ini Augie, bukan Farrel

“Dah, ayo jalan.” ajak Heaven setelah dirasa sudah memakai helmnya dan duduk di jok belakang dengan benar.

Yang diajak berangkat malah asik menatap wajah gembil Heaven yang terhimpit helm bogo dari spion motornya.

“Aduh! ven. Kok dipukul sih kepala gue..” pekik Farrel sambil mengelus helmnya.

“Gue suruh berangkat bukan ngeliatin gue kayak orang gak jelas gitu.”

“Iya ini berangkat, Baginda. Pegangan dong.”

“Males banget. Buruan, Gie, ah.”

Farrel lagi-lagi iseng mencari keberadaan tangan Heaven di belakangnya, setelah ketemu yang dicari, Farrel langsung melingkarkan tangan Heaven ke pinggangnya. “Gini loh, Ven, dari tadi.” katanya.

“Ck. Yaudah buru!”

;

Sesampainya di pasar malam, Heaven bengong melihat kerlap-kerlip sekelilingnya. Matanya berbinar bahkan ada warna yang terpancar akibat kerlap-kerlip yang dilihatnya.

“Suka banget?” tanya Farrel, yang ditanya hanya mengangguk.

“Mau beli jajan dulu atau lo mau main dulu?” tanyanya lagi.

“OH IYA GIE!” sahut Heaven membuat Augie memegang dadanya.

“Kaget, Ven, astaga. Kenapaaaa?”

“Hari ini gue yang traktir jajannya okay? No penolakan.” ucapnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan Farrel.

“Dalam rangka apaan?”

“Gue lolos seleksi asdos!!!” sahut Heaven antusias, tapi matanya lebih antusias karena tak terlepas dari wahana biang lala yang didominasi warna ungu itu.

“Eh? Keren banget? Congrats then.”

“Huum.”

“Lu mau beli apa? Gulali? Sosis bakar? Jasuke? Pop ice? Es krim? Atau lu mau beli gelang yang macem-macem itu?” tanya Heaven

“Boleh?” tanya Farrel.

“HAH???” suaranya musik yang kian mengeras membuat pendengarannya sedikit tak berfungsi.

“GUE BOLEH BELI SEMUA ITU???”

“OOHH. BOLEH, AUGIEEE. KAN GUE YANG NYURUH.”

“KITA JALAN KE SANA AJA, DI SINI TERLALU KENCENG MUSIKNYA.” ajak Farrel. Awalnya memang Heaven tak menghiraukannya karena ia tak mendengar Farrel, tapi setelah tangannya digandeng, Heaven hanya kebingungan sambil sesekali melihat ke arah tautan tangannya dengan Farrel.

;

Kini Farrel terduduk di kursi yang ada di sana, sedangkan Heaven mengantri jasuke karena katanya ia ingin sekali jasuke dengan susu cokelat yang banyak di atasnya.

Farrel mendongak bertepatan dengan Heaven yang berjalan ke arahnya dengan 2 gelas jasuka digenggamannya. “Bahagia banget hahaha, lucu.” gumam Farrel.

“Buat lu.” ucap Heaven sambil menyodorkan jasuke itu.

Thanks.

“Mau apa lagi, Gie?”

“Mau lo. Bisa?”

Heaven melotot. “Gue tusuk pake sendok mau?” tukasnya sambil mengarahkan sendok jasuke ke arah wajah Farrel.

“Pelan-pelan, Ven, makannya. Liat, belepotan semua.” ucap Farrel menunjuk ujung bibir Heaven, masih ada sisa cokelat di sana.

“Hah? Iya?” sambil langsung membersihkan mulutnya. “Udah ilang kan?” tanyanya.

Farrel terkekeh pelan.

Farrel kemudian mengambil sapu tangan yang selalu ada di saku celananya, “Permisi ya?” katanya lalu pelan-pelan membersihkan sisa cokelat di ujung bibir Heaven itu.

Done.” katanya.

“Makasih, Nder. Maaf ngerepotin.” sahut Heaven.

“YEEEE DASAR!”

“Kita ke orang jualan gelang yuk? Gue pengen beli yang warna item-item.” ajak Heaven.

Farrel menurut saja. Jujur, berada di situ membuat Farrel merasa ia sedang menjaga anak kecil. Dibuntuti kemana-mana, kesana-kemari dengan mata berbinar, tapi Farrel suka.

“Pak, yang ini berapa?”

“Itu kudu sepasang, De. Sama yang ini.” ucap si Bapak penjual gelang setelah menyodorkan pasangan gelang lainnya.

“Boleh deh. Saya ambil yang ini ya, Pak.”

“Bisa diukir, De. Mau diukir sekalian?”

“Heh? Serius? Nambah gak, Pak, kalo diukir?”

“Enggak, gratis tis tis.”

“Wihh okay, Pak. Dua-duanya diukir. Yang item doang itu Heaven, ha e a ve e en, yang—”

“Sekedap, De. Bapak catet dulu, takut salah nulisnya. Coba diulang.”

“Ha e a VE, ve ya, Pak, terus e en. Ha e a ve e en. Udah, Pak?”

“Sudah. Satunya?”

“Satunya Augie, Pak. A u ge i e tulisannya. Belakangnya pake e, Pak.”

“Siap, bentar 10 menit ya.”

-

“Keren bangettt. Makasih, Pak!!” pekik Heaven saat kedua gelangnya sudah jadi.

“Buat Augie, hehehehe.”

Thank you lagi, bocil.” balasnya sambil mengusak surai tebal milik Heaven. Yang diusak melempar tatap tajam, namun sudah tak protes lagi kali ini—mungkin sudah mulia terbiasa dengan tindakan Farrel yang suka serba tiba-tiba.

“Udah? Masih mau main atau pulang?”

“Pulang deh. Capeekkkk huh.”

;

Selama perjalanan dari pasar malam ke kos Heaven, Farrel keasikan bersenandung bersama guliran angin malam. Hingga saat lampu merah, ia bertanya pada yang dibonceng, namun tak ada respon.

“Ven, besok kelas apa?”

“Ven?”

Saat dilihat dari kaca spionnya, ternyata Heaven tertidur. Bisa-bisanya pules padahal di atas motor, batin Farrel sambil tersenyum.

Farrel menepuk pelan lutut Heaven, ia tak tega karena posisi Heaven mengkhawatirkan. “Hey, sini di pundak gue sandarannya. Jangan ngegantung gitu ntar jatuh.” ucap Farrel, masih setia menepuk lututnya supaya Heaven terbangun.

“Hmmm,”

Kemudian kini dagu Heaven berada di pundak Farrel dan kedua tangannya melingkar di pinggang Farrel, begitu sampai keduanya tiba kosan Heaven.