Ternyata, Selamanya.
Setelah mendapati pesan dari Jaehyun sedemikian, Taeyong rasanya semakin tak karuan. Sejak kapan Jaehyun berubah menjadi seorang yang mudah menyerah? Ia baru saja sedang mempertahankan hubungan keduanya, tapi Jaehyun? Ah, Taeyong semakin sesak.
Padahal tak ada satu pun miss communication di antara keduanya selama bertahun-tahun menjalin hubungan. Taeyong dan semua orang heran. Apa yang sebetulnya sedang merasuki Jaehyun.
Maka dengan itu, Taeyong mengemasi barangnya, melangkah berat ke arah garasi rumahnya guna mengambil mobil dan mengajukan mobilnya ragu, ia membawa seribu satu keresahan seiring dengar berputarnya roda mobil itu.
“Kenapa harus di sekolah, Je? SMAN 127 itu tempat kita pertama kali ketemu. It was an amazing encounter.. and it hurts me even more karena kamu akhirnya ngeakhirin perjalanan panjang kita di tempat pertama kali kita ketemu” monolognya sambil sesekali menyeka tirta yang lolos dari pelupuk matanya.
;
Sesampainya Taeyong disana, ia melenggang keluar dari mobilnya dengan langkah sempoyongan. Ragu untuk menemui seseorang yang ia percaya akan mengakhiri hubungan di antara keduanya.
Ia berjalan sebentar, memasuki sekolah itu seutuhnya. Langkah demi langkah yang ia cipta maka memori demi memori tepatri dalam pikirannya. Setiap tempat di sekolah ini menyimpan memori yang hanya ia dan Jaehyun saja yang tahu, ia dan Jaehyun saja yang merasa bahwa itu spesial—tak sengaja memutar memori, Taeyong tersenyum pahit. Tersirat kekosongan pada pandangannya saat ia berhenti tepat di depan kamar mandi—tempatnya dan Jaehyun sering berkelahi, kala itu.
“Mana sih orangnya?” gumam Taeyong sambil lagi-lagi menyeka tirta yang lolos dari pelupuk matanya.
Tak kunjung mendapati presensi Jaehyun, Taeyong memutuskan untuk menelponnya.
“Halo?“
“Aku udah di sini”
“Iya aku juga udah“
“Tunggu sebentar“
Saat hendak menekan tombol bulat berlambang telefon merah, Taeyong disela.
“Jangan dimatiin teleponnya” pinta Jaehyun dari seberang sana.
Taeyong menurut.
Ia kini lagi-lagi mengedarkan pandangannya, ternyata gak banyak yang berubah semenjak gue tinggal, monolognya saat melihat kursi besi yang ujungnya sudah berkarat masih setia berada di tempat yang sama seperti saat ia masih duduk di bangku SMA kala itu.
Lamunannya terpecah saat mendengar Jaehyun kembali bersuara dari telepon yang masih tersambung itu.
“Taeyong, are you there?”
“I am”
“I'm here“
Taeyong kebingungan, mana? gak ada tuh, batinnya saat ia celingak-celinguk mencari keberadaan Jaehyun.
“Behind you“
Taeyong otomatis memutar badannya, melihat ke arah belakang yang ternyata ia lupakan untuk dilihat.
“Hey” sapa Jaehyun tanpa mematikan teleponnya, padahal mereka tengah berada tak jauh saling berhadapan.
Taeyong menganga.
Ia menurunkan genggaman pada handphonenya yang panggilannya masih setia tersambung itu.
“What is it?” tanyanya heran.
Tentu saja ia heran, Jaehyun berdiri di sana, membawa serta teman-teman Taeyong; Ten, Doyoung, Haechan, dan Jaemin untuk menemaninya. Tak lupa Mark, Jo, Yuta, dan Jeno ada di belakang mereka. Am I being dumbfounded here? batinnya lagi, pikirnya terus beradu dengan kenyataan di depannya.
Jaehyun berjalan mendekat. Membawa kedua tangan Taeyong untuk ia genggam.
“Sebulan lalu itu cuma cara aku mengikat kamu, sekaligus ngeyakinin kamu kalo aku gak bakalan kemana-mana” ucap Jaehyun menatap Taeyong lamat-lamat.
“Gak usah bilang gitu, we're gonna end kan?” protes Taeyong.
“Who say that?”
“Je, jangan gini..”
Jaehyun menoleh ke belakang—eye contact dengan salah satu teman Taeyong yang sudah ia beri perintah; Ten. Mendapati sinyal tersebut Ten mengangguk dan beranjak dari tempatnya.
Jaehyun menatap Taeyong lagi. Ia tak tega karena Taeyong terus-menerus memalingkan wajahnya karena air matanya terus lolos dari mata cantiknya.
“Ngomong, Je. Aku mau cepet selesai, cepet pulang” pinta Taeyong, suaranya gemetar.
“Je” panggil Ten dari belakang.
Taeyong terkejut setengah mati.
Ten membawa seorang perempuan yang Taeyong gadang-gadang sebagai selingkuhan Jaehyun.
“Halo, Taeyong” sapa perempuan itu.
“Je?” panggil Taeyong, menuntut penjelasan.
“Dia Rose. Adeknya mama aku yang paling kecil, dia tante aku, Sayang. Bukan selingkuhan aku. Kemarin aku jemput dia di bandara karena dia aslinya tinggal di Australia. Foto yang kamu liat itu cuma salah paham..” ucap Jaehyun sambil mengusap-usap pipi Taeyong dengan ibu jarinya.
“Btw, gak ada yang harus kalian selesaiin kok. Maaf ya aku bikin salah paham di antara kalian!” sela Rose sambil menelungkupkan tangan di samping kanan dan kiri mulutnya—agar suaranya terdengar lebih lantang.
“Je, explain to me please, ini sebenernya ada apa?”
Ten berjalan mendekat ke arah Jaehyun dan Taeyong berdiri, memberikan bouquet bunga yang sangat besar berisi bunga mawar merah—bunga yang sering Taeyong pakai untuk menggambarkan kepribadiannya. Bouquet itu dibungkus dengan pernak-pernik serba biru—warna favorit Taeyong.
“Selama ini aku gak pernah main-main sama kamu, Sayang. I meant it when I proposed you last month, tapi kali ini lebih serius lagi karena aku mau ngajak kamu nikah. So, let me say it again. Lee Taeyong, will you let me to take you to church and saying our holy promises in front of God and in front of people? Take this bouquet if the answer is yes“
Tirta yang sedari tadi meloloskan diri dari kurungan mata milik Taeyong pun mengalir semakin deras, ia bingung harus sedih atau bahagia.
“Lu semua ternyata bohongin gue ya?” protesnya sambil menunjuk semua orang yang setia mengikuti Jaehyun dari awal, hanya ia yang sedang dibodohi disini. Yang lain pun terkekeh.
Merasa mengabaikan Jaehyun terlalu lama, Taeyong kini kembali menatap Jaehyun.
“Siniin bouquetnya!” tukasnya.
Jaehyun tersenyum sumringah kemudian menyerahkan bouquet itu.
Setelah menerima itu Taeyong menawarkan sesuatu yang tentu Jaehyun mau, “Peluk gak?” katanya.
Teman-temannya yang berada di belakang itu pun bertepuk tangan—termasuk Rose. Senangnya ternyata dua anak adam yang mereka kenal sudah bukan bocah SMA lagi. They will getting married.
Sambil mengusap punggung Jaehyun, “Thank you, Jeje. You never fail to surprise me” ucapnya.
Jaehyun mengecup pundak Taeyong.
“I know, Sayang. I know“
(i) End.