Perjalanan dari tongkrongan Farrel ke kos Heaven cukup dekat, maka Heaven dengan cepat bernisiatif untuk menyetir mobil Farrel—mengingat keadaan Farrel yang tak memungkinkan.
“Ternyata ini alesan lu gak ada bales chat gue dari pagi, tumbenan banget.” sindir Heaven sambil berjalan mengambil kotak P3K yang terletak di kamar mandi kosnya.
Farrel sama sekali tak membalas pernyataan yang dikatakan Heaven karena sibuk meringis merasakan cenat-cenut di pelipis dan rahangnya—pukulan Karrel tak main-main kerasnya rupanya.
“Kenapa diem aja? Sakit?” tanya Heaven sambil kembali mendudukkan dirinya di depan Farrel.
Farrel mengangguk.
“Mampus.” sahut Heaven sambil mulai menuangkan obat merah ke beberapa helai kapas di gengamannya.
“Sakit, Ven.” rengek Farrel saat Heaven mulai menutulkan kapas itu ke luka di wajah tampannya.
“Diem dulu.” perintah Heaven.
“Ssstttt aaww..” rintih Farrel lagi.
Jujur, Heaven tak tega melihat Farrel terus-terusan merintih kesakitan. Tapi kalau tak segera diobati, bisa infeksi. Nanti wajah tampannya jadi ternodai.
Lah? Mikir apa sih gue?
Batin Heaven.
“Ven, udah ya? Sakiittt.” pinta Farrel sambil memohon, luka kebiruan di rahang dan pelipisnya memang sesakit itu. He even couldn't resist it.
“Dikit lagi, dikiiitttt.” balas Heaven sambil memperagakan gestur 'sedikit' dengan kedua jari tangannya.
“Ven..” sela Farrel sambil membolakan matanya, merayu Heaven agar menghentikan kegiatannya.
“Ergh ya ya okay, selesai.” sahut Heaven pasrah kemudian menjauhkan kapas itu dari wajah Farrel.
Farrel tak bergeming, kepalanya tertunduk sambil tangannya memegangi bekas lukanya.
Apa lagi yang gue gak tau dari lo, Augie?
Merasa sedikit terintimidasi dengan tatapan Heaven yang sama sekali tak teralihkan, Farrel buka suara.
“Karrel itu adek gue.”
Heaven terbelalak.
Sungguh matanya seakan bisa lepas dari tempatnya sekarang juga.
“Darrelzeno itu juga adek gue. Darrel yang pertama, Karrel yang kedua.”
Heaven semakin terbelalak.
Ketika melihat raut kaget Heaven, Farrel justru menganggap itu lucu dan menggemaskan. Dicubitlah akhirnya pipi gembil Heaven.
“Biasa aja kali reaksinya.” katanya.
“Dih sakit tau!” protes Heaven sambil mengusap-usap bekas cubitan Farrel.
“Kenapa diem doang? Mau tanya apa ke gue?”
Heaven terdiam sebentar.
“Terus kenapa dia nonjokkin lu?”
Pertanyaan retoris, yang sudah Farrel duga akan keluar dari mulut Heaven.
Farrel hanya mengerdikkan bahu.
“Lah?”
“Cemburu kayanya sama gue,” tukas Farrel.
“Oalah..”
Heaven tak mau bertanya lagi, ia merasa itu bukan haknya. Biarkan permasalahan Farrel dengan Karrel jadi urusan mereka. Ia tak perlu tahu.
“Cemburu kali. Gue bisa deket-deket sama lo, but he can't.” sambar Farrel kemudian menatap Heaven disertai senyum mirik di wajah luka-lukanya.
“Keluarga aneh.” sahut Heaven pura-pura cuek demi menyembunyikan rona merah muda di pipinya.
“Luka gue sakit, Ven.” titah Farrel.
“Ya terus? Siapa suruh minta stop diobatinnya.”
“Kiss dong biar sembuh.”
“GUE TAMPOL AJA SINI ANJING.” sahut Heaven kemudian menyerang Farrel dengan bantal di kasurnya.
“Aw, aw, sakit. Ampun, ampunnn.”
Setelah Heaven berhenti dengan aksinya, Farrel kini giliran menatap sosok menggemaskan di depannya lamat-lamat.
Kapan ya lo bisa jadi milik gue?