan Jaehyun saja yang tahu, ia dan Jaehyun saja yang merasa bahwa itu spesial—tak sengaja memutar memori, Taeyong tersenyum pahit. Tersirat kekosongan pada pandangannya saat ia berhenti tepat di depan kamar mandi—tempatnya dan Jaehyun sering berkelahi, kala itu.

“Mana sih orangnya?” gumam Taeyong sambil lagi-lagi menyeka tirta yang lolos dari pelupuk matanya.

Tak kunjung mendapati presensi Jaehyun, Taeyong memutuskan untuk menelponnya.

Halo?

“Aku udah di sini”

Iya aku juga udah

Tunggu sebentar

Saat hendak menekan tombol bulat berlambang telefon merah, Taeyong disela.

Jangan dimatiin teleponnya” pinta Jaehyun dari seberang sana.

Taeyong menurut.

Ia kini lagi-lagi mengedarkan pandangannya, ternyata gak banyak yang berubah semenjak gue tinggal, monolognya saat melihat kursi besi yang ujungnya sudah berkarat masih setia berada di tempat yang sama seperti saat ia masih duduk di bangku SMA kala itu.

Lamunannya terpecah saat mendengar Jaehyun kembali bersuara dari telepon yang masih tersambung itu.

“Taeyong, are you there?”

“I am”

I'm here

Taeyong kebingungan, mana? gak ada tuh, batinnya saat ia celingak-celinguk mencari keberadaan Jaehyun.

Behind you

Taeyong otomatis memutar badannya, melihat ke arah belakang yang ternyata ia lupakan untuk dilihat.

“Hey” sapa Jaehyun tanpa mematikan teleponnya, padahal mereka tengah berada tak jauh saling berhadapan.

Taeyong menganga.

Ia menurunkan genggaman pada handphonenya yang panggilannya masih setia tersambung itu.

What is it?” tanyanya heran.

Tentu saja ia heran, Jaehyun berdiri di sana, membawa serta teman-teman Taeyong; Ten, Doyoung, Haechan, dan Jaemin untuk menemaninya. Tak lupa Mark, Jo, Yuta, dan Jeno ada di belakang mereka. Am I being dumbfounded here? batinnya lagi, pikirnya terus beradu dengan kenyataan di depannya.

Jaehyun berjalan mendekat. Membawa kedua tangan Taeyong untuk ia genggam.

“Sebulan lalu itu cuma cara aku mengikat kamu, sekaligus ngeyakinin kamu kalo aku gak bakalan kemana-mana” ucap Jaehyun menatap Taeyong lamat-lamat.

“Gak usah bilang gitu, we're gonna end kan?” protes Taeyong.

Who say that?”

“Je, jangan gini..”

Jaehyun menoleh ke belakang—eye contact dengan salah satu teman Taeyong yang sudah ia beri perintah; Ten. Mendapati sinyal tersebut Ten mengangguk dan beranjak dari tempatnya.

Jaehyun menatap Taeyong lagi. Ia tak tega karena Taeyong terus-menerus memalingkan wajahnya karena air matanya terus lolos dari mata cantiknya.

“Ngomong, Je. Aku mau cepet selesai, cepet pulang” pinta Taeyong, suaranya gemetar.

“Je” panggil Ten dari belakang.

Taeyong terkejut setengah mati.

Ten membawa seorang perempuan yang Taeyong gadang-gadang sebagai selingkuhan Jaehyun.

“Halo, Taeyong” sapa perempuan itu.

“Je?” panggil Taeyong, menuntut penjelasan.

“Dia Rose. Adeknya mama aku yang paling kecil, dia tante aku, Sayang. Bukan selingkuhan aku. Kemarin aku jemput dia di bandara karena dia aslinya tinggal di Australia. Foto yang kamu liat itu cuma salah paham..” ucap Jaehyun sambil mengusap-usap pipi Taeyong dengan ibu jarinya.

“Btw, gak ada yang harus kalian selesaiin kok. Maaf ya aku bikin salah paham di antara kalian!” sela Rose sambil menelungkupkan tangan di samping kanan dan kiri mulutnya—agar suaranya terdengar lebih lantang.

“Je, explain to me please, ini sebenernya ada apa?”

Ten berjalan mendekat ke arah Jaehyun dan Taeyong berdiri, memberikan bouquet bunga yang sangat besar berisi bunga mawar merah—bunga yang sering Taeyong pakai untuk menggambarkan kepribadiannya. Bouquet itu dibungkus dengan pernak-pernik serba biru—warna favorit Taeyong.

“Selama ini aku gak pernah main-main sama kamu, Sayang. I meant it when I proposed you last month, tapi kali ini lebih serius lagi karena aku mau ngajak kamu nikah. So, let me say it again. Lee Taeyong, will you let me to take you to church and saying our holy promises in front of God and in front of people? Take this bouquet if the answer is yes

Tirta yang sedari tadi meloloskan diri dari kurungan mata milik Taeyong pun mengalir semakin deras, ia bingung harus sedih atau bahagia.

“Lu semua ternyata bohongin gue ya?” protesnya sambil menunjuk semua orang yang setia mengikuti Jaehyun dari awal, hanya ia yang sedang dibodohi disini. Yang lain pun terkekeh.

Merasa mengabaikan Jaehyun terlalu lama, Taeyong kini kembali menatap Jaehyun.

“Siniin bouquetnya!” tukasnya.

Jaehyun tersenyum sumringah kemudian menyerahkan bouquet itu.

Setelah menerima itu Taeyong menawarkan sesuatu yang tentu Jaehyun mau, “Peluk gak?” katanya.

Teman-temannya yang berada di belakang itu pun bertepuk tangan—termasuk Rose. Senangnya ternyata dua anak adam yang mereka kenal sudah bukan bocah SMA lagi. They will getting married.

Sambil mengusap punggung Jaehyun, “Thank you, Jeje. You never fail to surprise me” ucapnya.

Jaehyun mengecup pundak Taeyong.

I know, Sayang. I know

(i) End.