WOI AUGIE!

Asik bersenda gurau sambil mematik sigaret entah yang ke berapa kali di tempat biasa, Farrel tiba-tiba terhuyung saat kerah bajunya ditarik oleh seseorang. Membuat posisinya yang tadinya duduk jadi berdiri.

“Apaan sih anjing?” protesnya.

Orang-orang di sekelilingnya langsung memfokuskan pandang pada Farrel.

“Ngomong, Bang, ngomong.” ucap lawan bicaranya, masih setia mencengkeram kerah baju Farrel.

We could fix this when we got home, De,”

“Jangan malu-maluin gue.” tambah Farrel namun kali ini berbisik.

Ya, benar. Yang mencengkeram kerah bajunya secara tiba-tiba adalah Karrel.

Datang ke tongkrongan sang kakak dengan perasaan tak karuan, alis yang saling bertautan, dan tangan yang terlihat sangat kuat kepalannya.

“Lepasin.” perintah Farrel.

“Ah anjing!”

BUGH!

Bukannya melepas Farrel, Karrel justru melayangkan satu pukulan yang cukup kuat di pipi kiri Farrel. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, Karrel hanya kesal kali ini.

Mengetahui pukulan yang dilayangkan Karrel cukup keras, Farrel terjatuh ke lantai. Sambil berdiri sempoyongan, Farrel melempar tatap mematikan pada lawan bicaranya.

“Lo yang anjing, sini lo bangsat!”

BUGH!

Telak.

Kesabaran Farrel terkuras habis. Farrel akhirnya membalas pukulan itu tak kalah keras dan tentu saja membuat Karrel terjatuh dalam sekejap.

“Gue bahkan belum tutup mulut buat nyuruh lo supaya jangan bikin malu, tapi ternyata isi kepala lo ini..” sambil mendorong kepala Karrel dengan jari telunjuknya, “.. emang masih kekanakan. Main, main, dan main isinya. Annoying tau gak lo?” ucapnya.

Karrel menundukkan kepalanya sedikit.

Malu.

“Soal apa yang mau gue omongin kemarin, kan bisa nanti lagi dibahasnya? Lo kenapa sih ngebet banget sampe nyerang gue kaya gini? Bagus lo bertingkah kaya gitu ke abang lo sendiri hah?” tanya Farrel, nadanya meninggi, bahkan urat-urat di lehernya mulai bermunculan.

Saat hendak meraih kaos Karrel, kedua lengannya ditahan Darrel—adiknya yang pertama.

“Bang, udah, Bang. Diliat orang gak enak, udah.” katanya.

“Lepasin, Dar.”

“Bang..”

“LEPAS.”

Darrel pun menyerah, Farrel memang tak bisa dibantah apabila ia sudah marah. Merasa tak bisa mengehentikan Farrel sendirian, Darrel meminta satu-persatu teman yang duduk satu meja dengannya dan Farrel untuk menahan juga.

Bryan sudah,

A heng sudah,

Rean sudah,

Nanda pun juga.

Tapi tak ada yang berhasil, Farrel semakin menjadi. Jangan tanyakan keadaan Karrel, tentu tak baik-baik saja. Namun terlepas dari itu, Farrel tidak menyakiti Karrel melebihi batas yang sudah ia tentukan. Karrel tetap adiknya dan sekalipun Farrel benci, Farrel tak akan menyakiti Karrel lebih dari ini.

“Gua telfon Heaven ajalah anjing, cape sendiri liatnya.” sela Nanda setelah berbagai cara sia-sia dilakukan.

“Emang mempan?” sahut Darrel sambil mengernyitkan dahinya.

“We'll see.”

;

“Pukul lagi, Bang. Belum puas kan?”

“Mana bisa gue puas dari tadi gue cuma mukul lo 4x.” sahut Farrel ketus sambil mencengkeram kaos Karrel untuk yang kesekian kalinya.

Saat hendak melayangkan pukulan,

“WOI AUGIE!”

Suara itu menginterupsi pendengarannya.

Farrel pun reflek mengendurkan cengkeramannya ketika melihat Heaven berjalan semakin dekat ke arahnya.

“Ven..” panggilnya linglung.

Heaven menatap dua anak adam itu secara bergantian.

Karrel,

Farrel,

Karrel,

Farrel.

“Lepasin.” perintahnya pada Farrel.

“Ven,”

“Lepas, Augie.”

Setelah menghela nafas pasrah, Farrel melepas cengkeraman itu kemudian kepalanya tertunduk menatap ujung sepatunya.

“Ikut gue.” ajak Heaven sambil menggandeng lengan kekar milik Farrel.

Saat Farrel berhasil dibawa pergi dari situ, keadaan sekitar yang tadinya tegang, shock, dan khawatir langsung hening dalam sekejap.

Fyuh...” pekik Rean.

“Augie saha anyingg???” sela Aheng sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Apa juga gue bilang.” ucap Nanda melirik Darrel kemudian menaik-turunkan alisnya.

“Abang lu aneh banget, Dar, demi.” sambar Bryan.

Darrel yang diajak bicara hanya melongo. Heaven berhasil menaklukkan kakaknya yang sedang dipenuhi kobaran api kemarahan hanya dengan satu kata, lepasin.