It's about Farrel

Hari ini adalah hari dimana maba Neo Tech University menjalankan kegiatan ospek. Sedari kemarin malam Felix—si anak pendatang baru di genk Heaven telah mengingatkan tentang barang bawaan yang harus ada ketika hari H. Bodohnya, Heaven tidak membawa nametag yang menjadi bagian paling penting dalam acara. Bagaimana tidak? Nametag itu sebagai pengenal, kalau ketawan tidak punya nametag hukuman seperti apa yang akan ia terima?

Setelah mengirim pesan di grup, Heaven menghampiri Karrel untuk mengambil board bekas yang ia katakan.

“Rel!” panggilnya sambil melambaikan tangan.

Karrel yang mengetahui itu melotot, ia dengan cepat mengambil board itu kemudian menghampiri Heaven sambil menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. “Sssttt! Jangan kenceng-kenceng!” ucapnya sambil memberikan board bekas itu.

“Makasih yaaa, gue balik.” ucap Heaven, suaranya mengecil.

;

Terlalu asik berbagi board untuk nametag, keduanya tak menyadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikan pergerakan mereka dari ujung lapangan.

Hanya senyum mirik yang tercipta setelah melihat itu. Entah rencana seperti apa yang akan dilakukannya, yang jelas perjalanan Heaven maupun Karrel dalam mengikuti OSPEK hari pertama dapat dipastikan tidak lancar.

“Silakan bergabung kembali bersama kelompok untuk mendiskusikan arahan yang sudah diberikan beberapa menit lalu. Apabila ada pertanyaan yang menyangkut pelaksanaan acara silakan bertanya pada panitia. Sekian, terima kasih.”

Itu Farrel.

Ketua pelaksana kegiatan OSPEK, mahasiswa Teknik Elektro yang sering jadi perbincangan seantero Neo. Memang tampan, tapi seram. Tak ada yang berani mendekatinya, entah perempuan maupun laki-laki. Makannya sekarang laki-laki tampan itu tak punya tambatan hati. Jomblo.

“Yan,” panggil Farrel.

Fyi, di antara grup BUAYAs yang mengikuti organisasi kampus plus menjadi panitia OSPEK hanyalah Rean.

“Hah?”

“Lo jadi pendamping maba yang rambutnya panjang, kecokelatan, tebel, kulitnya tan kan?”

“Buset, lengkap,”

“Jawab buru.”

“Iyeee, tuh bocahnya tuh.” sahut Rean sambil menunjuk seseorang yang dimaksud Farrel.

“Habis gini selesai kan?” tanya Farrel.

“Lo tuh ketuplak beneran kaga sih?” sambil menoyor kepala Farrel.

“Anjing!” “Sana balik lo.” protes Farrel.

;

Setelah berkumpul di aula, berdoa bersama, mahasiswa-mahasiswa baru itu akhirnya diizinkan pulang.

Ketika seisi aula hampir kosong, Farrel memanggil seseorang menggunakan megaphonenya.

“Lo. Diem disitu.” tukasnya.

Yang dipanggil kebingungan, menolehkan kepala ke kanan, kiri, depan, belakang, siapa tahu bukan dirinya yang dipanggil.

“Gue?” tanyanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.

“Ya.”

Farrel kemudian berjalan menghampiri maba itu.

Ketika sampai di depannya, Farrel menyusuri penampilan maba itu, dari atas kepala sampai kaki. Literally from head to toe.

“Kenapa, Bang?”

Saat mendengar suara itu, Farrel langsung bertanya, “Mana nametag lo?” tanyanya.

Ya. Maba itu Heaven. Yang dipanggil Farrel adalah Heaven.

“Ini nametag?” sahut Heaven sambil mengangkat board yang setia mengalung di lehernya.

“Ini bukan punya lo,”

“Lepas.” perintah Farrel telak.

“Maksudnya, Bang?”

“Lo kira gue gak tau ya lo diem-diem ngambil board jelek ini di pertengahan acara? Gimana bisa seorang maba lupa sama nametagnya di hari pertama? Berarti lo lupa bawa nama lo sendiri ya?”

Heaven hanya menunduk. Memang ia salah dan yang dikatakan Farrel ada benarnya. Nametag saja lupa, ceroboh sekali.

“Maaf, Bang.”

“Kalo ngomong sama orang tatap matanya. Kaya anak kecil aja.”

Heaven memejamkan matanya erat. Aduhhh banyak mau! batinnya. Kemudian ia mendongakkan kepalanya ragu.

Mencari keberadaan tatap dari lawan bicaranya. “Maaf, Bang.” katanya.

“Gue hari ini masih baik sama lo. Jangan mikir kalo gue bakal kasih punishment. Gak kok.”

Heaven menghela nafas. Legaaa.

“Makasih, Bang.”

Karena Farrel mundur satu langkah, Heaven mengira ia diberi jalan untuk bisa segera pulang. Namun ketika Heaven sudah melewati Farrel sepenuhnya, Farrel menginterupsinya lagi.

“Siapa yang ngizinin lo balik?” tanyanya sambil bersidekap dada.

Heaven lagi-lagi memejamkan matanya erat, namun kini sedikit jengkel.

“Iya, Bang. Maaf.”

“Gue gak kasih punishment bukan berarti lo bebas-bebas aja.”

Farrel menyodorkan handphonenya.

Heaven menatap Farrel bingung, “Ini.. apa, Bang maksudnya?”

“Nomer hp lo. Masukkin sini.”

Dari situ lah perjalanan keduanya dimulai.