Yang sukmanya rapuh
cw // kiss
Heaven kini sedang menyantap makan siang yang baru saja diberikan oleh petugas disana. Kalau boleh jujur, 3 hari terasa seperti 3 sasi disini. Heaven muak dengan makanan yang hanya itu-itu saja; lembek, hambar, dan tak bervariasi.
Sambil mengescroll timeline youtube dan meminum susu, Heaven mendengar derap langkah kaki yang kencang sekali suaranya—seperti berlari tergesa-gesa. Namun masih ia hiraukan saja karena youtube lebih penting dari pada segalanya.
Hingga akhirnya pintu kamarnya terbuka membuat seluruh kegiatannya terhenti seketika.
Farrel datang dengan celana jeans berwarna denim—tak lupa ikat pinggangnya dan kaos hitam polos yang ia kenakan.
Nafasnya tercekat.
Mulut Heaven seketika membentuk huruf O dan matanya sedikit terbelalak karena melihat Farrel terengah-engah.
“Eh, eh. Duduk dulu sini, sini.” ajak Heaven sambil berdiri menghampiri Farrel.
Awalnya Farrel mengangkat tangannya, mengisyaratkan ia tidak apa-apa. Tapi siapalah Heaven yang tega melihat Farrel dalam keadaan seperti itu? Akhirnya Farrel pun mengikuti suruhan Heaven.
“Minum, minum. Lagian kenapa lari-lari sih, ah.“
Setelah menegak air mineral hingga ke tetes terakhirnya, Farrel menatap Heaven yang kini kembali duduk di atas ranjang tidurnya—sedangkan Farrel duduk di kursi.
“Sayang..” panggil Farrel sambil menggenggam jemari Heaven.
Bukannya merespon, Heaven justru membuang muka. Terlalu malu membalas panggilan yang sama sekali belum pernah Farrel lantunkan secara langsung.
“Sayang?” panggil Farrel untuk yang kedua kali.
“Jangan panggil gitu, Gie..“
Farrel terkekeh sebentar, “Kenapa? Kan emang lo sayangnya gue?“
“Malu..” sahut Heaven.
“Sini coba lihat gue dulu.” pinta Farrel, kemudian dibalas tolehan oleh Heaven.
Sebelum berucap, Farrel kembali mengusap-usap lembut jemari dan telapak tangan Heaven dengan ibu jarinya, “Maaf ya, Sayang?” katanya.
“Kita pulang dulu aja ya?“
—
Keduanya pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, ke kos Heaven yang jelas. Farrel membantu Heaven mengeluarkan barang-barangnya.
“Gak usah dibantu mapah gitu, Gie. Gue masih bisa jalan kali.” tutur Heaven sambil terkekeh saat Farrel dengan sigap melingkarkan tangannya di pinggang Heaven.
Sesaat setelah Heaven selesai menata barang bawaannya ke tempat semula, Heaven pun duduk di ujung kasurnya.
“Gue dipunggungin nih?” tanya Farrel kemudian mencium punggung yang masih terbalut perca itu. Karena tak kunjung mendapat balasan, Farrel beranjak hingga kini ia berlutut di lantai, sedangkan Heaven di atas—di kasur.
“Hey..“
“Hm?“
“Masih marah sama gue ya? Gue minta maaf, Ven.“
Heaven hanya menggeleng.
“Maaf gue terlalu egois. Gue gak ngertiin lo, gue gak peduliin lo, dan gue seenaknya sendiri ngambil keputusan yang benefitnya buat gue sepenuhnya,
Harusnya dari awal gue gak boleh maksain kehendak kaya gitu. It's your own choice, anyway.“
“Gak papa, Gie. Udah lalu juga.” balasnya tegas.
“Lo maafin gue gak? Kalo gak juga gak papa kok, I deserved it.“
Heaven menutup matanya sebentar, menahan mati-matian air mata dan amarah yang sudah mendidih di dalam dirinya sekarang.
“Lu tau kan, Gie, kalo gue sibuk even di luar urusan kuliah?“
Farrel mengangguk, “Tau,” katanya.
“Lu tau kan gue nge-asdos, gue part-time pagi malem menyesuaikan jadwal kuliah, gue buka les-lesan, dan gue belajar lagi kalo udah sampe di kos. Lu tau?“
“Iya, Ven. Gue tau.“
“Kalo lu tau, kenapa lu masih bisa dengan entengnya nyuruh gue masuk organisasi sih? Enteng banget kemarin lu ngomong seakan-akan gue gak boleh kangen sama lu gara-gara gue gak join organisasi-organisasian lu itu,
Lu kira jadi gue gak capek, Gie? Gue nafkahin keluarga gue sendirian, pake duit gue sendiri. Jangan lah lu tambahin dengan beban-beban yang lain. Bukannya gue gak enjoy ikut organisasi, gue seneng kok, enjoy banget malah. Tapi kali ini udah bukan waktunya lagi buat gue. Gue udah gak sempet ikut begituan karena di sisi lain gue dituntut buat menghasilkan uang lebih banyak dari pada sebelumnya. Gue harus kerja ekstra keras, Gie. Everyone's relying their life onto my shoulder,
Kalo aja duit gue lebih-lebih juga gue gak akan muluk-muluk kerja dari pagi ampe pagi, malem ampe pagi terus-terusan. Gue juga mau enak, Gie. Makannya gue kerja setengah mati.” katanya sambil mengusap air matanya yang telah berani meloloskan diri satu persatu dari kurungannya.
“Terus kenapa lo masih nekat daftar BEM, Ven?“
“Lu bodoh, tapi gue cinta mati.” sela Heaven.
“Ya kenapa lagi kalo bukan karena lu? Gue gak mau lu tinggalin gue gara-gara gue gak bisa menuhin ekspetasi lu..“
“Ven, tapi—“
“Semua orang gak bener-bener disini, Gie. Semuanya ninggalin gue. Gue gak mau lu ngelakuin hal yang sama. Gue gak mau sendirian lagi.“
Terlalu bungkam dengan apa yang Heaven ucapkan, Farrel sontak membawa tubuh yang lebih kecil menuju dekapannya.
“Maaf, Ven,“
Heaven yang awalnya abai kini pertahanannya mulai runtuh—ia membalas dekapan Farrel erat.
“Gue sayang lu, Augie. Gue udah—hiks—bilang kan. Makannya apapun gue lakuin buat lu, asal—hiks—lu gak ninggalin gue. Gue benci sendirian, Gie.” ucap Heaven sambil terisak.
Mendengar Heaven tak kunjung berhenti meracau, Farrel mencium telinga Heaven lembut.
“Sshhh, gue disini. Sshhh, gue gak kemana-mana.” diucapnya berkali-kali tepat di depan telinga Heaven.
“Udah dong nangisnya, nanti gak cantik lagi loh?” ledek Farrel sambil menangkup wajah mungil Heaven dengan dua tangan besarnya.
Heaven masih tertunduk.
“Gue dimaafin gak?“
Heaven pun mendongak kemudian mengangguk cepat—tak lupa mengusap hidungnya yang memerah dan hampir mengeluarkan ingus.
“Gue sayang lo, Heaven. Sampe kapanpun, maaf gue egois, mulai hari ini tuntun gue buat perbaiki semuanya ya? We grow together, mau kan?” ucap Farrel.
“Aku sayang kamu juga.” balas Heaven kemudian cepat-cepat menempelkan lagi kepalanya pada dada bidang Farrel—menyembunyikan semburat merah pada wajahnya disana.
Saat keduanya terbawa suasana tenang sambil saling berbagi hangat, Heaven menginterupsi ketenangan itu.
“Abang..“
Tak kunjung mendapat jawaban, Heaven pun mendongak—mencari apakah Farrelnya masih disana.
Ternyata yang dipanggil sedang pura-pura pingsan. Matanya terpejam sambil lidahnya terulur keluar sedikit.
“Ih ngapain kaya gituuuu!” protes Heaven sambil mencubit perut Farrel.
“Jangan manggil gue Abang, gue bisa pingsan sekarang juga,” tukas Farrel sambil mengusak-usak hidung bangirnya ke pucuk kepala Heaven.
“Lebaayy!“
“Lagian kenapa sih? Kaget tau tiba-tiba lo manggil gitu.“
“Tadi gue gak sengaja liat notif hp lu, ada notif dari siapa gitu gak tau.“
“Pas kapan? Kenapa gak lo buka aja?“
“Tadiii. Gue belum buka sih, tapi kelihatan isi chatnya segini,” ucapnya sambil memperagakan ukuran 'segini' dengan dua jarinya.
“Apa emang yang kelihatan?“
“Lu gak ikut rapat ya hari ini? Kenapa kabur?“
Yang ditanya hanya nyengir.
“Dih nyengir lu!“
“Gue kalo disuruh keluar dari organisasi juga gue mau, Ven. Asal gak keluar dari hidup lo.“
“Jangan. Itu tempat lu, cukup gue aja yang gak punya pengalaman, lu jangan.“
Sambil mencium pucuk kepala Heaven, “Nanti gue bagi semua pengalaman gue kaya waktu lo bagi semua perasaan lo ke gue.” ucap Farrel.
—
Nyatanya Heaven masihlah menjadi seorang yang serba rapuh dalamnya. Terlalu sering sendiri tak memungkiri bahwa ia asik sendiri, Heaven justru benci sendiri. Apapun yang Farrel mau ia lakukan, asal Farrel bertahan. Mau sampai opname pun tetap Heaven lakukan, karena Farrel satu-satunya alasan untuk ia tetap berjalan. Farrel satu-satunya alasan punggungnya tumbuh semakin kuat meski berkali-kali diterpa badai rintangan.