How Farrel has Fallen

Bagai peribahasa sambil menyelam minum air, Farrel bergegas menghampiri sang tambatan hati setelah menyelesaikan urusannya.

Soal bagaimana Farrel mengetahui dimana keberadaan Heaven, jangan anggap ia penguntit. Karena nyatanya ia juga sering sekedar duduk, merenung, dan sesekali memikirkan judul skripsi di cafe yang sama—Marriotts. Jauh sebelum Farrel bertemu dengan Heaven di lingkungan kampus, Farrel sudah menemukan Heaven di cafe tersebut. Marriotts itu jadi saksi bisu dari kehampaan perasaan seorang Farrel.

Jauh sebelum Farrel bisa memandang runtutan konstelasi bintang yang terbentuk di raut indah milik Heaven, Farrel sudah jatuhkan hati. Pemuda dengan postur tubuh tinggi semampai; bahkan hampir 100% badannya hanya terdiri dari kaki saja dan kulit kecokelatan yang selalu cocok dengan segala bentuk gaya rambut yang pernah Farrel perhatikan, Farrel jatuh cinta. Sesekali berharap kalau-kalau ia bisa menyentuh gugusan konstelasi bintang di raut indah itu.

;

“Hey,” sapa Farrel.

Yang disapa hanya mendongakkan kepala.

“Buat lo.” tambah Farrel sambil menyodorkan sepotong vanilla creep cake yang ia pesan sebelum menuju kursi tempar Heaven duduk. Bahkan lengkap dengan saut cokelatnya, Farrel harap ingatannya benar kalau Heaven lebih suka dengan saus cokelat dari pada saus kelapa.

Farrel pun duduk tepat di depan Heaven, memandangi raut dengan runtutan konstelasi bintang yang sejak waktu lalu ia damba-dambakan. “Kenapa gak dimakan?” tanyanya.

“Kok diem? Lo lagi ada masalah ya?”

Bukannya menjawab pertanyaan Farrel, Heaven justru menuangkan saus cokelat di atas creep cakenya kemudian melahapnya cepat.

Karena merasa tingkah Heaven terlewat menggemaskan, Farrel reflek mengusak surai tebal laki-laki di depannya itu. “Calm a bit down, Ven. Itu cuma punya lo gak bakal ada yang ambil.” tuturnya.

;

Setelah memberi Heaven waktu untuk diam, Farrel kembali bertanya. “Udah? Feel better?”

I think so,”

“Udah mau cerita? Atau belum?”

“Gue ganggu waktu lu gak sih?” tanyanya nyeleneh.

“Urusan gue udah selesai, Ven. Lo gak ganggu sama sekali.”

“Bagus lah kalo gitu,”

“Gue cuma lagi bete aja,”

Tak mendengar respon dari sang lawan bicara, Heaven terhenti sebentar.

“Lanjut aja.” kata Farrel.

“Karrel, temen gue, dia tuh rada susah dihubungin gitu sekarang. Semenjak ganti semester, kan dapet kelasnya beda. Jadi gue jarang ketemu dia. Nah terus hoodienya yang dia pinjem kemarin itu masih di gue, emang sih habis gue pake lagi, tapi ini udah bersih kok. Cuma tiap kali mau kembaliin, dianya gak ada gak ada mulu. Gue chat juga gak dibales.”

“Terus udah gitu, gue liat dia ngetwit gak tau sama siapa, kayanya sih cowonya. Gue bukannya apa-apa cuma kek masa bales chat gue doang gak bisa? Kek.. ini kan hoodie lu jugaaa. Paham gak sih, Gie?”

Terlalu bingung harus merespon apa Farrel pun hanya terdiam setelah mendengar penuturan Heaven. Itu hoodie miliknya, bukan Karrel.

“Augie? Hello?” panggil Heaven sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah melamun Farrel.

Sorry-sorry. Kalo gitu mau dititipin ke gue aja? Gue kenal deket kok sama si Karrel.”

“Gue ngerepotin terus kayanya dari pertama kali kita ketemu.” sahut Heaven.

“Lo gue cubit ya kalo ngomong gitu lagi.”

“Gue ngerepoti—AAAWWW SAKITT JANGAN DITEKEN GITU AUGIE ANJIR!”

Pipi gembilnya dicubit, sedikit keras.

Heaven you have to know this: Farrel bilang gitu bukan karena dia ngasih lu warning, tapi supaya dia bisa pegang pipi dengan rentetan konstelasi bintang yang udah dari lama dia kagum-kagumi.

Heaven mengusap pipinya pelan, bekas cubitan Farrel masih terasa berdenyut. “Sakit ya?” tanya Farrel, tangannya hampir menghampiri pipi gembil itu lagi tapi lebih dulu dihempas oleh sang empunya.

“Ih jauhkan tangan lu dari pipi gue, sakit tau!”

Yang ditegur hanya terkekeh pelan.

“Mulai besok berangkatnya sama gue terus ya?”

“Kenapa gitu?” tanya Heaven sambil kembali melahap sisa creep cakenya.

It's just.. Gue cuma pengen jagain lo.”

“Gue bukan bayi, Gie.”

“Berarti gak mau ya?”

Heaven mendongak. Menatap jelaga berbinar di depannya. “Mau.” sahutnya.

Tatapan yang semula ragu kini tampak lega, “Sip.” balas Farrel.

Kasihan, berusaha mati-matian menghadang perasaan ingin meledak dalam dirinya dengan satu kata itu saja.