Bohong
Setelah menelisik ruangan sempit dengan aroma menguar yang paling Heaven tak suka, ia akhirnya menemukan presensi Bryan dan tentunya ada Farrel di sana—tangannya terlipat di atas meja dan kepalanya ditundukkan, betul-betul sudah melayang kesadarannya.
“Ati-ati ya, Ven.”
“Thanks, Bang. Lu juga ya.” balasnya kemudian susah payah membopong tubuh mabuk Farrel keluar menuju kendaraan yang dibawanya.
;
Heaven sungguh hanya diam, diam, diam. Memang Farrel berat, memang ia lelah, dan memang ia kecewa hari ini. Tapi Heaven tetaplah Heaven, seorang yang hanya bisa ngedumel saja, ia bukan seorang yang ekspresif. Percuma juga kan bertingkah ekspresif pada orang yang sadar saja tidak?
Didudukkan Farrel di kursi penumpang dan dipasangkan seatbeltnya juga.
“Erghh..” geram Farrel mulai merasa tak nyaman.
Heaven dengan hati-hati mengemudikan mobilnya ke arah apartment milih kekasihnya. Saat sampai pun di depan kamar pun ia langsung memasukkan digit nomor dan dalam hitungan detik pintu tersebut terbuka.
Heaven menjatuhkan tubuh Farrel perlahan di kasur tempat biasanya Farrel tidur. Sepatu dan kaos kakinya dilepaskan, kemejanya dilepaskan diganti dengan baju tidur, begitu pula celananya. Wajahnya yang kusam dan sedikit berkeringat pun dibersihkan oleh Heaven. Posisi kepalanya yang miring tak karuan ia betulkan, yang terakhir ia sedikit kecilkan suhu ACnya kemudian menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh tak sadar Farrel.
Saat Heaven hendak keluar dari kamar itu, lengannya dicekal.
“Sayang.. stay.. please..” gumam Farrel, matanya masih terpejam erat. Seperti mengigau.
Heaven berusaha melepaskan cekalan itu perlahan.
“Heaven, I love you. I'm sorry. I didn't mean to.” gumamnya lagi.
Heaven hanya memandangi tubuh yang tak punya daya itu.
“Ssstt ssttt.. udah udah, tidur lagi ya.” katanya sambil mengusap-usap sayang rambut Farrel kemudian melepaskan cekalan di lengannya perlahan.
Saat dirasa Farrel kembali baik-baik saja, Heaven keluar dari sana.