Gue boleh minta peluknya lagi?
Bukan karena apa-apa, tapi perasaan seorang Farrel memang tak bisa dibantah lagi eksistensinya. Sayang sekali ia dengan sosok yang lebih muda satu tahun darinya itu, Heaven yang dengan tiba-tiba mengabarinya di tengah kekhawatirannya yang menyeruak pukul 12 malam sama sekali tak membuat Farrel gentar.
Sesampainya Farrel di Starbucks Graha Pena, ia memasuki tempat itu dengan langkah acak. Pundaknya tertabrak pintu, menyenggol orang yang berpapasan, bahkan sempat tersandung pembatas.
Sedangkan Heaven yang melihat Farrel berjalan gupuh pun hanya mengulas senyumnya, entah ada perasaan yang membuatnya merasa sangat spesial ketika ia bersanding dengan sosok Farrel.
“Augie!” sapanya sambil melambaikan tangan.
Langkah acak Farrel terhenti sebentar ketika tatapnya bertemu dengan jelaga kecokelatan kesayangannya. Menghela nafas panjang dan mengulas senyum dengan siratan penuh kekhawatiran.
“Ven, ya Tuhan,” katanya sambil menghampiri Heaven dengan langkah acaknya lagi.
Basa-basi bukan kebiasaan Farrel, maka ketika Heaven berada tepat di depannya, dengan cepat Farrel meraih daksa yang lebih kecil itu dalam rengkuhannya. Tak peduli apa yang akan Heaven katakan setelah ini, yang penting Farrel bisa memastikan ucapannya soal “I just wanna make sure you're safe, especially in my arms”.
Awalnya Heaven terbelalak dengan tindakan Farrel, namun ketika dekapan yang ia rasakan kian mengerat, Heaven lagi-lagi hanya tersenyum. Sepenting itu ternyata eksistensinya buat Farrel?
“Erat banget ini, Gie, meluknya.” ledek Heaven.
“Just wanna make sure you're okay.” balasnya sambil mengusap punggung yang lebih mungil.
“Kenapa sih, Ven? Ada apa?” tanya Farrel.
Heaven terkekeh pelan tapi Farrel dapat mendengar itu.
“Bagus lo ketawa kaya gitu, ini gue lagi tanya loh?” tanya Farrel ketus.
“Umumumu malah-malah anaknya.”
“Lepas dulu peluknya baru gue cerita.”
“Bentar deh, ntaran aja ceritanya. Peluk dulu 3 menitan.” sela Farrel.
“MODUSS JELEKKKKK!!” protes Heaven tapi sama sekali tak berniat melepas dekapan itu.
;
“Kenapa, Gie?” tanya Heaven setelah keduanya sudah dalam posisi ternyaman—pastinya sudah melepas dekap sedari tadi.
“Harusnya gue, Cil, yang tanya gitu.” sahut Farrel sambil mengusak surai Heaven.
“Kenapa, hm?” tanya Farrel.
“I don't know. I just.. need some time alone, I guess?”
“Tell me.” sahut Farrel.
“Is it okay kalo gue cerita? Gue gak mau nambah-nambahin pikiran lu.”
“Totally okay, Cil.”
“Gue cape, Gie,”
“Kayanya..”
“Kok kayanya?”
“Ya gue gak tau kenapa, bisa-bisanya gue ngerasa cape banget padahal ini terjadi gak sekali dua kali,”
“Gue dituntut untuk jadi yang paling baik, gue dituntut untuk jadi yang bisa menghasilkan ini lah itu lah. Gue sampe belain daftar asdos demi nambah-nambahin pemasukan ibu dan adek-adek gue. Tapi ternyata balasan yang gue dapet gak sekeras usaha yang gue lakuin.”
Farrel memasang raut bingung.
“Gue kasih hampir semua pemasukan yang gue dapet ke ibu dan adek-adek gue, tapi ibu masih aja nganggep gue gak berguna, duit yang gue kasih kurang lah apa lah. Cape, Gie, gue kan juga manusia, gue bisa cape juga.”
Farrel mengangguk memberi tanda bahwa Heaven bisa melanjutkan ucapannya.
“Gue salah ya, Gie, kalo ngeluh kaya gini? Padahal kan ini juga buat orang tua gue.”
“Udah?” tanya Farrel.
Heaven mengangguk.
“First of all, Heaven gue mungkin bukan siapa-siapa lo tapi gue mau bilang makasih karena lo udah kerahin semua usaha dan tenaga yang lo punya buat ibu dan adek-adek lo. Gue gak tau tuntutan kaya apa yang selama ini lo hadapi, tapi you did great, Ven, karena lo udah sampe disini sekarang.
Lo boleh capek, lo berhak capek, dan lo berhak ngeluh. Gue kalo jadi lo pasti juga bahkan ngelakuin hal yang sama karena kita disini statusnya masih sebagai anak, kita masih harus belajar, menuntut ilmu tapi kenapa di sisi lain kita malah disuruh nopang hidup orang tua kita? Semua orang juga tau kalo itu bukan kewajiban kita. Tapi ketika kita ada di keadaan yang gak memungkinkan, kita mau gak mau harus ngejalanin semuanya, kita harus mau liat sisi terbawah hidup kita karena kalo bukan kita yang tanggung jawab atas keluarga kita, bakalan siapa lagi?
Gue mungkin gak tau perasaan apa yang lo rasain sekarang tapi gue harap lo kuat terus ya? Bukannya gue memperlakukan lo layaknya robot, tapi lo harus inget kalo ada jiwa-jiwa yang lagi menopangkan hidupnya di pundak lo. Pundak lo yang kuat ini jangan sampe runtuh, karena kalo runtuh bakal ke siapa mereka bertopang?
Lo sayang ibu dan adek-adek lo kan?”
Heaven menundukkan kepalanya sedalam mungkin, memejamkan matanya erat, tak peduli akan sederas apa air matanya lolos, ia hanya ingin menangis malam itu.
“It's okay, it's okay to cry.” ucap Farrel sambil membelai lembut punggung tangan Heaven yang kini mengenggam erat ujung sweaternya.
“Gue egois ya, Gie? Hiks,”
“No you aren't, Heaven.”
“Gue harus apa—hiks—Gie?”
Tangisan yang kian mengeras dan tubuh yang kian kencang bergetar, Farrel berinisiatif menuntun Heaven ke dekapannya, lagi.
“Sini, jangan nangis sendirian. Bagi semua rasanya ke gue.” ucapnya sambil mengusap-usap tengkuk leher Heaven.
“Lo mau tau apa yang harus lo lakuin?” tanya Farrel.
Heaven mengangguk dalam dekapannya.
“Kuat, Ven.”
“If you keep your shoulder strong, they're safe. And I hope that this shoulder will never get tired of protecting people from anything terrible in the world. You must believe in yourself, Ven.” ucapnya sambil menegakkan pundak Heaven dengan kedua tangannya.
“Hey, face me like you face all of your fears. Coba gue mau liat mukanya.”
Heaven perlahan mendongak.
Farrel melempar senyum setenang embun pagi, tatapnya kian melembut tiap kali bersirobok dengan tatap milik Heaven.
“Gue boleh minta peluk lagi?” tanya Heaven, matanya membola seakan memohon didekap untuk yang kesekian kali.
Farrel tersenyum, “With pleasure.” sambil merentangkan kedua tangannya.
Nyatanya dua anak adam itu sama-sama menderitanya. Menderita karena jadi yang pertama, menderita karena dituntut jadi yang paling sempurna, dan menderita karena harus punya punggung yang kuat tiada duanya. Tapi entah Heaven atau Farrel yang lebih beruntung, karena keduanya selalu bertemu di waktu yang tepat, sehingga jika salah satunya terluka yang satunya bantu membasuh dan menerka.