tuanmudalee

cw // kiss

Heaven kini sedang menyantap makan siang yang baru saja diberikan oleh petugas disana. Kalau boleh jujur, 3 hari terasa seperti 3 sasi disini. Heaven muak dengan makanan yang hanya itu-itu saja; lembek, hambar, dan tak bervariasi.

Sambil mengescroll timeline youtube dan meminum susu, Heaven mendengar derap langkah kaki yang kencang sekali suaranya—seperti berlari tergesa-gesa. Namun masih ia hiraukan saja karena youtube lebih penting dari pada segalanya.

Hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka membuat seluruh kegiatannya terhenti seketika.

Farrel datang dengan celana jeans berwarna denim—tak lupa ikat pinggangnya dan kaos hitam polos yang ia kenakan.

Nafasnya tercekat.

Mulut Heaven seketika membentuk huruf O dan matanya sedikit terbelalak karena melihat Farrel terengah-engah.

Eh, eh. Duduk dulu sini, sini.” ajak Heaven sambil berdiri menghampiri Farrel.

Awalnya Farrel mengangkat tangannya, mengisyaratkan ia tidak apa-apa. Tapi siapalah Heaven yang tega melihat Farrel dalam keadaan seperti itu? Akhirnya Farrel pun mengikuti suruhan Heaven.

Minum, minum. Lagian kenapa lari-lari sih, ah.

Setelah menegak air mineral hingga ke tetes terakhirnya, Farrel menatap Heaven yang kini kembali duduk di atas ranjang tidurnya—sedangkan Farrel duduk di kursi.

Sayang..” panggil Farrel sambil menggenggam jemari Heaven.

Bukannya merespon, Heaven justru membuang muka. Terlalu malu membalas panggilan yang sama sekali belum pernah Farrel lantunkan secara langsung.

Sayang?” panggil Farrel untuk yang kedua kali.

Jangan panggil gitu, Gie..

Farrel terkekeh sebentar, “Kenapa? Kan emang lo sayangnya gue?

Malu..” sahut Heaven.

Sini coba lihat gue dulu.” pinta Farrel, kemudian dibalas tolehan oleh Heaven.

Sebelum berucap, Farrel kembali mengusap-usap lembut jemari dan telapak tangan Heaven dengan ibu jarinya, “Maaf ya, Sayang?” katanya.

Kita pulang dulu aja ya?

Keduanya pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, ke kos Heaven yang jelas. Farrel membantu Heaven mengeluarkan barang-barangnya.

Gak usah dibantu mapah gitu, Gie. Gue masih bisa jalan kali.” tutur Heaven sambil terkekeh saat Farrel dengan sigap melingkarkan tangannya di pinggang Heaven.

Sesaat setelah Heaven selesai menata barang bawaannya ke tempat semula, Heaven pun duduk di ujung kasurnya.

Gue dipunggungin nih?” tanya Farrel kemudian mencium punggung yang masih terbalut perca itu. Karena tak kunjung mendapat balasan, Farrel beranjak hingga kini ia berlutut di lantai, sedangkan Heaven di atas—di kasur.

Hey..

Hm?

Masih marah sama gue ya? Gue minta maaf, Ven.

Heaven hanya menggeleng.

Maaf gue terlalu egois. Gue gak ngertiin lo, gue gak peduliin lo, dan gue seenaknya sendiri ngambil keputusan yang benefitnya buat gue sepenuhnya,

Harusnya dari awal gue gak boleh maksain kehendak kaya gitu. It's your own choice, anyway.

Gak papa, Gie. Udah lalu juga.” balasnya tegas.

Lo maafin gue gak? Kalo gak juga gak papa kok, I deserved it.

Heaven menutup matanya sebentar, menahan mati-matian air mata dan amarah yang sudah mendidih di dalam dirinya sekarang.

Lu tau kan, Gie, kalo gue sibuk even di luar urusan kuliah?

Farrel mengangguk, “Tau,” katanya.

Lu tau kan gue nge-asdos, gue part-time pagi malem menyesuaikan jadwal kuliah, gue buka les-lesan, dan gue belajar lagi kalo udah sampe di kos. Lu tau?

Iya, Ven. Gue tau.

Kalo lu tau, kenapa lu masih bisa dengan entengnya nyuruh gue masuk organisasi sih? Enteng banget kemarin lu ngomong seakan-akan gue gak boleh kangen sama lu gara-gara gue gak join organisasi-organisasian lu itu,

Lu kira jadi gue gak capek, Gie? Gue nafkahin keluarga gue sendirian, pake duit gue sendiri. Jangan lah lu tambahin dengan beban-beban yang lain. Bukannya gue gak enjoy ikut organisasi, gue seneng kok, enjoy banget malah. Tapi kali ini udah bukan waktunya lagi buat gue. Gue udah gak sempet ikut begituan karena di sisi lain gue dituntut buat menghasilkan uang lebih banyak dari pada sebelumnya. Gue harus kerja ekstra keras, Gie. Everyone's relying their life onto my shoulder,

Kalo aja duit gue lebih-lebih juga gue gak akan muluk-muluk kerja dari pagi ampe pagi, malem ampe pagi terus-terusan. Gue juga mau enak, Gie. Makannya gue kerja setengah mati.” katanya sambil mengusap air matanya yang telah berani meloloskan diri satu persatu dari kurungannya.

Terus kenapa lo masih nekat daftar BEM, Ven?

Lu bodoh, tapi gue cinta mati.” sela Heaven.

Ya kenapa lagi kalo bukan karena lu? Gue gak mau lu tinggalin gue gara-gara gue gak bisa menuhin ekspetasi lu..

Ven, tapi—

Semua orang gak bener-bener disini, Gie. Semuanya ninggalin gue. Gue gak mau lu ngelakuin hal yang sama. Gue gak mau sendirian lagi.

Terlalu bungkam dengan apa yang Heaven ucapkan, Farrel sontak membawa tubuh yang lebih kecil menuju dekapannya.

Maaf, Ven,

Heaven yang awalnya abai kini pertahanannya mulai runtuh—ia membalas dekapan Farrel erat.

Gue sayang lu, Augie. Gue udah—hiks—bilang kan. Makannya apapun gue lakuin buat lu, asal—hiks—lu gak ninggalin gue. Gue benci sendirian, Gie.” ucap Heaven sambil terisak.

Mendengar Heaven tak kunjung berhenti meracau, Farrel mencium telinga Heaven lembut.

Sshhh, gue disini. Sshhh, gue gak kemana-mana.” diucapnya berkali-kali tepat di depan telinga Heaven.

Udah dong nangisnya, nanti gak cantik lagi loh?” ledek Farrel sambil menangkup wajah mungil Heaven dengan dua tangan besarnya.

Heaven masih tertunduk.

Gue dimaafin gak?

Heaven pun mendongak kemudian mengangguk cepat—tak lupa mengusap hidungnya yang memerah dan hampir mengeluarkan ingus.

Gue sayang lo, Heaven. Sampe kapanpun, maaf gue egois, mulai hari ini tuntun gue buat perbaiki semuanya ya? We grow together, mau kan?” ucap Farrel.

Aku sayang kamu juga.” balas Heaven kemudian cepat-cepat menempelkan lagi kepalanya pada dada bidang Farrel—menyembunyikan semburat merah pada wajahnya disana.

Saat keduanya terbawa suasana tenang sambil saling berbagi hangat, Heaven menginterupsi ketenangan itu.

Abang..

Tak kunjung mendapat jawaban, Heaven pun mendongak—mencari apakah Farrelnya masih disana.

Ternyata yang dipanggil sedang pura-pura pingsan. Matanya terpejam sambil lidahnya terulur keluar sedikit.

Ih ngapain kaya gituuuu!” protes Heaven sambil mencubit perut Farrel.

Jangan manggil gue Abang, gue bisa pingsan sekarang juga,” tukas Farrel sambil mengusak-usak hidung bangirnya ke pucuk kepala Heaven.

Lebaayy!

Lagian kenapa sih? Kaget tau tiba-tiba lo manggil gitu.

Tadi gue gak sengaja liat notif hp lu, ada notif dari siapa gitu gak tau.

Pas kapan? Kenapa gak lo buka aja?

Tadiii. Gue belum buka sih, tapi kelihatan isi chatnya segini,” ucapnya sambil memperagakan ukuran 'segini' dengan dua jarinya.

Apa emang yang kelihatan?

Lu gak ikut rapat ya hari ini? Kenapa kabur?

Yang ditanya hanya nyengir.

Dih nyengir lu!

Gue kalo disuruh keluar dari organisasi juga gue mau, Ven. Asal gak keluar dari hidup lo.

Jangan. Itu tempat lu, cukup gue aja yang gak punya pengalaman, lu jangan.

Sambil mencium pucuk kepala Heaven, “Nanti gue bagi semua pengalaman gue kaya waktu lo bagi semua perasaan lo ke gue.” ucap Farrel.

Nyatanya Heaven masihlah menjadi seorang yang serba rapuh dalamnya. Terlalu sering sendiri tak memungkiri bahwa ia asik sendiri, Heaven justru benci sendiri. Apapun yang Farrel mau ia lakukan, asal Farrel bertahan. Mau sampai opname pun tetap Heaven lakukan, karena Farrel satu-satunya alasan untuk ia tetap berjalan. Farrel satu-satunya alasan punggungnya tumbuh semakin kuat meski berkali-kali diterpa badai rintangan.

Setelah Heaven membagikan lokasi dimana ia dirawat, Nanda pun langsung bergegas mengemasi barang bawaannya kemudian menancap gas motor gedenya ke arah tujuan.

Nanda itu yang paling dekat dengan Heaven, tempat pertama Heaven dalam situasi apapun. Setiap keputusan yang akan Heaven ambil, pasti dibicarakan dengan Nanda lebih dulu. Pantas saja, Nanda jadi seorang yang paling khawatir saat mengetahui Heaven dirawat di rumah sakit.

Masih ingat kan saat Heaven ingin daftar BEM secara tiba-tiba? Nanda sebetulnya sudah berusaha meyakinkan Heaven, Nanda tahu kalau organisasi itu bukan tempat bagi Heaven. Apa yang Heaven kerjakan sehari-hari juga sudah melebihi kapasitas tubuhnya—akhirnya kekhawatiran Nanda pun telah jatuh dari ujung tanduk.

Sesampainya Nanda di rumah sakit, ia langsung saja menuju ke kamar yang Heaven tempati—tentu saja setelah diintrogasi oleh petugas disana.

Ceklek

Heaven yang awalnya memejamkan mata pun membuka matanya perlahan, ia kikuk melihat kehadiran sahabatnya di ujung ruangan.

Nanda menghela nafas dalam, seakan memberi Heaven sinyal I'm so done with you.

Kok bisa sih, Ven?” tanyanya sambil berjalan mendekat.

Heaven kemudian mendudukkan diri sambil memperhatikan setiap pergerakan Nanda. “Ngapain bawa makanan banyak-banyak, gue udah bilang gue disini cuma bentarrr.” katanya saat melihat Nanda mengeluarkan makanan yang ia bawa.

Emang lu Tuhan bisa prediksi sembuhnya lu tuh kapan?” tukas Nanda sambil menoyor kepala Heaven.

Orang lagi sakit juga malah ditoyor!

Nanda duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu. Belum ada pembicaraan sekitar 2 menit lamanya karena Nanda masih setia menatap Heaven dari kepala sampai kaki, sedangkan yang ditatap hanya meracau tak jelas sambil sesekali menatapi langit-langit kamar.

Kenapa sih, Ven? Cerita.” ucap Nanda untuk yang pertama kali.

Gue..

.. Farrel pengen gue ikut organisasi. Dari kapan lalu gue udah tolak karena emang gue gak mau, lu tau sendiri kan, Nda,

Terus?” tanya Nanda karena Heaven tak kunjung melanjutkan ucapannya.

Sampe akhirnya gue ngerasa kangen ama dia, pengen ketemu dia. Soalnya minggu itu bener-bener dia kaya hectic banget, gue ajak ketemu sebentar aja gak bisa. Terus lu tau jawaban dia apa pas gue minta ketemu?

Nanda menggelengkan kepalanya.

Heaven menarik nafas sebentar, menenangkan dirinya agar tak mengeluarkan air matanya—jujur saja ia sedikit sakit hati karena keputusannya tak dihargai.

Dia bilang, “Siapa suruh pas gue suruh ikut organisasi gak mau? Gini kan..” Heaven kembali menarik nafas lagi, “.. jadi gak bisa ketemu gue. Gitu katanya.” lanjutnya.

Terus sebelum gue minta ketemu juga dia sempet bohongin gue. Ini pov gue sih, gak tau juga dia beneran bohong atau gak, cuma gue ngerasa hubungan gue sama dia kaya.. makin renggang semenjak gue gak nurutin kemauan dia buat ikut organisasi,

Yaudah gue akhirnya bilang ke lu kan, gue pengen daftar BEM. Sebenernya pas semester 1 gue udah pernah daftar kan, tapi gue rasa makin kesini makin gak kepegang semuanya makannya gue stop.

Lu daftar BEM cuma demi validasi dari Farrel?

Heaven dengan ragu mengangguk.

Gue gak mau kehilangan dia, Nda. Gue cuma takut aja dia gak mau sama gue lagi gara-gara gue gak nurutin kemauan dia,

Ven, tapi lu di luar kampus sendiri aja udah sibuk minta ampun. Gak seharusnya lu turutin juga, itu hak lu kalo misal lu nolak kemauan dia.” sela Nanda.

Heaven menunduk.

Dan terisak.

Nanda pun bernisiatif menggenggam tangan Heaven.

Hey,” panggilnya membuat Heaven mendongak lagi.

Farrel udah tau?” tanya Nanda.

Heaven menggeleng cepat kemudian kembali menundukkan kepalanya dan terisak lebih dalam daripada sebelumnya.

Jang—hiks jangan kasih tau dia ya?” pintanya terbata.

Gue gak mau dia liat gue dalam keadaan kaya gini. Gue gak suka kelihatan lemah di mata dia, sama..

Sama apa?

Gue belum mau ketemu Farrel. I need more time.” katanya sambil mengusap sisa-sisa air matanya.

Sesaat setelah Heaven mengusap air matanya, Felix dan Aries datang.

HIVEENNNNN,” panggil Felix sambil berlari kecil, ingin memeluk teman gembulnya cepat-cepat.

Sssuttt, jangan kenceng-kenceng, ini di rumah sakit!” protes Heaven.

Lo gak papa?” tanya Aries masih dengan muka datarnya, tapi kali ini tangannya mengarah ke dahi Heaven—ingin mengecek suhu tubuh temannya.

Cuma Anemia gue aja, kambuh.” sahutnya.

Pala lo peang, cuma cuma. Kecapekan lo tuh, jangan dipush banget kenapa sih?” ucap Aries.

Iya, Ven. Anemia kan gak bisa kalo terlalu capek, lo harus paham porsi tauu.” sahut Felix.

Iye, iyeee. Perhatian banget dah temen-temen gueee.

Maaf ya gue ngerepotin lu semua?” tambahnya.

Udah sana lu tidur, gak usah mikir aneh-aneh.

“𝗦𝗮𝘆𝗮𝗮𝗻𝗻𝗴𝗴𝗴𝗴”

“𝗘𝗻𝗷𝗼 𝗮𝗻𝗮𝗸 𝗽𝗮𝗽𝗮𝗵, 𝘄𝗵𝗲𝗿𝗲 𝗮𝗿𝗲 𝘆𝗼𝘂𝘂𝘂???”

Panggil Marko begitu ia memasuki rumah.

Shailendra yang awalnya sibuk melihat TV pun beranjak dari sofa dan menghampiri Marko.

“𝗞𝗮?” panggilnya.

Marko pun menoleh antusias setelah mendengar suara itu. Namun setelah melihat Shailendra, bukannya langsung menghampiri, ia justru terpaku disana. Menatap yang tersayang lamat-lamat hingga membuat matanya berkaca-kaca.

“𝗞𝗼𝗸 𝗱𝗶𝗲𝗺?” tanya Shailendra.

“𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴..”

“𝗜𝘆𝗮, 𝗞𝗮𝗸𝗮. 𝗔𝗸𝘂 𝗱𝗶𝘀𝗶𝗻𝗶.”

“𝗔𝗸𝘂 𝘀𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗲𝘁 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂.” ucapnya kemudian menghampiri Shailendra—membawa yang lebih mungil untuk didekap erat.

“𝗞𝗮𝗸𝗮 𝗻𝗮𝗻𝗴𝗶𝘀 𝘆𝗮?” tanya Shailendra sambil mengusap-usap punggung Marko.

Marko tak merespon.

“𝗞𝗮𝗻𝗴𝗲𝗻 𝗮𝗻𝗮𝗸 𝗮𝗸𝘂, 𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗮𝗻𝗮𝗸 𝗮𝗸𝘂, 𝗬𝗮𝗻𝗴?” katanya sambil merenggangkan pelukan.

“𝗕𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗮𝗸𝘂 𝗷𝗲𝗺𝗽𝘂𝘁. 𝗞𝗮𝘁𝗮 𝗕𝘂𝗻𝗱𝗮 𝗮𝗴𝗮𝗸 𝗻𝗮𝗻𝘁𝗶 𝗮𝗷𝗮 𝗷𝗲𝗺𝗽𝘂𝘁𝗻𝘆𝗮, 𝗕𝘂𝗻𝗱𝗮 𝗸𝗮𝗻𝗴𝗲𝗻 𝗘𝗻𝗷𝗼, 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗘𝗻𝗷𝗼 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗱𝗶𝘀𝗮𝗻𝗮.” jawabnya.

“𝗜𝗻𝗶 𝗿𝗮𝗺𝗯𝘂𝘁𝗻𝘆𝗮 𝗹𝗲𝗽𝗲𝗸 𝗴𝗶𝗻𝗶, 𝗮𝗯𝗶𝘀 𝗻𝗴𝗮𝗽𝗮𝗶𝗻 𝘀𝗶𝗵?𝗞𝗮𝗸𝗮 𝗼𝗹𝗮𝗵 𝗿𝗮𝗴𝗮 𝗱𝗶 𝗮𝗴𝗲𝗻𝘀𝗶?” tanya Shailendra sambil menyingkirkan rambut basah Marko yang bisa kapan saja menusuk matanya.

“𝗔𝗸𝘂 𝗵𝗮𝗯𝗶𝘀 𝗹𝗮𝗿𝗶-𝗹𝗮𝗿𝗶,”

“𝗡𝗴𝗮𝗽𝗮𝗶𝗻 𝗹𝗮𝗿𝗶-𝗹𝗮𝗿𝗶 𝗱𝗲𝗵𝗵?”

“𝗬𝗮, 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗲𝗻 𝗰𝗲𝗽𝗲𝘁 𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴. 𝗞𝗲𝘁𝗲𝗺𝘂 𝗸𝗮𝗺𝘂. 𝗔𝗸𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗲𝘁𝗮𝗵 𝘀𝗼𝗮𝗹𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗶𝗻 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝗸𝗲 𝗸𝗮𝗺𝘂.” katanya.

“𝗜𝗵 𝗱𝗮𝘀𝗮𝗿! 𝗣𝗮𝗱𝗮𝗵𝗮𝗹 𝗮𝗸𝘂 𝗱𝗶𝘀𝗶𝗻𝗶 𝘁𝗲𝗿𝘂𝘀 𝗴𝗮𝗸 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗺𝗮𝗻𝗮,”

“𝗗𝘂𝗱𝘂𝗸 𝘆𝗮? 𝗡𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶 𝘀𝗼𝗳𝗮 𝗮𝗷𝗮, 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗞𝗮𝗸𝗮 𝗴𝗮𝗸 𝗰𝗮𝗽𝗲𝗸.” tambah Shailendra.

———

“𝗘𝗰𝗮..” panggil Marko ragu. Kini keduanya sudah duduk di sofa, bersampingan. Namun, fokus Eca masih ia arahkan sepenuhnya ke tayangan TV di depannya.

“𝗨𝗱𝗮𝗵, 𝗞𝗮? 𝗠𝗮𝘂 𝗻𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴?” tanyanya sambil memencet tombol off pada remot TV.

Marko mengangguk.

Shailendra pun menyamankan posisinya, memutar badannya sehingga sepenuhnya menghadap ke arah Marko sekarang.

“𝗦𝗼..?”

“𝗦𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗻𝗴𝗼𝗯𝗿𝗼𝗹 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗷𝗮𝘂𝗵. 𝗔𝗸𝘂 𝗺𝗮𝘂 𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗺𝗮𝗮𝗳 𝗱𝘂𝗹𝘂. 𝗔𝗸𝘂 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗺𝗶𝗹𝗶𝗵 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂𝗶𝗻 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗱𝗮𝗵𝗮𝗹 𝗱𝗶 𝘀𝗶𝘀𝗶 𝗹𝗮𝗶𝗻 𝗮𝗸𝘂 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗷𝗲𝗺𝗽𝘂𝘁 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂, 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗯𝗲𝗯𝗮𝘀 𝗺𝗮𝘂 𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿 𝗽𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗮𝗸𝘂,”

Shailendra mengangguk.

“𝗔𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻, 𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴. 𝗕𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗲 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴, 𝗺𝗲 𝗮𝗻𝗱 𝗵𝗶𝗺 𝗮𝗿𝗲 𝗻𝗼𝘁𝗵𝗶𝗻𝗴,

𝗔𝗸𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶 𝗸𝗲𝗻𝗮𝗽𝗮 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗮𝗸𝘂 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗶𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗲𝗽𝗼𝗹𝗶𝘀𝗶𝗮𝗻 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗱𝗶𝘁𝗲𝗺𝘂𝗶𝗻 𝗸𝗲𝗰𝗲𝗹𝗮𝗸𝗮𝗮𝗻,

𝗔𝗸𝘂 𝗸𝗲 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵 𝘀𝗮𝗸𝗶𝘁 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗿𝗶𝗻 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻. 𝗔𝗸𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝘀𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻. 𝗬𝗼𝘂'𝗿𝗲 𝗺𝘆 𝗼𝗻𝗹𝘆 𝗼𝗻𝗲.”

Shailendra mengangguk-angguk pada setiap pernyataan yang Marko utarakan.

“𝗨𝗱𝗮𝗵?” tanya Shailendra.

“𝗖𝗼𝗯𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝘂𝘁𝗮𝗿𝗮𝗶𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗺𝘂, 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗮𝗿𝘂 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗻𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴 𝗶𝘁𝘂 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴.”

“𝗔𝗸𝘂 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗸𝗮𝗻?” tanya Shailendra.

Marko menatapnya sebentar kemudian mengangguk.

“𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝗺𝗶𝗸𝗶𝗿𝗶𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗴𝗮𝗸 𝘀𝗶𝗵, 𝗞𝗮, 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗻𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮?”

Marko menatapnya lagi.

“𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯.”

“𝗔𝗸𝘂 𝘀𝗲𝗹𝗮𝗹𝘂 𝗺𝗶𝗸𝗶𝗿𝗶𝗻 𝗸𝗮𝗹𝗶𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗱𝘂𝗮, 𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴. 𝗚𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗮𝗸𝘂—”

Sambil menggeleng-gelengkan kepala, “𝗞𝗮𝗹𝗼 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗺𝗶𝗸𝗶𝗿𝗶𝗻 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼, 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗸𝗮𝗻 𝗷𝗲𝗺𝗽𝘂𝘁 𝗮𝗸𝘂 𝗱𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗱𝘂𝗹𝘂? 𝗔𝘁 𝗹𝗲𝗮𝘀𝘁, 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗸𝗮𝗯𝗮𝗿𝗶𝗻 𝗱𝗲𝗵, 𝗴𝗮𝗸 𝘂𝘀𝗮𝗵 𝗺𝘂𝗹𝘂𝗸-𝗺𝘂𝗹𝘂𝗸 𝗻𝗴𝗲𝗷𝗲𝗺𝗽𝘂𝘁. 𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗸𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗯𝗲𝗿𝗷𝗮𝗺-𝗷𝗮𝗺, 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗹𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗻𝗴𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗸𝗮𝗯𝗮𝗿 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗱𝗶 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵 𝘀𝗮𝗸𝗶𝘁, 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻𝗺𝘂 𝗸𝗲𝗰𝗲𝗹𝗮𝗸𝗮𝗮𝗻..

.. 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗽𝗶𝗸𝗶𝗿 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗮𝗶𝗸-𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗮𝗷𝗮 𝗽𝗮𝘀 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗴𝗶𝘁𝘂? 𝗛𝗮𝘃𝗲 𝘆𝗼𝘂 𝗲𝘃𝗲𝗿 𝘁𝗵𝗶𝗻𝗸 𝘁𝗵𝗮𝘁 𝗺𝘆 𝗽𝗮𝗻𝗶𝗰 𝗮𝘁𝘁𝗮𝗰𝗸 𝗵𝗮𝗱 𝗰𝗼𝗺𝗶𝗻𝗴 𝘄𝗵𝗲𝗻 𝗜 𝗵𝗲𝗮𝗿𝗱 𝗻𝗲𝘄𝘀 𝗮𝗯𝗼𝘂𝘁 𝗰𝗮𝗿 𝗮𝗰𝗰𝗶𝗱𝗲𝗻𝘁? 𝗜 𝗱𝗲𝗮𝗱𝗹𝘆 𝘀𝗵𝗼𝗰𝗸𝗲𝗱 𝗰𝗮𝘂𝘀𝗲 𝗶𝗻 𝘁𝗵𝗲 𝗼𝘁𝗵𝗲𝗿 𝗵𝗮𝗻𝗱, 𝘆𝗼𝘂 𝗱𝗶𝗱𝗻'𝘁 𝗿𝗲𝗽𝗹𝘆 𝗺𝘆 𝘁𝗲𝘅𝘁.” balas Shailendra.

Marko kaget setengah mati, matanya terbelalak, duduknya yang semula lemas kini berubah tegap.

“𝗗𝗶𝗱 𝘆𝗼𝘂..

.. 𝗘𝗰𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗸𝗲𝗻𝗮𝗽𝗮 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴?”

Shailendra menghela nafasnya dalam, memejamkan matanya. Siap meledak saat ini juga.

“𝗬𝗼𝘂 𝘀𝗮𝗶𝗱 𝗜 𝗰𝗼𝘂𝗹𝗱 𝗯𝗲 𝗺𝗮𝗱, 𝘁𝗵𝗲𝗻 𝗹𝗲𝘁 𝗺𝗲 𝗱𝗼 𝗶𝘁 𝗻𝗼𝘄.” katanya.

Shailendra mengarahkan jari telunjuknya ke arah kepala Marko, ia tempelkan kemudian ia dorong jarinya sehingga membuat kepala Marko tergerak ke belakang.

“𝗜𝗻𝗶 𝗼𝘁𝗮𝗸 𝗽𝗶𝗻𝘁𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗽𝗮𝗸𝗲 𝗺𝗶𝗸𝗶𝗿, 𝗞𝗮. 𝗔𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗴𝗮 𝗶𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗻𝗴𝗲𝗿𝗲𝗰𝗼𝗸𝗶𝗻 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗱𝗶𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗱𝗶𝗿𝗲𝗰𝗼𝗸𝗶𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗮𝗶𝗻. 𝗔𝗱𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗯𝘂𝘁𝘂𝗵 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗱𝗶 𝗹𝘂𝗮𝗿 𝘀𝗮𝗻𝗮. 𝗔𝗸𝘂 𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴 𝘀𝘂𝗮𝗺𝗶 𝗸𝗮𝗺𝘂, 𝗸𝗲𝘄𝗮𝗷𝗶𝗯𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗺𝘂, 𝘁𝗮𝗽𝗶 𝗮𝗸𝘂 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗽𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗿𝗮𝘀𝗮𝗮𝗻.

𝗞𝗮𝗹𝗼 𝗮𝗸𝘂 𝗲𝗴𝗼𝗶𝘀 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗮𝗸𝘂 𝗿𝗲𝗰𝗼𝗸𝗶𝗻 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗿𝗶𝗻, 𝗴𝗮𝗸 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵𝗶𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗺𝗮𝗻𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮, 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗮𝗸𝘂 𝗸𝗲𝗸𝗮𝗻𝗴, 𝗞𝗮. 𝗜𝘁𝘂 𝗽𝗮𝘀𝘁𝗶. 𝗧𝗮𝗽𝗶 𝗮𝗸𝘂 𝗱𝗶𝘀𝗶𝗻𝗶 𝗯𝗲𝗿𝘂𝘀𝗮𝗵𝗮 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗽𝗲𝗻𝗱𝗮𝗺𝗽𝗶𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝘁𝗶𝗮𝗻 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗸𝗮𝗺𝘂.

𝗞𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵, 𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗻𝗲𝗿 𝗮𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗺𝗮𝗿𝗮𝗵. 𝗧𝗮𝗽𝗶 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗮𝗶𝗸-𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗮𝗷𝗮, 𝗞𝗮.”

“𝗘𝗰𝗮..”

Shailendra menurunkan jari telunjuk yang semula bera di dahi Marko, menjadi ke mulut Marko. Menyuruhnya bungkam.

“𝗜'𝗺 𝗻𝗼𝘁 𝗱𝗼𝗻𝗲 𝘆𝗲𝘁,

𝗞𝗮𝗹𝗼 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗶𝗻 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗶 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗲𝗵𝗮𝗱𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗻𝘁𝗶𝗻𝗴 𝗶𝘁𝘂 𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽 𝗦𝗲𝗮𝗻?”

“𝗜 𝗱𝗼𝗻'𝘁 𝗸𝗻𝗼𝘄, 𝗖𝗮..”

“𝗧𝗮𝗽𝗶 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝗻 𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗼𝗵𝗼𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗴𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗻𝗮𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮. 𝗪𝗲'𝗿𝗲 𝗯𝗲𝘀𝘁 𝗳𝗿𝗶𝗲𝗻𝗱.” tambah Marko.

“𝗜𝘁𝘂 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝘁 𝗸𝗮𝗺𝘂. 𝗠𝗲𝗻𝘂𝗿𝘂𝘁 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗲𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸, 𝗞𝗮.”

“𝗪𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘁𝗮𝘂 𝘀𝗼𝗮𝗹 𝗳𝗼𝘁𝗼 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗸𝗶𝗻𝘀𝗵𝗶𝗽/𝗵𝘂𝗴𝗴𝗶𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻, 𝗶𝘁𝘂 𝗳𝗼𝘁𝗼 𝗹𝗮𝗺𝗮, 𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴. 𝗔𝗸𝘂 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗯𝗹𝗼𝗻𝗱𝗲 𝗯𝗲𝗿𝗸𝗮𝗹𝗶-𝗸𝗮𝗹𝗶 𝘀𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗶𝗻𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗶𝘁𝘂 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗮𝗿𝘁𝗶 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗲𝗹𝗶𝗻𝗴𝗸𝘂𝗵 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗵𝗮𝗿𝗴𝗮𝗶 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝘀𝘂𝗮𝗺𝗶 𝗮𝗸𝘂.”

Shailendra tersenyum mirik, 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘢 𝘴𝘩𝘢𝘮𝘦, batinnya.

Shailendra berinisiatif mengusap raut kusam Marko.

“𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁, 𝗮𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮-𝗺𝗮𝗻𝗮,” katanya.

Marko menggeleng kemudian menjatuhkan tatapnya ke bawah, tak ada keberanian untuk menatap yang di depannya.

“𝗟𝗮𝗶𝗻 𝗸𝗮𝗹𝗶 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗴𝗮𝗸 𝗻𝘆𝗮𝗺𝗮𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗮𝗸𝘂, 𝗯𝗼𝘀𝗲𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗮𝗸𝘂, 𝗺𝗮𝘂 𝘀𝗲𝗹𝗶𝗻𝗴𝗸𝘂𝗵, 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗷𝗮..

.. 𝗯𝗶𝗮𝗿 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝘀𝗶𝗻𝗶. 𝗔𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗺𝗮𝘂 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗮𝗻𝗴𝗴𝗼𝘁𝗮 𝗸𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿𝗴𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗶𝗸, 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗴𝗮𝗸 𝗻𝗴𝗲𝗸𝗮𝗻𝗴 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗻𝗴𝗲𝗹𝗮𝗸𝘂𝗶𝗻 𝗮𝗽𝗮𝗽𝘂𝗻. 𝗜𝘁'𝘀 𝗳𝗼𝗿 𝘆𝗼𝘂𝗿 𝗵𝗮𝗽𝗽𝗶𝗻𝗲𝘀𝘀 𝗮𝗻𝘆𝘄𝗮𝘆.” ucapnya membuat hati Marko mencelos—tanpa menghentikan usapan lembutnya di raut kusam Marko yang kini dipenuhi rasa takut.

Marko terisak.

“𝗟𝗼𝗵? 𝗞𝗼𝗸 𝗻𝗮𝗻𝗴𝗶𝘀?”

Marko lagi-lagi menggeleng.

“𝗛𝗮𝗿𝘂𝘀𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗸𝘂 𝗸𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗻𝗮𝗻𝗴𝗶𝘀? 𝗞𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗸𝗶𝘁 𝗵𝗮𝘁𝗶 𝗮𝗸𝘂?”

Marko masih juga tak merespon.

“𝗔𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗹𝘂 𝗽𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗦𝗲𝗮𝗻, 𝘁𝗼𝗹𝗼𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴𝗶𝗻 𝗸𝗲 𝗱𝗶𝗮 𝘆𝗮, 𝗞𝗮? 𝗔𝗸𝘂 𝗷𝗲𝗻𝗴𝘂𝗸𝗶𝗻 𝗱𝗶𝗮 𝗸𝗲𝗺𝗮𝗿𝗶𝗻 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗮𝗸𝘂 𝗶𝗸𝗵𝗹𝗮𝘀, 𝗮𝗸𝘂 𝗯𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝗻 𝘁𝘂𝗹𝘂𝘀 𝗺𝗮𝘂 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂𝗶𝗻 𝗱𝗶𝗮,”

“𝗞𝗮𝗸𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝗺𝗮𝘂 𝗷𝗲𝗻𝗴𝘂𝗸𝗶𝗻 𝗱𝗶𝗮 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝘁𝗲𝗺𝗲𝗻𝗶𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗽𝗲 𝗽𝘂𝗹𝗶𝗵 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗴𝗮𝗸 𝗽𝗮𝗽𝗮, 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗸𝗮 𝗺𝗮𝘂 𝗮𝗷𝗮 𝘀𝗶𝗵. 𝗦𝗼𝗮𝗹𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗮 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗴𝗮𝗸 𝗯𝘂𝘁𝘂𝗵 𝗱𝗶𝘁𝗲𝗺𝗲𝗻𝗶𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗮𝗻?” tambahnya, nadanya semakin terlihat penuh dengan sindiran.

“𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗴𝗶𝗻𝗶 𝘁𝗲𝗿𝘂𝘀, 𝗻𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂𝗶𝗻 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗱𝗶𝗲𝗺. 𝗔𝗸𝘂 𝗺𝗮𝘂 𝗰𝘂𝗰𝗶 𝗯𝗮𝗷𝘂 𝗮𝗷𝗮, 𝗻𝘂𝗺𝗽𝘂𝗸.” ucap Shailendra kemudian hendak beranjak dari tempatnya.

Hampir berdiri seutuhnya, gerakan Shailendra tertahan kala Marko menarik lengannya sigap dan kembali membawa tubuh mungil itu ke dekap yang lebih erat dari pada sebelumnya.

Shailendra menghela nafas.

“𝗜𝘆𝗮, 𝗞𝗮𝗸𝗮, 𝗸𝗮𝗹𝗼 𝗺𝗮𝘂 𝗻𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴, 𝗻𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴. 𝗗𝗼𝗻'𝘁 𝘄𝗮𝘀𝘁𝗲 𝗼𝘂𝗿 𝘁𝗶𝗺𝗲.”

“𝗠𝗮𝗮𝗳, 𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴..”

“𝗔𝗶, 𝗺𝗮𝗮𝗳..”

“𝗜'𝗺 𝗱𝗲𝗲𝗽𝗹𝘆 𝗱𝗲𝗲𝗽𝗹𝘆 𝘀𝗼𝗿𝗿𝘆, 𝗘𝗰𝗮..”

Diucapkannya maaf terus-menerus.

“𝗔𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗱𝗶𝗺𝗮𝗮𝗳𝗶𝗻, 𝗞𝗮?”

“𝗣𝗲𝗿𝗯𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗮𝗸𝘂, 𝗸𝗲𝗯𝗼𝗵𝗼𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗮𝗸𝘂, 𝗿𝗮𝘀𝗮 𝗴𝗮𝗸 𝗽𝗲𝗱𝘂𝗹𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗸𝘂, 𝘀𝗲𝗺𝘂𝗮𝗻𝘆𝗮.” balasnya.

“𝗔𝗸𝘂 𝗺𝗮𝘂 𝗹𝗶𝗮𝘁 𝗺𝗮𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗞𝗮𝗸𝗮.” pinta yang lebih mungil.

Marko pun melepaskan dekapnya kemudian dengan ragu-ragu menatap mata yang tersayang di depannya.

“𝗠𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗮𝗱𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗞𝗮𝗸𝗮 𝘀𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘆𝗶𝗶𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗮𝗸𝘂?” tanya Shailendra tanpa ragu. Kedua tangannya masih setia melingkar di leher Marko, Marko pun sama—kedua tangannya melingkar di pinggang Shailendra.

Marko menggeleng cepat.

Ujung bibir Shailendra lagi-lagi terangkat, ia tersenyum.

𝘊𝘶𝘱

Bibir Marko dikecup sebentar.

“𝗕𝗶𝗯𝗶𝗿 𝗴𝗮𝗻𝘁𝗲𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮 𝗶𝗻𝗶 𝗱𝗶𝗽𝗮𝗸𝗲 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗻𝗴𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴 𝗱𝗼𝗻𝗴, 𝗺𝗮𝘀𝗮 𝗴𝗲𝗹𝗲𝗻𝗴-𝗴𝗲𝗹𝗲𝗻𝗴 𝗱𝗼𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝘆𝗮 𝗴𝗶𝘁𝘂?” tukas Shailendra.

Marko tentu saja kaget dengan perlakuan suaminya yang super tiba-tiba itu.

𝘊𝘶𝘱

Kini giliran Marko yang bergerak lebih tajam.

“𝗜𝘆𝗮,

𝘊𝘶𝘱

𝗘𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮

𝘊𝘶𝘱

𝗬𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗸𝘂

𝘊𝘶𝘱

𝗦𝗲𝗺𝗯𝘂𝗻𝘆𝗶𝗶𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶.” balasnya diselingi satu kali kecupan di bibir berbentuk hati penuh di setiap ucapannya. Tak lupa menyugar rambut Shailendra yang mulai memanjang dan menutupi mata cantiknya.

“𝗔𝗸𝘂 𝗺𝗶𝗻𝘁𝗮 𝗺𝗮𝗮𝗳 𝘆𝗮? 𝗜'𝘃𝗲 𝗻𝗲𝘃𝗲𝗿 𝘀𝗲𝗲𝗻 𝘁𝗵𝗶𝘀 𝘀𝗶𝗱𝗲 𝗼𝗳 𝘆𝗼𝘂 𝗯𝗲𝗳𝗼𝗿𝗲, 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗮𝗸𝘂 𝘁𝗮𝘂.. 𝗔𝗸𝘂 𝗹𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝗺𝗶𝗸𝗶𝗿, 𝗜'𝗹𝗹 𝗻𝗲𝘃𝗲𝗿 𝗸𝗲𝗲𝗽 𝗲𝘃𝗲𝗿𝘆𝘁𝗵𝗶𝗻𝗴 𝗶𝗻 𝘀𝗲𝗰𝗿𝗲𝘁 𝗮𝗴𝗮𝗶𝗻, 𝗜'𝗹𝗹 𝗻𝗲𝘃𝗲𝗿 𝗽𝗹𝗮𝘆𝗶𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗵𝗶𝗻𝗱 𝘆𝗼𝘂𝗿 𝗯𝗮𝗰𝗸.. 𝗔𝗸𝘂 𝘀𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗲𝘁 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂, 𝗖𝗮. 𝗦𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗲𝘁.”

“𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗮𝗸𝗮𝗹 𝗻𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹𝗶𝗻 𝗮𝗸𝘂 𝗸𝗮𝗻? 𝗞𝗮𝗺𝘂 𝗻𝗴𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗮𝗸𝗮𝗹 𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼 𝗸𝗮𝗻? 𝗞𝗮𝗺𝘂 𝘁𝗲𝘁𝗲𝗽 𝗱𝗶𝘀𝗶𝗻𝗶 𝗸𝗮𝗻?” tanyanya bertubi-tubi.

Shailendra terkekeh pelan. Kini tangannya kembali mengusap lembut raut wajah Marko.

“𝗦𝗶𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼? 𝗔𝗸𝘂 𝗴𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼.” katanya sambil terus-terusan tersenyum—berniat meledek Marko.

“𝗬𝗼𝘂 𝘁𝘄𝗼 𝘀𝗲𝗲𝗺𝘀.. 𝘀𝘂𝘀𝗽𝗶𝗰𝗶𝗼𝘂𝘀.. 𝗔𝗸𝘂 𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗽𝗮𝗻𝘁𝗲𝘀 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗸𝗮𝗺𝘂. 𝗔𝗸𝘂 𝘁𝗮𝗸𝘂𝘁 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗽𝗲𝗿𝗴𝗶 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗝𝗲𝗮—”

𝘊𝘶𝘱

“𝗕𝗮𝗻𝘆𝗮𝗸 𝗼𝗺𝗼𝗻𝗴 𝗮𝗵, 𝗞𝗮𝗸𝗮. 𝗠𝗮𝘂 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼 𝗯𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝗻 𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮?”

“𝗘𝗡𝗚𝗚𝗔𝗞.”

Shailendra tertawa lepas.

Tentu Marko terdorong untuk ikut tertawa, Shailendra itu bahagianya. Shailendra bahagia, berarti ia juga sama.

“𝗞𝗮.. 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼 𝗶𝘁𝘂 𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗮𝗶𝗸. 𝗧𝗮𝗽𝗶 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗽𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗵𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶, 𝗝𝗲𝗮𝗻𝗼 𝗶𝘁𝘂 𝗺𝗶𝗹𝗶𝗸𝗻𝘆𝗮 𝗥𝗮𝗳𝗮𝗲𝗹. 𝗔𝗸𝘂 𝗽𝘂𝗻 𝘀𝗮𝗺𝗮, 𝗮𝗸𝘂 𝗽𝘂𝗻𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗵𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗮𝗸𝘂 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶,”

“𝗦𝗶𝗮𝗽𝗮 𝗯𝗮𝗵𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂?” tanya Marko disengaja.

“𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼𝗼𝗼𝗼!” balasnya sambil menjulurkan lidah.

Marko terkekeh kemudian dengan cepat membawa kembali yang tersayang menuju dekapannya.

“𝗜𝗵 𝗽𝗲𝗹𝘂𝗸-𝗽𝗲𝗹𝘂𝗸!” protes Shailendra sambil mencubit perut Marko.

“𝗟𝗼𝘃𝗲 𝘆𝗼𝘂, 𝗕𝗮𝗯𝘆.”

“𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗹𝗼𝘃𝗲𝘀 𝘆𝗼𝘂 𝘁𝗼𝗼, 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵..”

Balas seseorang dengan suara imut di seberang sana. Ternyata Bundanya Shailendra mengantar Kenzo pulang, saat keduanya masuk ke rumah bertepatan dengan Marko yang mengatakan demikian. Kenzo akhirnya reflek membalas ucapan Papahnya.

Marko yang awalnya memeluk Shailendra sambil terpejam pun seketika membuka matanya kaget, jagoannya ada disana!

“𝗛𝗲𝘆 𝗷𝗮𝗴𝗼𝗮𝗻! 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵 𝗸𝗮𝗻𝗴𝗲𝗻𝗻𝗻!” ucapnya sambil berjongkok dan membuka kedua tangannya lebar.

Kenzo pun berlari dan menghamburkan tubuh kecilnya ke dalam pelukan Marko.

“𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵, 𝘄𝗵𝘆 𝗮𝗿𝗲 𝗰𝗵𝘂 𝘀𝗮𝗱?” tanyanya sambil menggambar pola abstrak di raut wajah Marko yang masih basah bekas tangisnya sebelumnya.

“𝗡𝗼, 𝗕𝗮𝗯𝘆. 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵 𝗶𝘀 𝗻𝗼𝘁 𝘀𝗮𝗱. 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵 𝗶𝘀 𝗵𝗮𝗽𝗽𝘆.”

“𝗪𝗵𝘆 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵 𝗶𝘀 𝗵𝗮𝗽𝗽𝘆? 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵 𝗹𝗼𝘃𝗲 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗼𝗿 𝗔𝘆𝗮𝗵 𝗺𝗼𝗿𝗲?”

Hati Shailendra menghangat saat melihat dua kesayangannya bercakap seperti itu.

“𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵 𝗹𝗼𝘃𝗲 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗮𝗻𝗱 𝗔𝘆𝗮𝗵!” sela Shailendra kemudian menoel pipi Kenzo.

“𝗜𝗯𝘂𝗻, 𝗺𝗮𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵 𝘆𝗮? 𝗗𝘂𝗱𝘂𝗸 𝗱𝘂𝗹𝘂 𝗮𝗷𝗮, 𝗕𝘂𝗻. 𝗗𝗲𝗱𝗲 𝗯𝘂𝗮𝘁𝗶𝗻 𝗺𝗶𝗻𝘂𝗺.”

“𝗚𝗮𝗸 𝘂𝘀𝗮𝗵, 𝗗𝗲. 𝗕𝘂𝗻𝗱𝗮 𝗺𝗮𝘂 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗿𝗶𝘀𝗮𝗻 𝗵𝗮𝗯𝗶𝘀 𝗴𝗶𝗻𝗶 𝗱𝗶 𝗿𝘂𝗺𝗮𝗵 𝗧𝗮𝗻𝘁𝗲 𝗥𝗶𝘁𝗮. 𝗠𝗮𝗸𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗹𝗶𝗮𝗻 𝗻𝗴𝗮𝗻𝘁𝗲𝗿 𝘁𝘂𝗵 𝘀𝗶 𝗸𝗲𝗰𝗶𝗹, 𝗿𝗲𝘄𝗲𝗹 𝗸𝗮𝘁𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗮𝘂 𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴, 𝗽𝗲𝗻𝗴𝗲𝗻 𝗸𝗲𝘁𝗲𝗺𝘂 𝗣𝗮𝗽𝗮𝗵𝗻𝘆𝗮.” balas sang Bunda sambil memperagakan rengekan Kenzo.

Shailendra terkekeh.

“𝗕𝘂𝗻𝗱𝗮 𝗹𝗮𝗻𝗴𝘀𝘂𝗻𝗴 𝘆𝗮? 𝗕𝗮𝗶𝗸-𝗯𝗮𝗶𝗸 𝗸𝗮𝗹𝗶𝗮𝗻. 𝗔𝘄𝗮𝘀 𝘆𝗮, 𝗶𝗻𝗶 𝗕𝘂𝗻𝗱𝗮 𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵 𝘄𝗮𝗿𝗻𝗶𝗻𝗴 𝗻𝗶𝗵!”

“𝟴𝟲, 𝗕𝗨𝗡𝗗𝗔!” sahut Marko sedikit berteriak.


Demi Tuhan, kunci dari sebuah hubungan itu cuma komunikasi dan saling percaya. Eca itu bukannya bodoh dan mudah dipermainkan, tapi Eca itu sabar, percaya, dan teguh pada pendiriannya. Ia punya cara berpikirnya sendiri, yang sudah jadi keputusannya tak bisa diotak-atik orang lain. Makannya apapun yang Eca yakini tak pernah berakhir penyesalan, karena semua ia lakukan berdasarkan kata hatinya, sudah ia pertimbangkan sepenuhnya.

“𝗔𝗵 𝗯𝗮𝗻𝗴𝘀𝗮𝘁, 𝗮𝗽𝗮 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗶𝗻𝗶.”

Keluh Marko setelah mendapat pesan dari pihak kepolisian lewat handphone Sean. Bibirnya boleh mencebik, tapi badannya tetap bergerak berantakan—menghampiri Sean ke rumah sakit sekarang juga.

Jujur saja Marko tak tahu apakah keputusannya kali ini benar atau salah. Ia hampir kehilangan separuh jiwanya kala itu, akankah membantu Sean membuat hal yang sama terulang untuk yang kedua? Marko takut.

Bukan, bukan takut akan separah apa keadaan Sean. Tapi takut akan jadi seperti apa lagi hubungannya dengan yang tersayang—Shailendra.

“𝗦𝗲𝗮𝗻, 𝗶𝗻𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿. 𝗣𝗹𝗲𝗮𝘀𝗲 𝗷𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗯𝘂𝗮𝘁 𝗸𝗲𝘀𝗮𝗹𝗮𝗵𝗮𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗶𝗻𝗶, 𝗺𝗮𝗮𝗳 𝗴𝘂𝗲 𝘀𝗲𝗺𝗽𝗲𝘁 𝗻𝘆𝗮𝗸𝗶𝘁𝗶𝗻 𝗹𝗼 𝗷𝘂𝗴𝗮, 𝗯𝘂𝘁 𝘁𝗵𝗶𝘀 𝗶𝘀𝗻'𝘁 𝗿𝗶𝗴𝗵𝘁. 𝗚𝘂𝗲 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗘𝗰𝗮.” tuturnya sendirian sambil mengarahkan setir mobilnya ke arah rumah sakit tujuan.

———

“𝗣𝗲𝗿𝗺𝗶𝘀𝗶, 𝗠𝗯𝗮𝗸. 𝗕𝗮𝗿𝘂𝘀𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮 𝗽𝗮—𝘀𝗶𝗲𝗻.. 𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗻𝗮𝗺𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗔𝗻𝗮𝗻𝗱𝗵𝗶𝘁𝗮 𝘆𝗮?” tanyanya pada petugas resepsionis, tentu dengan nafas berderu karena habis berjalan cepat dari parkiran sampai ke dalam rumah sakit.

“𝗦𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮𝘁 𝗣𝗮𝗴𝗶, 𝗣𝗮𝗸. 𝗠𝗮𝗮𝗳 𝘀𝗲𝗯𝗲𝗹𝘂𝗺𝗻𝘆𝗮, 𝗸𝗮𝗹𝗮𝘂 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝗯𝗼𝗹𝗲𝗵 𝘁𝗮𝗵𝘂, 𝗕𝗮𝗽𝗮𝗸 𝗶𝗻𝗶 𝘀𝗶𝗮𝗽𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗔𝗻𝗮𝗻𝗱𝗵𝗶𝘁𝗮? 𝗞𝗲𝗿𝗮𝗯𝗮𝘁?” tanya petugas tersebut.

“𝗦𝗮𝘆𝗮.. 𝗿𝗲𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗿𝗷𝗮𝗻𝘆𝗮. 𝗞𝗲𝗿𝗮𝗯𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮 𝗹𝗮𝗴𝗶 𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗱𝗶𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗶𝗻 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗲𝘀𝗶𝗻𝗶. 𝗕𝗶𝘀𝗮 𝗮𝗴𝗮𝗸 𝗰𝗲𝗽𝗲𝘁, 𝗠𝗯𝗮𝗸?” balas Marko.

Marko pun mengedar pandang ke kanan dan kiri, sambil menunggu petugas itu mencari data atas nama Sean Anandhita.

“𝗣𝗮𝗸? 𝗔𝗱𝗮. 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗔𝗻𝗮𝗻𝗱𝗵𝗶𝘁𝗮, 𝗸𝗲𝗰𝗲𝗹𝗮𝗸𝗮𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝘀𝗮𝗱𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗿𝗶 𝗷𝗮𝗺 𝟬𝟵.𝟬𝟱. 𝗦𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗶 𝗱𝗶 𝗿𝘂𝗮𝗻𝗴 𝗨𝗚𝗗, 𝗣𝗮𝗸.”

“𝗚𝗼𝗱...”

“𝗞𝗲𝗻𝗮𝗽𝗮 𝗱𝗶 𝗨𝗚𝗗, 𝗠𝗯𝗮𝗸? 𝗣𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗻𝗴𝗲𝘁?” tambahnya.

“𝗞𝗮𝗸𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗹𝗮𝗺𝗶 𝗽𝗮𝘁𝗮𝗵 𝘁𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴, 𝗣𝗮𝗸. 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗶𝗻𝗳𝗼𝗿𝗺𝗮𝘀𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗮𝗺𝗶 𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗱𝗶𝘁𝗲𝗺𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗲𝗽𝗶𝘁 𝘀𝗮𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗰𝗲𝗹𝗮𝗸𝗮𝗮𝗻 𝘁𝗲𝗿𝗷𝗮𝗱𝗶. 𝗗𝗮𝗻 𝗮𝗱𝗮 𝗹𝘂𝗸𝗮 𝗱𝗶 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗹𝗮𝗻𝘆𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝘀𝗲𝗴𝗲𝗿𝗮 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗶. 𝗔𝗱𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝗹𝗮𝗴𝗶,𝗣𝗮𝗸?”

Marko menggelengkan kepalanya. “𝗠𝗮𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵.”

“𝗦𝗶𝗹𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝘂𝗻𝗴𝗴𝘂 𝗱𝗶 𝘁𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗱𝗶𝗮, 𝗣𝗮𝗸. 𝗧𝗲𝗿𝗶𝗺𝗮 𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵.”

Sambil melangkahkan kakinya ragu, Marko bergumam, “𝗚𝘂𝗲 𝗵𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗯𝗲𝗿𝘀𝗶𝗺𝗽𝗮𝘁𝗶? 𝗚𝘂𝗲 𝗺𝗮𝘂 𝗯𝗮𝗹𝗶𝗸, 𝗸𝗲𝗽𝗶𝗸𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗘𝗰𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼. 𝗘𝗰𝗮, 𝘀𝗲𝗺𝗼𝗴𝗮 𝗸𝗮𝗺𝘂 𝗺𝗮𝘂 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗲𝗿𝗶𝗻 𝗽𝗲𝗻𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗮𝗸𝘂 𝗻𝗮𝗻𝘁𝗶.” katanya.

“𝗧𝗲𝗿𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿, 𝗦𝗲𝗮𝗻. 𝗧𝗲𝗿𝗮𝗸𝗵𝗶𝗿. 𝗚𝘂𝗲 𝗴𝗮𝗸 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗻𝗴𝗲𝗰𝗲𝘄𝗮𝗶𝗻 𝗘𝗰𝗮 𝘀𝗮𝗺𝗮 𝗞𝗲𝗻𝘇𝗼 𝗹𝗲𝗯𝗶𝗵 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗶𝗻𝗶.” monolognya lagi.

———

Marko pun memutuskan mengirim pesan pada Shailendra setelah terduduk tenang di kursi ruang tunggu.

Bulir-bulir keringat jatuh dari dahi hingga ke dagu tanpa tahu malu. Marko takut akan respon dari Shailendra. Marko sadar kalau ia terkesan lebih mengutamakan Sean—mantan selingkuhannya, daripada suami dan anaknya.

Bulir keringat seketika digantikan dengan bulir air mata. Lolos sederas seakan tak ada hari esok tak terjadi. Marko menangis. Sakit hati melihat Shailendra dengan mudah mengizinkannya menjaga Sean di rumah sakit. Menginzinkannya tidak pulang dan menemani Sean bahkan mendoakannya cepat pulih.

He didn't deserve Shailendra.

Terlalu larut dalam tangisan, Marko tak sadar dokter yang menangani Sean berada di depan ruang UGD dimana Sean berada.

Marko menyeka air matanya sigap, duduknya kembali tegap, dan berdeham sekejap.

“𝗞𝗲𝗿𝗮𝗯𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝘆𝗮?” tanya dokter tersebut.

“𝗦𝗮𝘆𝗮 𝗿𝗲𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗿𝗷𝗮𝗻𝘆𝗮, 𝗗𝗼𝗸. 𝗧𝗮𝗱𝗶 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝗱𝗶𝗵𝘂𝗯𝘂𝗻𝗴𝗶 𝗽𝗶𝗵𝗮𝗸 𝗸𝗲𝗽𝗼𝗹𝗶𝘀𝗶𝗮𝗻.”

“𝗜𝗸𝘂𝘁 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝗸𝗲 𝗿𝘂𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘆𝗮, 𝗣𝗮𝗸? 𝗦𝗮𝘆𝗮 𝗷𝗲𝗹𝗮𝘀𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝘀𝗮𝗻𝗮.”

Marko mendudukkan diri tepat berhadapan dengan sang dokter.

“𝗔𝗱𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝘆𝗮, 𝗗𝗼𝗸𝘁𝗲𝗿?”

“𝗣𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗹𝗮𝗺𝗶 𝗽𝗮𝘁𝗮𝗵 𝘁𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗿𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗱𝗶 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗸𝗶, 𝗣𝗮𝗸. 𝗦𝗮𝘆𝗮 𝘀𝗲𝗺𝗽𝗮𝘁 𝗸𝗵𝗮𝘄𝗮𝘁𝗶𝗿 𝘁𝗮𝗱𝗶 𝗺𝗲𝗹𝗶𝗵𝗮𝘁 𝗸𝗲𝗮𝗱𝗮𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮. 𝗧𝗮𝗽𝗶 𝘀𝗲𝘁𝗲𝗹𝗮𝗵 𝗱𝗶𝗰𝗲𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻𝗶, 𝘁𝗲𝗿𝗻𝘆𝗮𝘁𝗮 𝗵𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗽𝗮𝘁𝗮𝗵 𝘁𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗿𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻. 𝗦𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗽𝗮𝘀𝗮𝗻𝗴 𝗴𝗶𝗳 𝗱𝗶 𝗸𝗮𝗸𝗶𝗻𝘆𝗮.”

“𝗕𝗶𝘀𝗮 𝗯𝗮𝗹𝗶𝗸, 𝗗𝗼𝗸, 𝘁𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮?”

“𝗧𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗽𝗮𝘁𝗮𝗵 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝘀𝗲𝗺𝗯𝘂𝗵 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗴𝗮𝗹𝗮𝗺𝗶 𝗳𝗿𝗮𝗸𝘁𝘂𝗿, 𝗣𝗮𝗸. 𝗧𝘂𝗯𝘂𝗵 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝘀𝘂𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶 𝘀𝗲𝗯𝗲𝘁𝘂𝗹𝗻𝘆𝗮, 𝗰𝗮𝗿𝗮 𝗮𝗽𝗮 𝗮𝗴𝗮𝗿 𝘁𝘂𝗹𝗮𝗻𝗴 𝗸𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝘀𝗲𝗽𝗲𝗿𝘁𝗶 𝘀𝗲𝗱𝗶𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗮 𝗶𝘁𝘂 𝘁𝘂𝗯𝘂𝗵 𝗸𝗶𝘁𝗮 𝘁𝗮𝘂, 𝗣𝗮𝗸.” jelas dokter itu.

Marko mengangguk paham.

“𝗣𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗽𝗶𝗻𝗱𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗨𝗚𝗗 𝗮𝗽𝗮𝗯𝗶𝗹𝗮 𝗸𝗲𝗮𝗱𝗮𝗮𝗻𝗻𝘆𝗮 𝘀𝘂𝗱𝗮𝗵 𝗺𝗲𝗺𝗯𝗮𝗶𝗸 𝘆𝗮, 𝗣𝗮𝗸. 𝗚𝗮𝗸 𝗯𝘂𝘁𝘂𝗵 𝘄𝗮𝗸𝘁𝘂 𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗸𝗼𝗸, 𝗸𝗲𝗺𝘂𝗻𝗴𝗸𝗶𝗻𝗮𝗻 𝟮𝟰 𝗷𝗮𝗺. 𝗣𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗽𝗶𝗻𝗴𝘀𝗮𝗻 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝗮𝗽𝗮-𝗮𝗽𝗮. 𝗛𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗸𝗮𝗿𝗲𝗻𝗮 𝘀𝗵𝗼𝗰𝗸 𝗯𝗲𝗿𝗮𝘁—𝗷𝗮𝗿𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻 𝘃𝗶𝘁𝗮𝗹 𝘁𝘂𝗯𝘂𝗵 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝗽𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗹𝗶𝗿𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗻 𝗼𝗸𝘀𝗶𝗴𝗲𝗻 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗰𝘂𝗸𝘂𝗽. 𝗗𝗶𝘁𝗮𝗺𝗯𝗮𝗵 𝗹𝘂𝗸𝗮 𝗸𝗲𝗰𝗶𝗹 𝗱𝗶 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗹𝗮 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗺𝗲𝗺𝗶𝗰𝘂 𝗽𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗸𝗲𝗵𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗲𝘀𝗮𝗱𝗮𝗿𝗮𝗻.”

“𝗔𝗱𝗮 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗶𝘀𝗮 𝘀𝗮𝘆𝗮 𝗯𝗮𝗻𝘁𝘂 𝗹𝗮𝗴𝗶, 𝗣𝗮𝗸?”

“𝗡𝗴𝗴𝗮𝗸, 𝗗𝗼𝗸𝘁𝗲𝗿. 𝗦𝗮𝘆𝗮 𝗽𝗮𝗺𝗶𝘁 𝗸𝗲𝗹𝘂𝗮𝗿 𝗱𝘂𝗹𝘂 𝘆𝗮 𝗸𝗮𝗹𝗮𝘂 𝗴𝗶𝘁𝘂. 𝗠𝗮𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵, 𝗗𝗼𝗸𝘁𝗲𝗿.”

“𝗢𝗵 𝘆𝗮, 𝗣𝗮𝗸. 𝗡𝗮𝗻𝘁𝗶 𝘀𝗼𝗮𝗹 𝗽𝗲𝗿𝗽𝗶𝗻𝗱𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗿𝘂𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗮𝘀𝗶𝗲𝗻 𝗦𝗲𝗮𝗻 𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗶𝗶𝗻𝗳𝗼𝗿𝗺𝗮𝘀𝗶𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗰𝗲𝗽𝗮𝘁𝗻𝘆𝗮.”

“𝗠𝗮𝗸𝗮𝘀𝗶𝗵, 𝗗𝗼𝗸𝘁𝗲𝗿.” balas Marko menganggukkan kepalanya kemudian keluar dari ruangan itu.

cw // kiss

“Lika-likunya banyak banget kita dulu..” ucap Heaven sambil menatap langit-langit kamarnya dan Farrel.

Sekedar informasi saja, semenjak berpacaran keduanya memutuskan untuk tinggal satu atap. Farrel yang lebih dulu punya ide 'Gimana kalo kita ngapart aja?', awalnya Heaven tidak setuju karena memikirkan soal biaya yang bisa dibilang sangat besar untuk dibeli oleh pemuda seusia mereka. Tapi Farrel bilang,

“Kan ada gue? Ini apart sebenernya udah jadi milik gue dari 3 bulan lalu. Bokap beliin. Tapi gue males aja pindahannya, jadi baru sekarang.”

“Gie, tapi..”

“Jangan ragu lagiiii, Ven. Ada gue, ada gue.”

Akhirnya Heaven pun menyetejui.

Kembali ke laptop.

“Udah kan cerita-cerita waktu masa masih saling berjuang?” tanya Farrel sambil terkekeh.

“Tiba-tiba banget minta cerita-cerita soal itu?” tambahnya.

“Gue juga gak tau.. pengen aja, tadi di kelas sempet kepikiran soal gimana kerasnya kita dulu perjuangin satu sama lain.”

“Masih banyak yang harus gue perjuangin buat lo, Heaven. Gue gak bakal biarin kita terlepas gitu aja. Sampe selamanya kan kata lo? Dukung gue ya kalo gitu?”

Cup

Heaven mengecup rahang tajam milik Farrel.

“Kita yang berjuang, Abang. Gue dan lu. Cinta itu nyatanya ada dua. Jadi kita berjuang bareng-bareng ya? Gue gak bakal kemana-mana. Di sini, buat selalu dukung lu, apapun langkah yang lu ambil.” katanya.

Farrel tersenyum.

“Gue sayang lo, Ven.” sambil mengecup kening yang lebih muda.

You're my favorite broken heart, Abang and I love you too.

“Mulai sekarang panggil gue Abang.” pinta Farrel.

“Malesssss.”

“Panggil atau gue kelitikin sampe mampus?”

Merasa tertantang, Heaven justru menjulurkan lidahnya. Mengejek yang lebih tua—enggan memanggil dengan sebutan yang dipintanya.

“HAHAHAHAHAHAHAHA!!”

“Tunggu, tunggu. Dengerin penjelasan akuuuu.” pinta Heaven sambil memegang bagian perutnya yang terlanjur sakit akibat terlalu lama tertawa.

“Abang itu panggilan spesial yang bisa gue layangkan ketika situasi kita lagi kaya gini, Gie. Sekaligus nginget kalo faktanya lu satu tahun lebih tua dari pada gue,”

“Hm, terus?”

I like Augie anyway. It's kinda cute, suits you the best. Kaya, ketika gue bisa manggil lu Augie juga ada sisi dari diri gue yang bisa gue sombongin ke orang-orang. Cause only me could call you that way. Augie is only mine.

“Berarti kalo Farrel boleh milik orang lain?”

“GUE TIMPUK SINI MUKA SOK GANTENG LU ITU!”

“HIYAAAA!!!!!”

— selesai. © SPRINT, terjyong.

Bruk!

Antara daksa dengan daksa, dada dengan dada, dan nafas dengan nafas yang bertabrakan.

Farrel merengkuh Heaven erat bagai bumi direngkuh matahari pagi.

Hangat.

“Augie,” panggil Heaven dalam dekap itu.

Masih berusaha menetralkan nafasnya.

“Augie, maaf.” katanya lagi.

Let's relaxing our breath first, Baby.

Panggilan sayang pertama yang muncul langsung dari ranum tipis milik Farrel.

Belum ada percakapan di antara keduanya. Heaven nyaman, dekapan dipererat sambil menumpukan dagu di pundak lebar Farrel—sedangkan Farrel balas dengan usapan menenangkan di punggung mungil Heaven.

I'm here.” ucap Farrel.

“Gue rasa love is blind itu bener. Gue punya kendaraan di rumah, tapi kenapa dengan bodohnya gue kesini cuma dengan dua kaki gue. Gue lari secepet mungkin.”

I really do love you, Heaven Pratama.” tambahnya.

Mendengar penuturan Farrel, Heaven memberanikan diri menghirup wewangian yang menguar di ceruk leher Farrel. Bingung harus menyalurkan rasanya seperti apa.

I'm sorry for making you wait for too long. I do love you too, Farrel Augie.” balasnya sambil kembali mengeratkan dekapannya.

“Nama gue Farrelino Dirgantara, by the way.”

“Lu jangan merusak momen ini, please?” sela Heaven.

“Lo mau tau satu hal lain gak?” tanya Farrel sambil melonggarkan dekapnya, kini mengarahkan kepala Heaven agar menatap matanya.

“Mau.”

Farrel menghela nafas sebentar.

“Dapetin lo, gue bener-bener ngerasa dibawa lari sprint setiap hari. Selalu ada oksigen yang gue hirup dan karbondioksida yang gue buang. Selalu ada rintangan dan perlakuan manis yang gue terima. Nafas gue selalu berderu, seakan-akan melaju sekencang mungkin. Dan mencintai lo.. bikin gue terbiasa, bikin gue gak perlu mengeluh kelelahan lagi meskipun habis lari sprint 1000 meter pun. Makasih ya?” ucapnya.

Do I deserve you, Gie?” tanya Heaven, matanya berkaca.

You do, Baby.” balasnya sambil perlahan membawa kepala Heaven untuk mendekat.

Mengecup keningnya lembut, menyalurkan cinta yang belum sempat tersampaikan sejak 3 tahun yang lalu.

“Makasih udah nungguin gue sampe segini lamanya. Gue cuma takut buat jatuh cinta lagi.

Gue gak mau jadi kaya Ibu. Ibu jadi temperamen semenjak ditinggal Ayah selingkuh. Ibu jadi jarang ngurusin anak-anaknya, suka marah sama masalah yang bisa diselesaiin dalam waktu 5 menit pun, suka menuntut lebih yang menurut gue di luar kapasitas gue dan adek-adek gue.

Gue gak mau kaya gitu. Kaya yang lu bilang, ada banyak jiwa yang lagi menyandarkan hidupnya di pundak gue dan gue gak mau mereka kehilangan pundak gue ketika gue udah kenal sama cinta dan segala kesakitan di dalemnya. Maaf.” ucap Heaven.

“Sekarang udah mau jatuh cinta berarti?” tanya Farrel.

“Butuh waktu satu tahun juga untuk meyakinkan perasaan gue dan akhirnya gue ngerti kalo as long as it's you, I'll do anything. Gue terlanjur cinta.” balasnya sambil tersenyum.

“Makasih udah percaya sama gue. Gue bantu perbaiki apa yang berpindah dari tempatnya dalem diri lo mulai sekarang ya?”

Heaven mengusap wajah Farrel yang sedikit kusam dengan ibu jarinya.

“Kalo bisa selamanya ya?” tanya sekaligus pinta Heaven layangkan.

Will do. Asal sama lo.”

“Peluk lagi?” tanya Farrel.

Heaven mengangguk kemudian kembali jatuh pada hangatnya pesona dekap seorang Farrelino Dirgantara.

Nyatanya keduanya sama-sama jatuh cinta pada pandangan pertama. Hanya saja waktunya yang kurang tepat. Heaven hampir sungguh, tapi Farrel sempat melangkah menjauh. Beruntung keduanya mampu lawan ego yang menggebu, sehingga tak ada yang merasakan cinta gagal bersatu.

Sesaat setelah melihat balasan Heaven, Farrel beranjak..

.. berlari sekencang mungkin untuk menggapai Heaven yang hampir ia lepaskan.

“Tunggu gue, Ven.” ucapnya tergesa-gesa.

Tak peduli rintangan apa yang akan hadapi di jalan, yang penting ia bertemu Heaven sekarang.

Farrel berlari, berlari, dan berlari dari rumahnya hingga kos tempat Heaven tinggal. Tak peduli berapa jarak yang harus ia tempuh, ia terlalu bodoh untuk ingat bahwa ia bisa saja menaiki motor atau mobilnya. Pikirnya hanya Heaven, Heaven, dan terpaan rasa tak ingin menyerah.

Sama acuhnya dengan seseorang di seberang sana—yang juga berlari, ingin menemui tambatan hati tanpa berpikir hal lain lagi.

Heaven berlari dari kos ke kediaman Farrel, nafasnya terengah-engah namun langkah kakinya sama sekali tak memelan, jika langkahnya memelan maka waktunya terbuang. Ia tak mau.

“Augie, ya Tuhan, jangan pergi lagi awas lu.” ucapnya terpatah-patah.

Pikiran tersulut kabut kekhawatiran dan takut kehilangan membuat keduanya saling mencari dan berusaha meraih, tanpa tahu bahwa hal itu bisa saja membuat keduanya terpisah jauh.

—Lampu merah persimpangan

Nafas Heaven tersenggal, larinya yang bergitu cepat tanpa istirahat membuat dadanya bergerak naik dan turun sedikit tak beraturan.

Ia pun menghentikan langkahnya, membungkukkan badan dan memegang lututnya sebentar. Lelah juga rasanya.

Saat ia bersiap kembali berlari lagi, langkahnya terhenti..

“AUGIE!”

Jelaganya bagai elang. Ia menangkap presensi Farrel yang ternyata berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Ternyata persimpangan ini jadi tempat gue dan lu ketemu lagi.” ucap Heaven bermonolog.

Farrel yang juga sedang berjongkok karena kelalahan pun akhirnya mencari sumber suara itu. Memastikan kebenaran, jaga-jaga siapa tahu itu hanya khayalan.

“AUGIE!”

Terdengar lagi.

Tinggal satu arah mati angin lagi yang belum ia singgahi, arah selatan.

Toleh ke belakang, siapa tau itu beneran dia, batinnya.

Benar saja..

Senyum merekah lebih merekah daripada bunga matahari timbul di wajah tampan Farrel. Sirkulasi udara di dada yang awalnya berderu tak karuan berubah menjadi deruan yang beraturan.

“Ven..” panggilnya sambil berlari, lagi, ke arah Heaven. As fast as he can.

Tbc

“Dibilang kapan-kapan aja ngomongnya. Ngeyel amat?” protes Farrel setelah melihat sang adik memasuki kamarnya tanpa permisi.

“Gue bilang gue gak peduli. Gue maunya sekarang.” sahut sang adik sambil berjalan menuju kasur Farrel.

Saat Farrel hendak mematik rokoknya, korek yang ia gunakan tiba-tiba diambil paksa oleh Karrel.

Farrel berdecak kesal.

“Gue bilang jauhin rokok gak jelas lo. Gue mau ngomong..”

Farrel masih acuh.

”.. soal Heaven.” tambah Karrel.

Farrel pun reflek menolehkan kepalanya saat mendengar nama itu disebut.

“Baru dah lo kooperatif sekarang.” ucap Karrel.

“Buruan ngomong.”

Saat hendak membuka mulut, tiba-tiba satu pasukan lain memasuki kamar Farrel—itu Darrel, adiknya yang pertama.

“Ikut dong. Ngomongin apa?” tanyanya sambil menutup pintu kamar Farrel yang belum sempat tertutup.

“Duduk dulu, buruan.” pinta Karrel pada Darrel.

Darrel akhirnya menyamankan posisinya, menelungkupkan badannya dan menumpukan dagunya pada tangannya—siap mendengarkan apapun yang akan keluar dari mulut Kakak dan Adiknya.

“Jadi?” tanya Farrel.

Karrel menghela nafas sebentar.

“Lo tau kenapa kemarin gue tiba-tiba minta lo aja yang nganter Heaven balik?”

“Emang kemarin pada kemana?” sahut Darrel.

Clubbing.” balas Farrel dan Karrel bersamaan. Darrel terbelalak.

“Gak tau. Kenapa?” ujar Farrel.

Karrel kembali menghela nafas.

“Gue udah mupeng tambah mupeng lagi semalem. Mobil belum jalan sedikitpun tapi racauannya Heaven bikin gue kek, 'Ah biar dianter Abang aja lah'. Disitu posisinya gue kek takut waktu nyetir tiba-tiba apa karena Heaven gak bisa berhenti ngeracau,”

Farrel bingung, “Emang ngomongin apa dia? Aneh banget masa bikin lo makin pusing.” tanyanya.

“Ngomongin lo.”

“HAH?” sela Darrel.

Sedangkan Farrel hanya terbelalak.

“Dia ngomong 'Gue tuh sayang sama lu, Augie' ada 20 kali kayanya. Dia juga cerita awal mula ketemu sama lo, seakan-akan dia punya partner yang lagi diajak ngobrol gitu. Gue awalnya 'Augie siape anjirrr', tapi setelah lo dateng gue jadi tau. Itu lo,”

“Terus?” tanya Farrel lagi.

“Dia juga bilang kalo 'Maaf ya gue denial terus sama perasaan gue, gue cuma takut gue sakit hati lagi. Gue gak mau, Gie. Tapi gue sayang lu', gue pas denger kek.. ANJIIINGGGGG.” ucap Karrel.

Ketiganya terdiam sebentar.

“Ada lagi,” ucap Karrel.

“Dia bilang dia berharap supaya lo gak nyerah sama dia soalnya dia udah sayang sama lo semenjak kedua kali lo jemput dia di tengah hujan deres.” tambahnya.

Farrel melayang, pikirnya serasa tak berada di tempatnya lagi. Tatapnya hampa. Harus apa dia?

“Makannya gue bilang lo jangan nyerah, Bang.” ucap Karrel.

“Emang lo nyerah wak?” sahut Darrel.

Farrel mengangguk pasrah.

“Idih anak Papa kok nyerah sih???”

Tiba-tiba suara bass menginterupsi ketiganya—sang Papa kini ikut memasuki kamar Farrel.

“Pah?”

“Pintunya kebuka sedikit, Papa ngintip.” balas sang Papa sambil tersenyum unjuk gigi.

“Jangan nyerah lah, Bang. Sedikit lagi itu.” kata Darrel.

“Tapi dia ngomong gitu waktu dia mabuk, Dar.” sahut Farrel.

“Orang mabuk justru yang jujur-jujur loh, Bang.” sela sang Papa.

“Lo udah bilang ke dia kalo lo nyerah?” tanya Karrel.

“Udah..” balasnya, suaranya kian melemah.

“Lo udah tau jawaban dia apa pas lo bilang gitu?” sela Darrel.

Farrel yang awalnya menundukkan kepala dengan cepat menegakkan lagi kepalanya. “Belum!” katanya.

“Coba cek sekarang, Bang. Siapa tahu ada keajaiban.” sahut sang Papa sambil menyandarkan tubuh kekarnya di dinding. Senyum merekah seketika terpatri di wajah Farrel ketika melihat balasan dari sang pujaan hati yang hampir terhenti.

“Tapi...” sela Farrel. Ia masih ragu.

“AH GAK ADA TAPI-TAPIAN!” sahut Karrel, Darrel, dan sang Papa bersamaan.

“Lari samperin Heaven sekarang juga!” tukas sang Papa.

Farrel kemudian menatap mata orang-orang kesayangannya satu-persatu, ketiganya pun memberi sinyal berupa anggukan—tandanya Farrel harus pergi sekarang juga.

cw // kiss, drunk & wasted

Sesaat setelah Farrel diminta untuk menjemput Heaven, tanpa ba-bi-bu Farrel meraih kunci mobil kemudian menancap gas menuju lokasi yang diberi Karrel.

Jujur semenjak tahu bahwa Heaven sedang bersama sang adik, Farrel sedikit khawatir. Apa yang akan dilakukan Heaven juga Farrel tak tahu, ia mau bertanya juga takut kalau-kalau Heaven terganggu.

Sekarang pukul 01.41, berdasarkan lokasi yang dikirimkan Karrel, Farrel meyakini bahwa Heaven minum-minum. Ditambah kabar dari Karrel yang mengatakan bahwa Heaven tertidur karena kelelahan bernyanyi. Fix, batinnya.

;

Farrel buru-buru keluar dari mobilnya dan mencari keberadaan Heaven di sekitar area club.

Namun yang ia temukan nihil.

Karena pikirannya mulai tak karuan, Farrel memustuskan untuk menelfon sang adik—Karrel.

“Lo dimana?”

“Parkiran. Kesini aja.” balas Karrel dari seberang sana.

Sesaat setelah Farrel spoted his brother's car, Farrel berlari menghampiri mobil itu. Mengetuk kacanya dan sedikit mengintip. Benar saja, ada Heaven yang sedang tertidur di kursi sebelah kemudi sekarang.

Tok tok,

“Buka.” ucap Farrel yang tidak seberapa terdengar karena kaca mobil Karrel masih tertutup.

“Lo anter pulang deh.” ucap Karrel setelah membuka kaca mobilnya.

“Kenapa gak lo aja? Lagian udah di mobil juga?”

We talked about it later, buruan bawa dia balik, Bang.” pinta Karrel.

Melihat Heaven tertidur pulas membuat Farrel tak tega membangunkannya, “Aduh gak tega gue, De, banguninnya.” katanya sambil berbisik.

Karrel menghela nafas pelan kemudian berinisiatif membangunkan Heaven.

“Ven,”

“Heaven,”

“Hey,” ucapnya sambil terus menepuk-nepuk pipi, pundak, dan tangan Heaven.

Erghhhh! Apa sih gue pusing mau tidurrr!” protes Heaven.

Farrel terkekeh sebentar melihat itu.

“Ayo pulang, Ven.”

Farrel buka suara.

“Rel? Lu Karrel kan? Ini mobil Karrel?”

“Kok suaranya Augie sih? Rel? Karrel?”

Farrel kembali terkekeh.

“Gue disini, Ven, ini Augie.” sahutnya.

Heaven membuka matanya perlahan, berusaha setengah mati membuka matanya setidaknya setengah saja, ingin memastikan apakah itu benar 'Augie-nya' atau bukan.

Karena melihat pemandangan di depannya seperti sungguhan, Heaven reflek meraih wajah Farrel dengan kedua tangannya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala Farrel ke kanan dan kiri.

“Lah? Karrel kok jadi Augie? Ah pasti gue masih mimpi.” ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi tirus Farrel.

“Karrel lu jangan main-main ah, anter gue pulaannggg! Gue mau tidur woiiii!” tambahnya.

“Bang, buruan. Lo gendong aja dah, cepet-cepet.” pinta Karrel.

Mengingat sedari tadi Heaven masih setia duduk di kursi penumpang sedangkan Farrel berdiri di samping mobil Karrel dengan badannya yang sedikit condong masuk ke dalam mobil.

“Gue bawa. Lo hati-hati, langsung pulang. Udah tengah malem.” ucap Farrel.

“Ya ya ya.”

;

“Duh, Heaven Heaven..” ucap Farrel bermonolog sambil membawa Heaven menuju ke mobilnya.

Sesampainya di depan kos Heaven, Farrel diam sebentar. Membiarkan waktu terus berjalan sementara ia asik membuang waktu untuk menatap paras bagai nirwana di sampingnya.

Saat Heaven menolehkan kepalanya ke hadapan Farrel—masih dengan mata tertutup, Farrel berinisiatif menyingkirkan helai rambut yang mengganggu wajah indahnya dan sesekali mengusap pelan pipi sang empu dengan jari telunjuknya.

“Kenapa lo gak cinta sama gue, Ven?”

Hening..

“Udah 3 tahun, kenapa masih gue sendiri yang jatuh cinta disini?”

Hening lagi..

Sebelum berucap lagi, Farrel memalingkan pandangannya sebentar, melihat jalanan di sekitar kos Heaven yang sepinya mamring. Sesekali menatap setir mobilnya, ujung sandalnya, dan kembali ke Heaven lagi.

“Kalo lo belum cinta sama gue, lo masih bisa pura-pura cinta sama gue kok. Gue gak masalah yang penting lo cinta sama gue dulu,”

“Soal gue yang tiba-tiba ngilang dari hadapan lo setahun lalu, bukan karena gue nyerah, Ven. Gue bahkan masih cinta sama lo, sampe sekarang, gue masih disini.” ucapnya sambil kembali mengusap pipi gembil sang empu yang sedang tertidur.

Heaven mulai bergerak gelisah saat mengetahui ada yang menyentuh pipinya. His gaze point right into Farrel's eyes.

“Augie..” panggilnya pelan sambil menetralkan pejaman mata dan posisi duduknya.

Farrel terkesiap.

“Gue disini.”

Heaven memajukan badannya sedikit.

Cup

He kissed Farrel's raw lips.

Farrel yang awalnya kaget pun mulai memejamkan mata dan mengikuti irama yang Heaven mainkan.

Pagutan keduanya sempat terlepas sebelum Heaven kembali meraih tengkuk Farrel untuk ia kikis lagi jarak di antara keduanya—kembali mencium bibir kering Farrel.

I love you, Augie.” ucap Heaven di sela pagutan yang tak beraturan dan tanpa kesadaran.

Mendengar penuturan Heaven, Farrel memalingkan wajahnya. Berusaha menghentikan pagutan yang terjalan di antara keduanya.

You're drunk, Ven. Kita masuk ya? Nanti gue bantu bersihin badannya.”

“Gie..” panggil Heaven manja.

Not now, Ven. Sorry.

“Augie..” panggilnya lagi.

We stop here tapi gue bantu lo bersih-bersih atau gak sama sekali?” tukas Farrel.

Fine.” rajuk Heaven.

Kemudian Farrel keluar lebih dulu dan membopong Heaven masuk ke kamar kosnya agar ia bisa beristirahat lebih nyaman.

Tbc.

“Baik. Pelajaran hari ini sampai segitu dulu. Silakan kalian buat refleksi yang berisi kesimpulan Pengantar Ilmu Komunikasi dari semester 1 hingga saat ini. Deadline satu minggu. Dikumpulkan dalam bentuk PPT yang menarik..

.. terima kasih.”

Ucap Pak Febri—dosen Pengantar Ilmu Komunikasi. Fyi, Pak Febri itu dosen muda yang jadi primadona satu kampus. Rumahnya memang di gedung FIK, tapi yang naksir sampai gedung FT, FISIP, FEB juga ada. Resiko punya paras tampan.

Ketika mahasiswa di kelas tersebut satu-persatu meninggalkan kelas,

“Ven, Heaven” panggil Pak Febri.

Heaven yang awalnya sedang membereskan bolpen dan buku-bukunya pun mendongak. “Saya. Kenapa, Pak?” sahutnya.

“Tolong bawakan laptop saya ke ruangan ya? Nanti taruh di meja saja. Saya mau ke depan sebentar menemui anak saya.” pinta Pak Febri.

“Oh.. iya, Pak.”

Heaven pun cepat-cepat mengemasi barangnya kemudian beranjak untuk membawa laptop Pak Febri ke ruangan, sesuai yang diperintahkan.

Jarak dari kelas B ke ruangan Pak Febri tak seberapa jauh, palingan 30 meter. Sudah biasa juga bagi Heaven untuk ke ruangan itu mengingat Heaven adalah asdos pengabdi Pak Febri. Makannya Pak Febri juga tak segan meminta tolong pada Heaven, keduanya memang terkenal sebagai dosen-mahasiswa yang akur.

;

Asik bersenandung dan menyiulkan at my worst by pink sweats..

Brakkk!

.. Tiba-tiba seseorang menabrakkan diri dengan cukup kencang.

“Aduh!”

Selain kesakitan, Heaven reflek terbelalak ketika melihat laptop yang ia dekap terkena tumpahan minuman dari seseorang yang menabraknya barusan.

“Anjing.”

“Oops sorry..”

Ucap Farrel.

Yes, it's definitely him. The one who you guys are waiting for.

Farrel baru saja selesai menemui Papanya yang katanya membutuhkan charger laptop, makannya Farrel kembali dengan nutriboost di tangannya.

“Lu lagi, lu lagi,”

“Minggir.” tukas Heaven kemudian melenggang pergi dari hadapan Farrel.

Bukan karena ia enggan menyapa dengan ramah, tapi setelah 1 tahun tak saling bertegur sapa membuat Heaven sulit mengendalikan degup jantungnya—terlebih ketika berpapasan dengan oknumnya langsung, yaitu Farrel.

Tatapan lembut yang selalu Farrel lemparkan untuk Heaven membuat Heaven seakan tak mau lagi melihat itu, lututnya seketika lemas dan alat geraknya seperti akan berhenti bekerja saat itu juga. Sangat tidak disarankan untuk kehidupan sehari-harinya. Melihat Farrel bagai melihat bahaya sekarang.

“Lo kira gue nyerah ya, Ven?” gumamnya masih setia berdiri di tempat itu sambil melihat punggung Heaven yang perlahan menghilang dari sana.

Sorry tapi nyatanya gue masih disini. Gak nyerah sama sekali.”

Sorry gue jadi pecundang satu tahun terakhir ini, tunggu gue bentar lagi ya?” monolognya lagi, kini sambil berjalan menjauh dari tempat itu.

Sambil menimbang-menimbang apa yang akan ia lakukan agar mendapatkan perhatian Heaven lagi, terbersit di pikirannya,

“Atau ternyata lo yang bakal dateng tanpa harus gue kejar lagi? Gue berdoa semoga lo bahagianya sama gue aja, jangan sama yang lain. And I hope it'll coming true as soon as possible.