tuanmudalee

Lavender pun dengan cepat melajukan Viona, si vespa hitam kesayangannya. Menyusuri jalanan malam sambil tak henti-hentinya tersenyum. Ia merasa kalau hari ini ada hanya untuknya, ia diizinkan bertemu Kei, dan jika boleh meminta lebih, ia akan memiliki Kei dalam waktu dekat ini.

Rumah Kei tinggal satu belokan lagi. Lavender sempat memelankan laju motornya hanya untuk menetralkan nafasnya. “Kenapa jadi deg-degan gini?” gumamnya sambil memegang bagian dadanya dan terdengar bunyi dug, dug, dug yang temponya lebih cepat dari pada biasanya.

Ah, gak gak. Gue bisa. Gini doang masa deg-degan.” gumamnya lagi sambil meyakinkan diri kemudian melajukan motornya ke arah belokan terakhir. Maka, sampailah Lavender di depan rumah Kei sekarang.

Lavender kini sudah melepas helm, merapikan pakaiannya, dan sesekali memeriksa dirinya dari kaca spion. “Ganteng.” ucapnya kemudian mengambil kantong kresek berisi dua kotak dengan martabak di dalamnya.

Saat hendak membuka pager rumah Kei, seketika gerakannya dihentikan paksa oleh seseorang.

Bugh!

Pukulan yang bisa dibilang cukup keras itu mengenai ujung bibir Lavender. Lavender yang sedari awal tak siap untuk berkelahi pun langsung tersungkur, kresek berisi martabak pun ikut terbuang. Lavender memejamkan mata erat, pasti isinya udah berantakan, batinnya memikirkan martabak itu.

Lavender yang masih sedikit panik pun berusaha membuka matanya, ia ingin melihat siapa yang mencari gara-gara di depan rumah calon pacarnya. “Anjing lo!” ucapnya setelah melihat Dave berdiri di hadapannya, dengan nafas yang menderu-deru. Seakan ingin menghabisi Lavender saat itu juga.

Tak butuh waktu lama, Lavender berdiri secepat mungkin kemudian mencengkram kaos berwarna maroon milik Dave.

Bugh! Bugh!

Lavender balas memukul Dave mengenai ujung bibir juga pelipisnya.

“Apaan sih, Dave?” tanya Lavender penuh amarah sementara tangannya sedang menahan kepalannya agar tak melayang ke arah Dave untuk yang ketiga kali. Dave tersenyum remeh, “Lo yang apaan!” “Emang gue ngapain, anjing?” Bugh! Bukan Dave yang terkena pukulan, tapi justru Lavender. Perutnya diserang oleh Dave dengan lututnya.

“Lo—bugh!—rebut Kei dan—bugh!—ngerusak semuanya!” ucap Dave penuh kemarahan. Kini posisi Lavender berada di bawah Dave karena Dave menduduki perutnya dan melayangkan pukulan bertubi-tubi di rahang dan pipinya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Uhuk uhuk!” Lavender terbatuk.

Sudah 3 menit lamanya Dave tak berhenti melayangkan pukul ke arah Lavender dan semenjak Lavender mendengar ucapan Dave yang terakhir tentang merebut Kei, Lavender bungkam. Ia memilih diam dan membiarkan Dave memukulinya.

“Gue b-benci ngomong ini. Tapi uhuk! inget, Dave. Uhuk, uhuk! Kita masih satu d-darah. Kalo uhuk! gue mati, lo pasti bakal dibenci sama se-semua orang.” ucap Lavender terbata, mengingat nafasnya sedikit tersendat karena serangan demi serangan yang ia terima.

Dave tertawa seperti orang gila, “Lavender Chantiagio Brillantino.” ucapnya demikian. Ya, memang. Lavender tak pernah mengikutsertakan marga Brillantino di setiap data pribadinya, karena ia rasa itu bukan haknya. Padahal mau atau tak mau, Brillantino juga bagian dari keluarganya.

Papa Dave menikah untuk yang kedua kalinya setelah Dave lahir. Jadilah Lavender yang sekarang. Lavender yang juga bagian dari Brillantino, Lavender yang merupakan adik tiri David Brillantino. Dave merasa rasa sayang yang Papanya berikan tak lagi sama, terbagi-bagi. Makannya, ia benci keadaan keluarganya yang sekarang. Termasuk benci pada Lavender, si adik tiri yang tak akan pernah ia akui.

“Gak pantes Brillantino ada di nama lo. Bajingan.” ucap Dave. “Satu darah, dalam mimpi lo!” tambahnya sambil menyiapkan kepalan tangannya dan hendak melayangkan pukulan pada wajah Dave sekali lagi.

WOI ANJING! BERHENTI GAK!”

“BOCAH GAK TAU DIRI, BERANTEM DEPAN RUMAH GUE! SINI LU BERDUA!”

Lavender, berterimakasihlah pada Morgan. Hidupmu baru saja diselamatkan. Yang baru saja berteriak itu Morgan, Abangnya Kei. Ia muak dengan pertengkaran anak SMA yang ia sendiri tak tahu apa inti masalahnya. Ia muak dengan Dave yang terus memukul, sedangkan Lavender yang terus diam dan memilih pasrah.

Morgan sebetulnya tahu sejak Lavender pertama kali datang ke rumahnya, tapi ia hanya melihat dari jendela kamarnya saja. Awalnya, Morgan hanya ingin memperhatikan gerak-gerik Lavender, memastikan agar ia tidak macam-macam dengan adiknya. Tak lama dari situ, ia cukup kaget dengan kehadiran Dave yang dapat ia lihat sedang berlari tergesa menuju arah rumahnya. Disitulah Morgan tahu, ada yang tak beres di antara Dave, Lavender, dan juga Kei.

“Diem lu berdua disitu!” perintah Morgan sambil berjalan ke arah pagar. Tatapannya nyalang, penuh emosi, dan tak habis pikir dengan perbuatan yang dilakukan dua remaja labil itu.

Dave yang tadinya siap melayangkan pukulan pun otomatis terhenti, kemudian ia bangun dari atas tubuh Lavender. Ia berdiri kemudian menunduk, ia malu. Sedangkan Lavender? Ugh, jangan tanya. Lavender sendiri tak mampu jelaskan keadaannya sekarang. Mungkin wajahnya sudah berantakan, perutnya, lengan, pelipisnya, apalagi ujung bibirnya. Semua rasanya tak karuan bahkan mati rasa. Lavender tak mampu bangkit seorang diri, maka ia putuskan tetap pada posisi terlentangnya.

Setelah membuka pagar rumahnya, Morgan menatap tajam ke arah kedua pemuda itu. “Norak tau gak lu berdua?” ucapnya, nadanya meninggi. “Apa maksudnya berantem depan rumah gue?” “A-anu, Bang,” sahut Dave terbata. “Gue dituduh uhuk! ngerebut uhuk! Kei, Bang.” sela Lavender sambil terbatuk. Morgan yang mendengar itupun semakin ingin meninju keduanya. “Kalo mau deket sama Adek gue, pake cara yang elit. Percuma, berantem. Malah bikin Kei males lihat muka lu berdua.” tukasnya.

“Dave,” panggil Morgan.

“Iya, Bang?” sahutnya antusias. Ia kira ia yang akan mendapat kesempatan.

“Bukannya gue udah bilang buat gak usah nemuin Kei sampe waktu yang gue tentukan? Kenapa masih nekat kesini?” ucap Morgan membuat keantusiasan Dave anjlok. Ekspresinya berubah dalam satu hitungan.

“Bang—”

“Lu juga sadar kaga kalo lu mukulin dia sampe batuk, kaga bisa bangun gitu? Sekarat, itu, anak orang.” sela Morgan sambil menunjuk ke arah Lavender.

“Bang, izinin gue ketemu Kei. Sekali ini aja. Ya, Bang?” bukannya meminta maaf pada Lavender dan merasa bersalah, Dave malah memohon agar diizinkan menemui Kei, membuat Morgan geleng-geleng.

“Gue kaga paham sama lu bertiga. Gue panggilin bocahnya kesini, biar dia yang tentuin nasib lu berdua.” sahut Morgan kemudian menelefon Adik kesayangannya, yang tadi ia tahu sedang tidur-tiduran di karpet ruang tamu.

Apa sih, Abang?” tanya Kei dari seberang telefon.

“Keluar, sini.”

Ih, dingin. Males.“ “Eh, tapi, Laven udah sampe?

Loud speaker handphone Morgan membuat ketiganya mendengar suara Kei dengan jelas. Lavender tersenyum menang saat namanya disebut.

Makannya, sini keluar dulu. Adek lihat sendiri. Ya?” lanjut Morgan dengan nada lembutnya, seperti biasa.

Tut!

Sambungan telefon pun dimatikan.

“Kayanya gue tau hasil akhirnya nih.” ucap Morgan sambil menatap Dave. Sedangkan yang ditatap menunduk, entah sedang menyembunyikan malu atau sedihnya.

Morgan kini memutar badannya menjadi menghadap ke arah pintu rumahnya. Ingin melihat Kei keluar dari sana dan ekspresi apa yang akan terpancar dari wajah Kei setelah melihat ini semua.

“Abang, apa—” ucapnya terjeda setelah melihat kehadiran Lavender di depan pagar rumahnya dengan tidak biasa.

“Laven!” panggilnya kemudian berlari ke arah pagar.

“Abang, kenapa iniiii?” tanya Kei sambil memeriksa wajah Lavender, ia miringkan ke kanan dan kiri. Lavender yang diperhatikan sebegitunya tersenyum meringis. Tersenyum karena salah tingkah, meringis karena kesakitan.

“Coba Adek tengok ke Kanan.” sahut Morgan.

Betapa cepatnya ekspresi khawatir itu berubah menjadi datar saat Kei melihat presensi Dave di sebelah kanannya. “Oh.” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Kei,” panggil Dave sambil hendak meraih tangan Kei. “Gak pake sentuh, bisa kan? To the point.” tukas Kei. “Gue..” “Gue.” “Dave, serius dikit bisa?” sela Kei karena hanya kata gue yang Dave ucapkan. “Yaudah kalo gak bisa, mending lu balik, ya? Udah malem. Abang, tolong anterin Dave, ya? Please?” rayu Kei sambil bergelayutan di lengan Morgan. Meskipun ia kelihatan membenci Dave, tapi jauh di dalam hatinya, ia khawatir dengan keadaan Dave.

“Gue pusing Kei jauh dari lo. Gue pusing gak ada lo. Gue pusing mikirin gimana cara baikan sama lo. Gue pusing banget sampe gue gak tau harus ngapain. Gue pusing sampe Lavender aja gue pukulin, Kei. Kei, kita gak bisa baikan kaya dulu lagi?” akhirnya, akhirnya semua yang Dave tahan keluar begitu saja.

“Kei, paling nggak unblock nomer gue. Please?” tambah Dave sambil beranikan diri menggenggam tangan mungil Kei.

Kei kemudian mengambil handphonenya, membuka aplikasi pesan kemudian menuju roomchat Dave. Ia tekan opsi bertuliskan unblock kemudian mengarahkan handphonenya ke arah Dave. “Lu tekan sendiri unblocknya.” yang terucap dari mulut Kei. Kemudian tanpa ragu Dave tekan opsi unblock dan mengucap terima kasih pada Kei.

“Sekarang lu balik.” pinta Kei tiba-tiba. “Block atau unblock, gak akan ngerubah apa-apa.” tambahnya kemudian membantu Lavender berdiri dengan sekuat tenaganya.

Sambil berjalan meninggalkan Morgan dan Dave, Kei berhenti sebentar, “Abang, tolong anterin, ya? Adek minta tolong banget.” katanya sambil membelakangi keduanya, kemudian lanjut menuntun Lavender menuju dalam rumah.

“Kenapa sih—hiks—gue harus punya perasaan sama Dave? Udah tau dia lurus kaya penggaris. Hiks, goblok!” gumam Kei merutuki dirinya sendiri. Terus menerus menepuk dahinya dengan cukup keras mengingat kebodohannya.

Kei berjalan tanpa arah, tanpa melihat ke depan, beranikan diri tinggalkan tempat pertemuan. Ia tak peduli akan kemana ia pergi, ia kini hanya percaya pada kemana kakinya memilih untuk melangkah.

Sambil berjalan dan sesekali mengusap sisa-sisa air matanya, Kei kembali disadarkan dengan getaran dari handphonenya. Kei sempat kebingungan sejak kapan Abangnya memakai kosa kata “gue”. Maka, saat Kei tatap kembali lamat-lamat, matanya terbelalak. Sedari tadi ia mengeluh pada orang lain. Pada Lavender yang hampir satu minggu ini selalu mengisi jam pulang sekolahnya. Urat malu seakan mau putus rasanya. Malu sekali.


Setelah berjalan cukup jauh dari tempat pertemuannya dengan Dave, Kei berhenti di Alfamart terdekat. Membeli sekotak susu Ultra rasa cokelat kemudian duduk di kursi yang tersedia disana. Ia menunggu Lavender. Ia menuruti permintaan Lavender. Permintaan Lavender untuk tetap sadar, tetap fokus, dan menyeka air matanya. Setelah Kei pikir lagi, ucapan Lavender memang benar. Ia tak boleh terlarut-larut dalam perasaan sedih, menyesal, dan dendam disaat sedang di jalan seperti ini. Ia harus tetap fokus dengan langkah kaki dan lingkungan sekitarnya.

Sambil menyeruput sisa-sisa susu cokelat terakhirnya, Kei menunduk dan sesekali mengayun-ayunkan kakinya. Tanpa menyadari jika Lavender sebenarnya sudah berada di dekatnya.

“Kaya anak kecil.” yang keluar dari mulut Lavender setelah melihat Kei tanpa turun dari motornya. Karena Kei tak kunjung mendongakkan kepala, Lavender memutuskan menghampiri Kei lebih dulu.

“Hei, anak kecil.” ledek Lavender kemudian duduk di kursi kosong sebelah Kei. “Dih? Udah sampe lu? Siapa yang lu maksud anak kecil?!” protes Kei sambil memajukan bibirnya. “Tuh, marah-marah kaya gitu. Siapa dong yang anak kecil? Masa gue?” goda Lavender sambil ikut memajukan bibirnya.

“Mau beli susu lagi, gak?” tanya Lavender kemudian dibalas gelengan oleh Kei, “Pengen jalan-jalan aja.” balas Kei. “Yaudah ayo jalan-jalan. Viona udah siap tuh.” ucap Lavender yang tentu saja mengundang tanda tanya di benak Kei. Siapa Viona? Namanya asing sekali buat Kei. “Viona?” Alih-alih menjawab, Lavender justru pamerkan senyum manisnya kemudian mengusak kepala Kei pelan. “Itu loh, Viona.” katanya sambil menunjuk vespa hitam kesayangannya. “GILAAAA!” sahut Kei sambil memukul lengan Lavender, kemudian berjalan lebih dulu ke arah “Viona” terparkir.

“Gitu dong, ketawa. Sedih mulu, jelek tau.” ledek Lavender sambil menyamakan langkahnya dengan Kei.

Sambil memasang helm, Lavender melirik Kei dari kaca spion motornya. “Yahh, tapi gue gak bawa helm lagi.” katanya sambil pura-pura sedih. Lagi-lagi Kei dibuat kebingungan, jika Lavender tak membawa helm kemudian yang ada di pelukan Kei sedari tadi apa? “Buta lu punya mata?” protes Kei sambil membalas lirikan Lavender dari kaca spion. “Maksud gue helm buat anak kecil. Itu kan helm orang dewasa.” goda Lavender sambil menjulurkan lidahnya. Dapat ia lihat wajah Kei yang sudah siap untuk murka dan meledak sekarang juga; tapi ditahan. “Nyebelin luu!” tukas Kei sambil memukul bagian belakang helm Lavender.


“Keith,” panggil Lavender. “Iya, Ven?” “Ini gak mau berhenti buat mampir gitu? Cuma jalan-jalan aja?” tanyanya. Mengingat posisi Kei yang sedang menumpukan dagu di pundaknya, membuat Lavender dapat merasakan gelengan dari kepala Kei di belakang sana. “Yaudah, muter-muter aja sampe capek.” “Iya, kalo udah ngantuk baru deh balik. Tapi kalo lu capek, lu bilang, jangan maksain.” sahut Kei.

“Keith,” panggil Lavender lagi.

“Iya, Lavender?”

“Lo sayang banget ya sama Dave?” tanya Lavender gamblang. Tanpa sadar mempertanyakan pertanyaan yang kemungkinan besar tak akan Kei jawab. Bisa-bisanya lo tanya kaya gitu, goblok! Dia tuh lagi sakit hatiiii, batin Lavender.

Saat Lavender mencuri-curi pandang lewat kaca spion, ia dapat melihat Kei sedang tersenyum remeh. “Sayang sebagai temen doang kok.” ucapnya tiba-tiba. “Kalo sama gue, sayang gak?” goda Lavender. Kei yang mendengar itu merasa sedikit tertantang, kemudian ia dengan berani semakin mendekatkan wajahnya ke arah Lavender. Meliriknya sebentar dengan ujung matanya. “Konteksnya sayang yang gimana dulu?” tanya Kei. “Ya.. apa aja?” balasan Lavender membuat Kei tersenyum mirik, “Emang mau disayang sama gue sebagai apa?” tanyanya. “A-apa aja, boleh.” jawab Lavender gagap membuat tawa Kei mengembang.


Setelah beberapa saat terdiam menikmati semilir angin malam, Kei kembali tersadar setelah merasakan handphonenya bergetar terus-menerus. Seperti ada yang menelepon. Kei pun akhirnya memutuskan untuk memeriksa handphonenya. Ia mendapati notifikasi 8 panggilan tak terjawab dari Bro Morgan terpampang di layar kuncinya, jangan lupakan pesan-pesan singkat seperti, “Adek kok belum balik?”, “Dave malah tanya ke Abang”, dan “Emang Adek gak sama Dave? Terus kemana dong?

“LAVEN!” yang diucapkannya setelah itu. “Kaget, Kei. Pelan-pelan dong.” “Ada apa?” tanya Lavender. “Kita balik sekarang, ya?” pinta Kei dan dapat Lavender lihat tersirat raut panik di wajahnya. “Iya, Cantik. Ini emang jalan balik kok.” “Cepetan dikit bisa gak, Ven?” sahut Kei. “Bisa. Asal lo pegangan.” kemudian tanpa basa-basi Kei melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lavender bahkan menempelkan kepala di punggung lebar itu. Dengan itu, Lavender melajukan Vionanya seaman dan secepat yang ia bisa.

Setelah mendapat balasan dari Dave. Kei menunggu minumannya selesai dulu baru ia menghampiri Dave. Tak lama setelah namanya dipanggil, Kei langsung memasuki cafe dan mencari smooking area yang dimaksud Dave.

Oh, itu.” gumamnya saat menemukan pintu kaca yang di dalamnya terdapat rerumputan sekaligus kursi yang tertata rapi.

Sesaat setelah Kei menginjakkan kakinya disana, ia langsung menangkap presensi Dave di meja ujung kanan. Dave masih Dave yang biasanya ternyata, batinnya. Masih dengan hoodie biru bermotif telur pecah, celana jogger, kacamata, dan topi yang kini tengah berada di samping rokoknya.

“Udah lama?” ucap sekaligus sapa Kei saat sudah berada di depan kursi yang Dave duduki.

Eh?” “Gak kok, baru 10 menitan. Udah pesen?” tanya Dave kemudian dibalas dengan Kei yang mengangkat gelas minumannya, menunjukkan ia sudah memesan.

Setelah mendudukkan diri dengan perasaan sedikit canggung, Kei mengalihkan pandang dengan melihat sekeliling sambil menyeruput Aren Latte yang tadi ia pesan. “Evacuate banyak berubah kayanya.” katanya.

“Iya. Padahal kita gak kesini baru setahunan, kalo gak salah? Tapi udah banyak yang diupgrade aja.” sahut Dave.

Kei mengangguk kemudian kembali memusatkan pandangan pada presensi di hadapannya. Entah kenapa, Kei rasa malam ini Kei tidak nyaman berhadapan dengan Dave. Kei ingin semuanya cepat selesai, kemudian ia bisa pulang.

So..?” ucapnya lebih dulu memecah atmosfir canggung di antara keduanya. Dave yang sedari tadi tak berhenti menatap Kei pun kini menaruh handphonenya, mengesampingkan segala urusan di dalam handphonenya demi berbicara empat mata dengan yang ada di hadapannya.

“Apa yang mau lu omongin?” tanya Kei tanpa ragu.

Dave menghela nafas, “Gue kangen tau sama kita yang dulu.” ucapnya. Kei kemudian tersenyum simpul, “Emangnya kita dulu gimana? Bukannya sama? Sama-sama temenan kaya sekarang, kan?” sahutnya didampingi nada menyindir. “Bukan itu, Kei, maksud gue.” “Iya, terus gimana, David?” sahut Kei penuh penekanan.

“Kenapa lo ngejauhin gue?” “Kenapa jaga jarak sama gue?” “Kenapa gak pernah ngechat gue lagi sekarang?” “Kalo ada masalah biasanya lo ngomong, kenapa sekarang dipendem sendiri? Gue ada salah apa sama lo?” tanya Dave bertubi-tubi.

Kei menghela nafas panjang. Mungkin ini saatnya ia utarakan semuanya pada Dave. Ia lelah bertengkar dengan pikirannya sendiri. Hatinya berkata tinggal, tapi pikirnya berkata tinggalkan.

“Lu butuh jawabannya?” tanya Kei setelah diam untuk beberapa saat. Dave pun mengangguk. “Ada sesuatu yang serius banget, yang lo sembunyiin dari gue, ya?” celetuk Dave.

“Ada,”

“Kenapa gak bi—”

“Gue suka sama lu. Sayang bahkan sama lu. Gue suka sama lu dari kelas 9. Itu yang pertama. Kedua, gue jaga jarak dan gak ngechat lu lagi karena gue sadar diri, Dave. Gue ini siapa, sih? Ketiga, gue juga gak bisa gini terus, gue sayang sama lu, tapi yang gue dapet setiap hari apa? Gue capek cuma jadi persinggahan lu doang. Gue sakit hati lihat lu menghargai Khaira sebegitunya, tapi lu seakan gak bisa lihat kehadiran gue sebesar lu lihat Khaira. Gue bukannya pengen hubungan lu sama Khaira rusak, tapi apa pernah terbersit di pikiran lu buat nanyain keadaan gue, nanyain tentang perasaan gue, atau bahkan sekedar nanya tentang gimana hari-hari gue? Paling gak sebagai sahabat lah, Dave. Gak pernah, kan?” ucap Kei panjang lebar. Mencurahkan semua hiruk-pikuk dalam pikirannya yang tertahan dan terus menerus dipaksa diam dalam waktu yang lama.

“Kei,”

Yang dipanggil hanya menunduk. Tak punya nyali untuk sekedar mengangkat dagu karena congkaknya tak lagi berada di atas sana. Tak berani menatap dunia yang mungkin akan sepenuhnya hitam karena ia telah dengan nekat menyatakan perasaan pada sahabatnya sendiri.

“Kei, gue juga sayang sama lo. Sayang banget.” ucap Dave membuat Kei secepat mungkin menegakkan badannya. Kepalanya dimiringkan, menuntut kalimat selanjutnya yang akan keluarnya dari mulut lawan bicaranya.

“Sebagai temen..” lanjut Dave membuat Kei kembali membuang muka dan menahan amarahnya dengan kepalan tangan di bawah meja. “..Bukannya lo juga sayang sama gue sebagai temen? Gue kira dari dulu perasaan itu gak bakal bisa berubah?” lanjut Dave lagi tanpa rasa bersalah.

“Gue sayang sama lu sebagai cowok, Dave. Sebagai David Brillantino. Bukan sebagai Dave sohibnya Kei.” sahut Kei sambil mengeratkan kepalan tangannya. “Kenapa lu bodoh banget, sih?” “Kenapa lu gak pernah sadar?” “Aah, gue jadi makin benci sama kenyataan, ternyata gue mencintai sendirian.” tambah Kei sambil menggelengkan kepalanya, sesekali mendongakkan kepala guna mencegah air yang hendak lolos dari pelupuk matanya.

“Kei..” panggil Dave lagi. Ia terlalu bungkam dengan semua yang utarakan.

“Udah cukup, kan?” sela Kei. “Udah lega lu sekarang?” tambahnya.

“Kei, gue—”

“Kak David!” ucapan Dave tersela ketika mendengar suara perempuan memanggil namanya. Fokus Dave kemudian terbagi, Dave kini menatap perempuan mungil yang tengah melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa sadar, ia tersenyum. Di depan Kei. Di depan Kei yang baru saja menyatakan perasaannya.

Kei sempat menoleh sebentar, kemudian sambil membereskan barang bawaannya, “Lu bahkan ngajak Khaira kesini? Tujuan lu ngomong sama gue atau mau pamer kalo lu bisa berduaan, seneng-seneng. Sedangkan gue disini nangis, sesek, berantakan karena perasaannya gak terbalaskan. Gitu?” ucap Kei kemudian berdiri.

“Kei, tunggu!” cegah Dave sambil mencekal lengan Kei. “Kei, biar gue jelasin dulu. Duduk lagi, ya?” pintanya. Sementara Khaira kini berjalan semakin dekat ke arah tempat mereka duduk.

Kei menghempas cekalan Dave di lengannya, “Gak ada capek-capeknya gue bilang. Lu kaya gini karena lu cuma kasih gue SEBISANYA. Sedangkan gue? gue kasih lu SEMAMPUNYA. Apapun gue lakuin buat lu, tapi lu bales kalo lu sempet dan pengen doang. We're done, Dave. Gue pamit.” ucap Kei penuh penekanan pada kata bisa dan mampu. Kemudian ia beranjak dari sana.

Saat Dave hendak mengejar, lengannya ditahan. “Kak,” “Kalian kenapa, sih?” tanya Khaira dengan polosnya.

Dave enggan membalas dan hendak mengejar Kei tapi lagi-lagi ia ditahan. “Kak, udah. Jangan dikejar. Kak Kei mungkin butuh waktu. Ya?” ucap Khaira kemudian mendudukkan Dave kembali sambil menenangkannya.

Sesaat setelah bel pulang sekolah dibunyikan, Lavender dengan cepat mengemasi barangnya dan sebisa mungkin selesai lebih dulu dari pada Kei. Tak ada alasan, hanya ingin saja.

Belum selesai Kei ngobrol dengan Raian, Lavender tiba-tiba sudah berada di sebelah bangkunya, “Ayo.” katanya kemudian.

Kei kemudian menoleh dan memutar bola matanya. Hadaahhh, batinnya. “Rai, gue duluan, ditungguin cecunguk soalnya. Lu hati-hati pulangnya. Byeeeee.” pamit Kei kemudian berjalan dan mendorong punggung kekar Lavender agar berjalan lebih dulu.

Agaknya, semakin kesini, jam pulang sekolah jadi jam rutin Lavender dan Kei berduaan. Hampir satu minggu keduanya menghabiskan waktu bersama setelah sepulang sekolah. Saat berjalan ke gor pun, tak ada satu pasang mata yang tak menaruh perhatian pada dua anak adam yang sedang berjalan beriringan itu. Bahkan mereka heran tentang kenapa dua anak ini bisa semakin dekat? Tapi Lavender terlalu masa bodoh untuk mengetahui hal itu, berbanding terbalik dengan Kei yang sangat mementingkan ucapan orang lain.

Eh, lu jangan terlalu deket dong kalo jalan.” protesnya sambil melirik Lavender tajam.

Lavender terkekeh, “Padahal yang dari tadi dorong-dorong pundak gue siapa? Artinya yang pegang-pegang siapa? Hmm?” balasnya kemudian dibalas decakan oleh Kei. Kei tak mengelak karena memang benar adanya.

“Keith.” panggil Lavender. “Ha?” “Siapa tadi yang lo bilang cecunguk?” tanya Lavender dengan nada sedikit mengerikan. Kei gelagapan. “Em-emang kenapa?” sahutnya tak berani menatap mata Lavender. “Gue yang lo maksud?” tanya Lavender lagi, kini sambil menarik pinggang tubuh Kei agar semakin menempel dengan tubuhnya. “Laven!” protes Kei. “Hmm? Siapa?” tanyanya lagi.

“Lu!” “Lu yang gue maksud cecunguk! Puas?” balas Kei memberanikan diri menatap sekaligus melotot ke arah Lavender. Yang ia sangka akan menakutkan, ternyata Lavender tak menemukan sisi menakutkan itu sama sekali. “Lucu.” malah yang keluar dari bilabial tipisnya.

“Lepasin gak!” pinta Kei sambil berusaha melepaskan lengan Lavender yang masih terlingkar di pinggangnya. “Ini di sekolah, Laven. Lu gak punya malu, ya?” sindirnya. Lavender kemudian menyeringai, “Berarti kalo di luar sekolah, boleh, ya?” godanya. “TAU AH! MALES!” rajuk Kei sekuat tenaga melepaskan lengan kekar di pinggangnya kemudian berjalan mendahului Lavender.


“KEI!!!” “SINI TURUUNNN! IKUT MAIN!!!” teriak Lavender dari bawah. Samar-samar dapat ia lihat, Kei sedang melamun disana. “Kei!” panggilnya lagi. “Nih anak mikirin apaan lagi.” katanya kemudian menyerah dan memilih menghampiri Kei ke atas tribun.

“Hei.” sapa Lavender sambil menepuk pelan pundak Kei. Yang ditepuk pun kaget. “Beneran ngelamun nih anak.” ucap Lavender kemudian menyandarkan setengah tubuhnya pada pembatas tribun. “Mikirin apa? Gue boleh tau?” tanyanya.

“Gue..” ucap Kei satu kata kemudian berhenti dan menatap Lavender sebentar. “Hmm?” sahut Lavender. “Mikirin Dave.” lanjutnya tanpa ragu. Lavender yang awalnya tersenyum, kini senyumnya memudar. Jujur saja, Kei tak suka jika wajah tampan Lavender kehilangan senyum indahnya. Tapi apa boleh buat, semua karena ulahnya, kan? “M-maksud gue, gue mikirin Dave soalnya Dave ngajakin gue ketemuan.” Ucap Kei sambil mencoba mencuri-curi pandang, ingin tahu ekspresi apa yang kini terpampang di wajah Lavender.

Kei menghela nafas setelah mengetahui ternyata Lavender tak lagi menatapnya, Lavender menatap ke sebelah kiri, pura-pura tak memperhatikan padahal telinganya memusatkan perhatian sepenuhnya. “Laven,” panggil Kei. “Iya?” kemudian Laven menoleh. “Dave ngajakin gue ngobrol doang. Gak aneh-aneh kok.” kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Kei. Kalimat yang sulit Kei percayai keluar dari mulutnya begitu saja. Ngapain juga gue ngomong gitu astaga. Goblok, goblok, goblok!!!! batinnya. Kei memejamkan matanya erat sekarang.

Laven kemudian maju hingga berada tepat di depan Kei. Mengusak kepala Kei, menyingkirkan rambut yang menutupi penglihatan Kei, bahkan mengusap lembut pipi gembil Kei. “Lo gak harus bilang semuanya, Kei. Lagian itu hak lo buat nemuin Dave.” katanya membuat Kei yakin dan kembali menatap mata tajam Lavender. “Sorry.” “Ngapain maaf? Asal lo inget satu,” ucap Lavender. “Apa?” tanya Kei.

Laven kemudian menunduk, menumpu berat tubuhnya dengan kedua tangan berada di lututnya. “Coba gue mau lihat wajah cantiknya.” katanya.

Kei semakin memejamkan matanya erat setelah Lavender bertindak seperti itu. Jarak wajahnya dengan Lavender tak sampai 5 senti, bagaimana caranya tenang dan bersikap biasa saja? “Keith.” panggil Lavender karena tak kunjung mendapat respon dari Kei. “I-iya?” “Inget satu. Kabarin gue kalo ada apa-apa, ya? Kalo Dave ngelakuin sesuatu yang di luar batas, telfon gue langsung. Oke?” ucapnya sambil mengusak kepala Kei lagi. Jantung Kei semakin berdetak tak karuan, sensasi menggelitik semakin terasa di sekujur tubuhnya saat Lavender pamerkan senyum indah tepat di depan wajahnya.

“Udah, yuk. Sekarang kita pulang.”

Dave, Dave. Sejujurnya, ada satu hal yang kamu gak tau. Kei lebih dulu kenal Dave dari pada kamu. Kei jelas tahu soal tindakan kaya apa yang bakal Dave lakuin kalo lagi deket dia, Kei juga tahu kalo Dave gak akan macem-macem, bahkan Kei juga tahu betul kalo Dave tahu “batas” yang Kei buat itu gak akan Dave lewati apalagi Dave langgar.

saat semua orang bilang kalau dave tuh gak bisa kalo dipisahin sama kei, ternyata benar faktanya. dave yang selalu mencari kei dalam situasi apapun dan kei yang setia berada di sisi dave bahkan saat dave tak membutuhkannya.

kali ini, pemuda bernama keith senja kembali menerobos dinding pencakar langitnya demi yang sedang sakit di seberang sana. seketika tak peduli akan seberapa besar luka yang telah tertoreh, kei berlari.


sesampainya di rumah dave, kei langsung bertegur sapa dengan bundanya dave. kemudian seperti biasa, ia masuk tanpa basa-basi; anggap saja rumah sendiri.

matanya langsung tertuju pada ruangan yang pintunya terdapat banyak sekali tempelan stiker. itu kamar dave. kamar yang biasa ia singgahi sewaktu masih duduk di bangku SMP.

ia kemudian berlari. melewati 2 anak tangga sekaligus ketika derap langkahnya berjalan. belum sempat mengetuk pintu, ternyata sosok perempuan dengan tubuh lebih pendek dari pada dirinya muncul lebih dulu dari dalam kamar. sedangkan kei? ia masih kesusahan mengatur nafas. kalau dipikir-pikir lagi, rasanya seperti orang bodoh. berlarian demi seseorang.. ah, lupakan.

“eh—halo, khaira?” sapanya kikuk.

“langsung masuk aja, ka.”

kei kemudian masuk ke kamar dave. matanya langsung tertuju pada sosok yang tengah berbaring lemah—tak seperti biasanya. dave tertidur dengan 2 balutan selimut sekaligus. keduanya alisnya pun saling berpaut. kei seakan bisa merasakan seberat apa pusing yang tengah memerangi kepala dave.

“sakit apa sih di—”

“kei...”

belum sempat pertanyaan kei sampai pada tanda tanya, suara dave menginterupsi pendengarannya. membuat atmosfir percakapan di tengah-tengah kei dan khaira terasa canggung. bagaimana tidak? kenapa harus nama kei yang dipanggil padahal ada khaira, sang pacar, disini?

“kaya gitu tuh, ka, dari tadi.”

kei kemudian menepuk dahinya. tak habis pikir dengan kelakuan temannya itu. “sorry, ya, khai?” katanya. “gue boleh panggil khai, kan?” tambahnya.

“panggil ra aja, ka. khai cuma boleh ka david yang panggil.”

kei kemudian tersenyum pahit, seakan ingin membalas, kei juga cuma dave dan sahabat deket gue aja yang boleh panggil, tapi tentu saja ia urungkan. bukan masalah besar.

“lu mau pulang? ato tetep disini?”

“aku pulang deh, ka. percuma juga disini, ka david gak butuh aku. masa disini aku cuma ngeliatin ka kei ngerawat ka david doang.”

lagi-lagi kei tersenyum pahit.

“yaudah hati-hati. sorry gue gak bisa nganter.” ucapnya.

setelah khaira keluar dari kamar dave, kei bergumam sendirian. “sebenernya lu tuh niat ngerawat apa gak coba?” kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala.


“hey,”

“dave,”

“bangun, yuk.. bentaran.”

panggil kei sambil menepuk-nepuk pundak dave, sesekali menepuk pipinya juga. sesuai yang dikatakan khaira, dave belum minum obat. maka, ia harus minum sekarang.

“kei..?”

panggil dave dengan suara seraknya.

“iya gue disini. ayo bangun duluuuu.”

seakan dirasuki sesuatu, dave langsung membuka matanya lebar dan merubah posisi rebahnya menjadi duduk bersila.

“santai kali. kaya liat setan aja.”

“gimana? katanya lu butuh gue? ini gue udah disini, terus lu mau apa?” ucap kei sekaligus.

“en-enggak.. gue cuma butuh lo. e-emang salah?” sahut dave gagap.

alih-alih menjawab pertanyaan super retoris dari dave, kei kini membuka bungkus obat yang sedari tadi tergeletak utuh di atas nakas. ia kemudian memberikannya pada dave. “minum.” katanya.

“sakit apa, sih?” tanya kei setelah melihat dave selesai meminum obatnya.

“gak tau. badan gue sakit semua aja rasanya, pusing, panas-dingin, kadang mual juga.”

“apaan banyak banget???”

“ya gue juga gak tau??? gue juga gak mau sakit.” sahut dave dengan raut muka sedih. “gak usah mewek. gak mempan.” tukas kei segera saat melihat wajah dave.

“kei.”

“hm?”

“jangan kemana-mana, ya?”

“maksudnya?”

“lo. jangan kemana-mana dulu. gue butuh lo. yaaa?” mohon dave.

permohonan yang sebetulnya rumpang. kata dulu dan gue butuh lo mencerminkan bahwa kei dibutuhkan hanya ketika dave sedang susah. ah, lagi-lagi, kei benci itu semua. benci fakta tentang dave yang datang ketika susah saja.

“kan ada khaira?” tanya kei setelah beberapa detik berkutat dengan pikirannya sendiri.

“khaira bukan lo. gue maunya lo.”

dave bodoh.

dave, tapi yang sedang ada di sampingmu kali ini cuma temanmu. kenapa malah inginkan temanmu dari pada pacarmu? memang kei seistimewa apa di matamu? dave, kalau kei diberi kesempatan untuk berucap, kei pasti akui bahwa sebetulnya dirinya yang paling sakit. bukan kamu, dave. tapi kei.

“haiii,” sapa heaven setelah memasuki mobil farrel dan selesai memasang sabuk pengamannya. “dah yuk jalan.” tambahnya.

farrel hanya balas dengan anggukan, wajahnya merengut, tak secerah biasanya. namun heaven tak kunjung menyadari itu.

tsk!

farrel berdecak marah saat merasa persneling mobilnya macet. membuat moodnya memburuk.

heaven menoleh, terkekeh sebentar, kemudian menghela nafasnya.

“abang..” panggilnya.

sial, panggilan ajaib itu.

“kenapa, sih? hm? mau berhenti dulu?” tanyanya sambil mengusap tangan farrel yang dibuat mengenggam persneling.

“di persimpangan ada starbucks, mau berhenti dulu?” tanyanya lagi.

farrel menggeleng.

“ngomong, ih. jangan kaya anak kecil.”

farrel menoleh, “aku? aku kaya anak kecil?”

“ya.. kamu? kalo ada apa-apa tuh ngomong, sayang. jangan marah-marah sendiri gini, kan aku jadi ikutan bingung.”

“kamu kali kaya anak kecil.” sambar farrel.

“loh, kok makin marah?”

“ya, kamu pikir sendiri, deh.”

“apa sih, gie? aduh, aku nih udah cape jangan ditambah-tambahin deh.”

farrel memejamkan matanya sejenak, meredam emosinya dalam-dalam, enggan meledak karena yang sedang ia hadapi itu.. bukan orang lain. itu heavennya, kesayangannya.

“jauzie siapa?” ucapnya setelah meyakinkan diri cukup lama.

awalnya ia menatap heaven lamat-lamat, namun begitu heaven mengangkat kepalanya, farrel dengan sigap mengalihkan pandangannya ke arah yang lain. enggan menatap yang lebih muda.

terdengar kekehan ringan dari heaven setelah ia melempar pertanyaan itu.

“astaga.. kamu cemburu sama jauzie?” tanya heaven menoel-noel pipi farrel, hendak bercanda.

tsk! jawab dulu jauzie siapaaa????”

“deketan, kek, biar aku bisa enak ngomongnya.” ucap heaven.

farrel akhirnya melepas sabuk pengaman dan mendekatkan posisinya pada yang lebih muda, badannya sedikit lebih condong ke depan. “apa?” katanya.

cup!

heaven curi satu kecupan di ranum milik farrel. hitung-hitung sambil bantu redakan emosi yang lebih tua.

“ngapain malah cium-cium?”

“yaudah enggak cium-cium lagi. awas, ya, kalo nanti ternyata malah kamu yang minta cium duluan?”

“buruan cerita, ah.”

“kamu tau dari jauzie, dia siapanya aku? kalian sempet chat bentar kan di hp aku?” tanya heaven sambil merapikan rambut farrel yang menghalangi matanya.

“mantan kamu.” balas farrel kesal, bibirnya maju 3 senti.

heaven terkekeh.

“bener, ya, dia mantan kamu?” tanya farrel, semakin kesal karena heaven tak kunjung beri penjelasan.

heaven kemudian mengangguk.

“ah, pantes. cakep kok dia, kamu juga cakep. cocok.” omel farrel tanpa menatap yang lebih muda.

“aku belum selesai ngomong, augieeee.”

“tapi dia emang ganteng, lebih ganteng dari aku. ya kan? mana tinggi, badannya juga atletis banget. tipemu bukannya yang kaya gitu?”

“iya, tipe aku.”

“udah lah, kamu bawa mobil aku aja. aku mau pulang jalan kaki.” sahut farrel sambil hendak membuka pintu mobil.

“eh, eh, eh! apa-apaan sih!!!” ucap heaven sambil terkekeh tak berhenti.

“tipe aku tapi dulu, gie. semuanya cuma duluuu. sama kaya kamu sama weasley, sama-sama dulunya. lagian aku sama jauzie udah selesai, dari lama bangetttt. we're done, even in a very good terms. makannya aku sama dia gak musuhan sampe sekarang, we're good, as friends.”

“udah jelas atau kamu masih pengen denger yang lain?” tanya heaven mengakhiri penjelasannya.

“terus harus banget peluk-peluk gitu?”

“jauzie itu kesini beberapa tahun sekali doang, gie, asal kamu tau. dia lanjut kuliah tuh di jerman, balik-balik cuma kalo ada waktu sama kalo emergency banget banget banget. selain itu ya dia gak bakalan balik. lagian, emang aku gak boleh peluk temen aku yang udah bertahun-tahun gak ketemu? pelukannya juga cuma sekali ini doang. kalo aku sama kamu, bisa sampe kapanpun pelukannya, ya kan? jangan cemburu, yaaaa?” ucapnya.

“aku gak ada perasaan apa-apa lagi ke jauzie, dia udah kaya ade aku. aku juga berkali-kali bilang gak ada yang bisa gantiin kamu. i love you on the first place, remember?” tambah heaven.

farrel yang mendengar itu mengangguk patah-patah. masih ragu dengan pernyataan heaven. foto heaven memeluk jauzie terlihat sangat mesra, membuat farrel takut, tentu saja.

“bener kaya gitu, ya? gak ada perasaan apa-apa, kan?” tanya farrel, diam-diam berusaha meyakinkan dirinya.

“iya, augie, gak ada. suwer!” balas heaven sambil mengangkat dua jarinya.

“tapi kalo kamu diajak balikan, kamu mau?” tanya farrel lagi.

“did you not believe me?” heaven melempar pertanyaannya kali ini.

“hm?” tegasnya.

“i do believe you. i love you, kalo kamu lupa.”

“i'd never forget. if you do believe me, then don't ask that kind of question ever again.”

“aku emang dulu secinta itu sama jauzie, tapi sekali lagi aku bilang, ITU DULU.” ucap heaven penuh penekanan. “sekarang ya sekarang. jauzie cuma masa lalu, sedangkan sekarang kamu rumah aku. paham sampe sini?” tambahnya.

farrel mengangguk lemah. heaven memang tak bisa dikalahkan sifat dominannya bila dihadapkan dengan situasi yang sedemikian. farrel bisa apa selain mengiyakan? lagian... jawabannya memang cuma iya.

“sini peluk, gak usah memble lagi kaya gitu.” ucap heaven berusaha cairkan suasana.

farrel kemudian berhambur ke pelukan yang lebih muda. memeluknya seerat biasanya. menghirup wangi cokelat dari ceruk lehernya. semuanya dilakukan seperti biasa.

“maaf aku ngeraguin kamu lagi, lagi, dan lagi..” ucap farrel sambil mengecup pelipis heaven sekenanya. “.. sekarang aku tau gimana rasanya jadi kamu waktu liat aku sama weasley kemarin. cuma bedanya aku yang sama-sama gak paham sama keadaan, milih bohong sama kamu, sedangkan hari ini kamu jujur banget sama aku dari awal.” tambahnya kemudian memperdalam pelukannya.

“pintu keluar ada di sebelah kiri, i can see it. tapi aku pilih mundur karena buat melangkah ke pintu keluar.. sama susahnya sama waktu aku melangkah ke pintu masuk. semua yang ada di kamu, semuanya kaya teka-teki. aku hidup dalam kebingungan, tapi aku gak pernah sekalipun mikir buat ngelepasin kamu gitu aja. i kept fighting for the answers. and then i got it. i got you, i got the happiness.”

langit tampaknya terlihat sama murungnya dengan yang sedang mengunci diri di kamar apartemen. heaven kembali dilanda ketidaktahuan akan ke arah mana dirinya berlari jika tautannya dengan farrel tak lagi terpaut seperti seharusnya.

“harus balik ke gue yang putus asa? atau gue yang sama sekali gak punya arah?”

“arghhh!” teriaknya sambil mengusak rambutnya kasar.

“apa-apaan, sih, anjing. pelukan di tempat umum, ngefoto diupload di sosmed. ini kebohongan terbesar lu, farrel, gue benci kebohongan. gue benci lu.”

disaat yang lebih muda sibuk bertengkar dengan dirinya sendiri, farrel membuka pintu apartemennya acak, menimbulkan bunyi braakkk! pada pintu itu. kemudian berlari, mencari presensi yang tak kunjung ia temukan.

“gue telat, ya, ven?” gumamnya sambil hendak membuka ruangan terakhir—kamar yang ia tempati bersama heaven untuk tidur.

hiks!

saat isakan itu terdengar, farrel mendongakkan kepala cepat.

“ven!”

“jangan deketin gue. berdiri di tempat lu sekarang.” perintah heaven sambil jarinya menunjuk ke sembarang arah—tanpa mendongakkan kepalanya.

“ven, aku minta maaf..”

heaven diam.

“ven, harusnya aku jujur. maaf, aku gak tau bakal kaya gini.”

heaven masih juga diam.

“ven, aku gak ada maks—”

“gak ada maksud bohongin gue? itu yang mau lu omongin?” selanya dengan nada yang lebih tinggi, jangan lupakan penampilannya yang berantakan. matanya membengkak juga merah, hidungnya pun sama.

pundak farrel seketika melemah setelah melihat penampilan heaven yang seperti itu. terlihat sangat kesakitan dan semua karena ulahnya.

“sayang, maaf..”

“lu mau kita udahan aja? itu mau lu?”

“enggak, ven. aku gak mau putus. gak bakalan mau.”

“YA TERUS KENAPA BOHONG, ANJING???”

“LU TAU GUE GAK SUKA DIBOHONGIN. LU JUGA TAU SEKALIPUN LU JUJUR, GUE GAK AKAN NGEHAKIMIN LU. TAPI KENAPA YANG LU PILIH MALAH YANG BOHONG?”

“ven,”

“lu tau apa yang bikin gue makin marah?”

farrel hanya menunduk.

“gue selalu sabar-sabarin lu, farrel. gue hadapi semuanya dengan tenang dari dulu, gak ada gue sangkut-pautin tiap masalah kita sama emosi gue. gue selalu berusaha memaklumi semua kegiatan lu, lu juga sebaliknya. tapi gak tau kenapa kali ini lu bohong sama gue, lu ketemuan sama orang. DI MARRIOTTS, ANJING, GIE, MARRIOTTS ITU TEMPAT GUE! TEMPAT KITA! KENAPA LU BAWA DIA KESANA? HAH?”

“gak selesai disitu ternyata. lu hide status wa lu dari gue cuma buat bikin status sama tuh cowok,”

“kalo udah gak sayang sama gue, udah gak percaya sama gue, lu ngomong aja, gie. jangan kaya gini. gue gak bakal ngehalangin lu kok. gue bisa pergi sekarang juga kalo itu mau lu. tapi asal lu tau, sebelumnya gue gak pernah nyerah buat lu, gue perjuangin semuanya buat lu, bareng lu, dan andai lu tau gimana sakitnya gue setelah tau balesan dari semua yang udah gue lakuin, ternyata ini.”

“gue pamit.” final heaven, kemudian ia beranjak dari kasur king size itu, mengeluarkan baju-bajunya yang selalu tertata rapi di dalam lemari apartemen farrel.

saat hendak memasukkan bajunya ke koper, lengannya dicekal kemudian badannya diputar-balikkan dengan cepat. farrel memeluknya erat.

“lepas.”

“maaf,”

“gue bilang, lepas.”

farrel menggeleng kuat, “maafin aku, ven.” katanya.

“lepas, rel. gue bilang, lepas, anjing!”

kemudian tangisnya kembali terdengar memenuhi seluruh ruangan. heaven yang lemah, memanglah heaven yang lemah. heaven hanya lemah, obatnya cuma peluknya farrel.

“lepasin. gue—gue gak mau dipeluk sama pelukan bekas orang lain.”

“sayang, dengerin aku dulu..”

dengan itu, tangisan heaven berangsur-angsur semakin keras.

“hey, dengerin aku ya?”

“dia namanya, weasley. he's my first. mantan cowo pertama aku,”

“ya kan! aku emang gak ada apa-apanya kalo disandingin sama dia! udah, lepasin aja, kamu bisa balik sama dia kok, biar aku yang—” sela heaven ribut.

“sssuutttt. aku belum selesai.”

sambil mengusap-usap punggung bergetar milik heaven, farrel melanjutkan ucapannya. “dia mau pergi. berobat ke luar negeri. dia bilang, kalo aku gak balik, tolong maafin semua kesalahn aku sama kamu ya?. awalnya aku gak mau karena denger omongannya ngelantur banget. tapi sampe di akhir pembicaraan, dia bilang, dia berobat ke luar negeri pun kesempatan dia buat sembuh gak sampe 10%. makannya dia nemuin aku hari ini dan bilang semuanya, mungkin buat yang terakhir.”

heaven yang mendengar itu pun sedikit meregangkan pelukannya, menatap farrel, berusaha mencari secercah kebohongan yang mungkin dapat ia temukan tenggelam di dalam sana.

“kamu tau? awalnya aku tolak mentah-mentah waktu dia minta ketemu. dia itu.. cinta tapi juga luka pertama aku, dan rasanya gak biasa aja waktu aku rasain itu. bikin aku gak mau ketemu sama dia. memori lama bakal tergugah lagi kalo aku liat mukanya, itu pasti.”

“terus hiks akhirnya kamu ketemu hiks, gimana?”

“aku berdamai sama keadaan, sayang.”

“weasley mungkin cuma butuh tempat mengadu kali ini, weasley juga mungkin cuma butuh peristirahatan terakhir sebelum, amit-amit, dia beneran dipanggil sama Tuhan. dan kita sama-sama manusia biasanya, aku gak bisa terus-terusan kaya gini, ngebiarin dia jalan ke depan tapi dihantui masa lalu yang sebenernya belum selesai dan jauh terkubur di belakang. bisa aja itu malah makin nyiksa dia di kehidupan selanjutnya.”

“soal cowok yang aku peluk, aku kira selesai. giliran masalah status wa dan kebohongan.”

heaven kembali membawa wajahnya pada perpotongan ceruk leher yang lebih tua.

“maaf, ya, aku malah lebih milih bohong sama kamu. aku takut. aku takut kalo aku ngomong, nanti aku kehilangan kamu.”

“nyatanya.. semakin besar kebohongan aku, semakin lebar juga pintu buat kamu melangkah keluar dari hidup aku terbuka. aku bisa liat kamu berdiri di ujung pintu itu hari ini, dan aku marah sama diri aku sendiri karena itu. i fucked up.”

“sayang, aku gak pernah ada niat selingkuhin kamu. sesayang apa aku sama weasley, secinta apa aku sama dia, seberharga apa perasaan aku ke dia.. itu cuma kenangan, semuanya cuma dulu. masa lalu yang baru aja aku selesaikan hari ini. kalo tentang hari ini, kamu tau siapa yang ngisi kekosongan aku semenjak kita ketemu..”

“itu bakalan kamu dan selalu kamu...” ucap farrel panjang lebar.

heaven kembali menatap farrel, sambil mengusap-usap matanya yang membengkak dengan ujung sweaternya yang kebesaran. “bener kaya gitu?” tanyanya dengan bibir manyun.

“bener, sayaaanggg.” balas farrel kemudian melayangkan kecup di pucuk kepala yang lebih muda.

“terus story wa nya?” tanya heaven lagi.

“maaf juga aku sembunyiin story wa aku dari kamu, tapi kayanya itu kepencet, sayang.. karena tadi waktu mau chat kamu, weasley tiba-tiba meluk aku kenceng aku gak bisa ngapa-ngapain selain masukkin hp ke kantong.. itu pun hpnya ketekan-tekan pake jari aku.. kamu boleh marah lagi kok kalo misalnya gak percaya, kamu dengerin penjelasan aku kaya gini aja aku udah bersyukur banget.”

“maaf ya, sayang, ya?” ucap farrel.

heaven kemudian mengangguk tipis.

“maaf juga akunya kesulut emosi duluan, udah marah-marah bahkan sampe bawa-bawa putus.”

“iya, nih. better don't say that word again, honey, will you?”

“kamu juga, jangan bohong-bohong lagi.”

“aku sayang kamu, ven, bangetttt. makasih, ya, udah maafin aku?”

“jangan bawa siapapun ke marriotts habis gini.” gumam heaven dalam dekapan farrel. yang diomeli hanya terkekeh. “iya, iya, sayang. siaaapppp, bakal cuma kamu dan selalu kamuuuu.” katanya.

selesai.

Ceklek

Terdengar pintu mobil terbuka, menampilkan Heaven dengan senyum datar dan wajah lelahnya di sana. Sempat beradu tatap pula dengan Farrel hampir 2 menit lamanya.

“Masuk, Sayang. Dingin di luar.” tegur Farrel kemudian Heaven masuk dengan gerakannya yang lemas. Sebelum menggunakan sabuk pengaman, Heaven lebih dulu menghadap belakang—hendak menaruh barang bawannya di jok belakang. Sedangkan Farrel mengambil kesempatan itu untuk mencuri satu dua kecup di pipi dan bibir yang lebih muda.

Eumh! Jangan cium-cium!” protes Heaven sambil mengusap bekas kecupan Farrel.

Sang pelaku justru terkekeh kesenangan. Heaven yang merajuk adalah Heaven favoritnya.

“Udah kan? Jalan sekarang, ya?” tanya Farrel kemudian dihadiahi anggukan oleh yang lebih muda.

Heaven yang tenaganya tak lagi cukup jika dibuat berbicara pun akhirnya diam saja hingga setengah perjalanan telah berlalu. Sesekali menoleh menatap yang lebih tua sedang fokus menyetir, tanpa ada rasa ingin bertanya soal akan pergi kemana mereka hari ini.

“Udah puas belum natap akunya?” goda Farrel tanpa balas menatap mata Heaven. Tentu saja ia tahu, sudut matanya kerap kali mendapati Heaven sedang menatapnya lamat.

Tsk.” Heaven hanya merespon dengan decakan.

How's your day today?” tanya Heaven lemas tak bertenaga.

Not so bad, but not so good too. Kamu? Capek banget, ya?”

I am. Ada aja yang salah dan eror di kantor tadi. Siaran aku jadi gak maksimal rasanya,”

My boyfriend hates imperfect things. I almost forgot about it.” sela Farrel. Heaven yang mendengar itu kemudian melayangkan kekehannya untuk yang pertama kali. “You know me too well. I hate you.” balas Heaven.

“Maaf, ya, aku tadi chat tanpa tau situasi dan kondisi kamu, bikin kamu bad mood juga.” ucap Farrel sambil mengusak rambut yang lebih muda.

“Gak papa, kali. Mood aku itu urusan aku, Gie. Lagian gak bisa juga kalo misalnya kamu harus ngertiin sikon aku padahal kita lagi gak sama-sama. That's impossible.”

Farrel balas dengan anggukan.

“Ini kita mau kemana, sih?” tanya Heaven, akhirnya.

“Akhirnya nanya juga,” Farrel terkekeh. “Cari nasi goreng jawa, bentar, ya? Habis itu udah kok, balik.” lanjutnya.

“Ih, mau.” sahut Heaven. Ih, mau yang harusnya menggunakan nada antusias, kali ini nadanya lemas. Membuat Farrel tertawa sejadinya.

“Tapi,” Heaven belum selesai dengan kalimatnya.

“Tapi apa, Sayang?”

“Kalo habis beli nasgor balik, pelukannya kapan?” tanyanya gamblang.

Farrel dibuat tertawa terbahak-bahak kali ini. Heaven memang paling bisa.

“Di kos-an kamu aja, ya? Nasi gorengnya dibungkus aja. Kita makan di kos.” katanya sambil memakirkan mobilnya di tempat yang tersedia.

Farrel bersiap turun untuk membeli nasi goreng itu hingga rengekan Heaven mengudara, membuat aktivitasnya terhenti seketika.

“By????” panggil Farrel, ia keheranan.

“Heaven ndak mawu puyang..” rengeknya sambil menghentakkan kedua kakinya. Heaven tengah berevolusi menjadi Heaven yang tak diketahui publik.

“Sayang...”

“Mau nginep di apart kamu. Gak mau ke kos. Males ke kos. Kalo kamu pulangin ke kos, mending aku—”

“Ssstttt!” sela Farrel mengarahkan telunjuknya di depan mulut Heaven. “Iya, iya. Pulang ke apart aku, ya? Udah ngerengeknya, aku gak bisa pesen kalo kamu giniii.” ucap Farrel.

Heaven kemudian mengangguk menurut.

“Ikut turun apa gak kamu?” tanya Farrel.

“Disini aja.”

“Jangan nakal!” tukas Farrel kemudian mengecup asal pucuk kepala Heaven.

Farrel kini sudah kembali ke dalam mobil setelah kurang lebih 20 menit menunggu antrian.

Namun, ia rasa ada yang berbeda.

Harusnya yang sedang kelaparan perutnya, tapi ia rasa kini nafsunya yang lapar. Butuh dipuaskan.

Farrel meneguk ludahnya hati-hati saat tak sengaja melihat Heaven yang sudah tak lagi menggunakan pakaian kerjanya dengan benar. Seharusnya, masih ada jas hitam, kemeja, dan dasi yang terpasang rapi di situ, namun kini hanya tersisa kemeja putih saja. Dengan lengan yang ditekuk hingga siku, juga kancing atas yang terbuka hingga dua kancing.

Stop looking at me like that.” protes Heaven, padahal batinnya merasa menang karena rencananya menarik perhatian Farrel berhasil.

Are you gonna eat me, Sir? Tatapan kamu serem, ih!” protesnya lagi.

“Boleh emangnya?” tanya Farrel sambil memakai sabuk pengamannya cepat-cepat, tanpa memutus pandangannya dari dada Heaven yang sedikit terekspos.

“Mau emangnya?” tanya Heaven balik.

Fuck. Why not???”

“Woah, woah. Calm down.” sahut Heaven sambil terkekeh.

Just wait. Aku mau nyetir dengan tenang dulu. Don't disturb me.” pinta Farrel kemudian mulai menjalankan mobilnya.

“Kamu tau lagunya Doja Cat yang judulnya You Right, gak?” tanya Heaven.

“Puter aja, Sayang, kalo mau dengerin. Aku gak tau.”

Kemudian Heaven menyambungkan handphonenya dengan speaker mobil Farrel. Sebetulnya perjalanan menuju apartemen Farrel sedikit lagi, tapi dua orang ini tak suka kesepian.

I got a man, but I want you I got a man, but I want you And it's just nerves, it's just dick Makin' me think 'bout someone new You know I got so much to say I try to hide it in my face And it don't work, you see through That I just want get wit' you And you're right

Bait pertama membuat pikiran Farrel terbang kesana-kemari. Heaven memang. Haduh.

“Aku gak kemana-mana, pelan-pelan aja bawa mobilnya.” ucap Heaven sambil mengusap paha Farrel—setelah mengetahui Farrel menambah kecepatan mobilnya.

Farrel cepat-cepat menempelkan entrance card saat sudah berada di pintu masuk apartemen. Ia pun menoleh ke kanan dan kiri guna mencari tempat parkir yang kosong, sekaligus strategis.

Heaven sempat mendekatkan badannya ke arah Farrel. “Cari yang agak gelap. We do it right here.” katanya.

Fuck, Heaven.”

Kemudian Farrel segera memakirkan mobilnya di tempat yang sedikit redup pencahayaannya, seperti yang Heaven katakan.

Setelah mematikan mesin mobilnya, Farrel menghela nafas kasar.

“Kamu mau apa sih, Sayang?” tanyanya.

“Bukannya kamu yang mau? Katanya mau peluk aku tadi?”

“Tapi..”

“Tapi maunya lebih?” goda Heaven menyela ucapan Farrel.

Farrel mengangguk kecil, tanpa menatap yang lebih muda.

“Emang mau apa?” tanya Heaven, dasar penggoda ulung.

Can I kiss you?” tanya Farrel gamblang.

Like I said. I'm all yours.”

Kemudian Farrel menarik Heaven untuk duduk di pangkuannya. Tanpa basa-basi, Farrel langsung memeluk Heaven erat. Ingat tujuan pertamanya, kan? Ingin minta peluk dari Heaven.

“Capek banget, ya?” tanya Heaven kemudian membalas pelukan Farrel tak kalah erat.

Alih-alih membalas, Farrel justru memainkan nafasnya di dada Heaven yang tak lagi tertutup dengan kain.

Mmhh! Geliiii.”

Cup

“Gie..” rengek Heaven.

“Baru juga dikecup udah ngerengek.”

Heaven kemudian berdecak.

Farrel tak lagi menghiraukan rengekan dan protes dari Heaven. Ia sudah sibuk dengan dunianya sendiri—menghisap tulang selangka Heaven adalah dunia yang dimaksud.

Entah sajak kapan kancing kemeja Heaven sudah terbuka hingga memperlihatkan tulang selangka bahkan benda berwarna cokelat yang tengah mencuat.

Ahhh.. Augie..”

Kecupan Farrel turun ke arah benda kecokelatan itu setelah mendengar desahan Heaven.

Farrel mendongak sebentar, matanya bertemu dengan yang lebih sayu di atas pangkuannya.

Farrel kembali memejamkan matanya kemudian meraup puting Heaven sepenuhnya. Menganggap seakan benda itu besar ukurannya, Farrel meraupnya berantakan.

Ahhh!

“Augie, uda—ahh!” pinta Heaven.

“Augie, kita masih di luar. Mmhh!

Plop!

Bunyi yang dihasilkan Farrel setelah melepaskan raupan mulutnya dari sana, saking eratnya.

Sorry.” katanya kemudian menutup dada Heaven yang terekspos dengan menarik kemeja Heaven menggunakan tangannya yang bebas.

“Maaf, ya? Kelewatan, ya, akunya?” katanya lagi sambil mengancingkan kembali kemeja Heaven yang berantakan karena ulahnya. Tak lupa merapikan rambut Heaven juga.

Heaven hanya terkekeh.

“Maaf, ya, aku gangguin acara kamu. Aku takuttt.” katanya, kemudian sedikit mendekatkan wajahnya dan berbisik, “Kita masih di luar soalnya.”

Keduanya terbawa tawa setelah itu.

“Aku kangen.” ucap Farrel sambil kembali memeluk Heaven.

I know. Makannya aku milih nginep aja di apart kamu.”

“Nakal!”

This naughty is your boy, anyway.” balas Heaven.

“Udah, yuk, turun.” tambahnya kemudian beranjak dari pangkuan Farrel.

“Lanjut di kamar aku ya?”

“BESOK KERJA, IH. GAK ADA YAAA!!!!”

Membuka mata tepat pada saat matahari menyiratkan terang pada gelap kamar tidur Farrel. Yang baru saja membuka mata itu kini bertambah usianya.

Mendapat ucapan selamat dari puluhan orang tersayang, salah satunya dari Heaven—si paling yang tersayang, matanya yang masih sayup-sayup terbuka pun kini sepenuhnya melengkung membentuk bulan sabit. Ia tersenyum senang.

Masih asik membalas pesan dari Heaven sambil menyamankan diri di balik selimut hingga pesan terakhir yang membuat jantung Farrel seakan berhenti berdetak sementara.

“Ayo ke panti.”

Yang dikatakan Heaven.

Baru saja kemarin ia kembali dihadapkan dengan pilihan sulit antara perbedaan pendapatnya dengan Heaven, ternyata Tuhan memberikan balasan yang jauh lebih indah hari ini.

Maka dengan itu, Farrel beranjak secepat mungkin menuju kamar mandi.

Kini Farrel sudah berada di depan kos Heaven. Menunggu yang lebih muda mengunci pintu kosnya.

Farrel kembali memeriksa penampilannya di layar gawainya saat mengetahui Heaven berjalan mendekat.

“Udah, udah gantenggg.” goda Heaven saat membuka pintu mobil Farrel.

Setelah Heaven menyamankan posisi duduknya, Farrel meraihkan kepala yang lebih muda untuk ia kecup dahinya sebentar. Cup, “Thank you, Baby.” katanya kemudian menjalankan mobilnya ke panti asuhan.

Selama perjalanan mereka terus membicarakan tentang anak-anak. Entah usia, makanan kesukaan, hobi, bahkan jenis kelamin apa yang akan mereka pilih hari ini.

Hingga akhirnya Farrel menatap Heaven sekilas.

“Aku mau anaknya cowok. Boleh?” katanya sambil membawa tangan Heaven untuk ia kecupi. Tenang, pandangnya masih fokus pada jalanan kok.

“Cowok atau cewek, aku gak masalah. Aku udah ngeyakinin diri aku buat siap sama apapun yang ada di depan aku. Aku gak akan menutup diri aku lagi. But it sounds cool if we have boy. Kita bisa jadi trio!” ucap Heaven sambil bercanda. Tuhan sungguh memberinya keputusan terbaik hari ini, sesuai dengan doanya kemarin malam.

“Kamu pasti udah nyiapin nama buat dia ya?” tanya Heaven.

Farrel tersenyum malu. “Udah, hehehe.” katanya.

“Siapa coba?”

It's Given.”

“Given Putra Dirgantara.”

Cool, isnt it?” tanya Farrel sedikit menyombongkan diri.

That actually.. SLAY!” balas Heaven membuat Farrel tersenyum lebih lebar dari pada sebelumnya.

“Jangan bilang.. Given tuh..”

“Iya. Augie Heaven.” sela Farrel.

Heaven yang mendengar itu pun langsung menggelengkan kepalanya, sedikit tersipu dengan ide tengil Farrel. “Bisa-bisanya dia.” gumamnya tak terdengar oleh Farrel.

“Maaf ya dadakan banget, aku gak tau bakal dibolehin apa gak sama pengurus pantinya kalo kita dadakan gini. I'm so sorry.” ucap Heaven.

“Aku udah sering ngobrol sama Ibu pantinya kalo lagi senggang. Pasti dibolehin.”

Heaven terbelalak mendengar penuturan Farrel.

“DEMI APA KAMU MAIN RAHASIA-RAHASIAAN YA SEKARANG?” ucap Heaven hampir menjewer telinga Farrel karena kesal.

Cup, cup, Sayang. Marahnya nanti dulu yaaaa? Kita udah sampe.”

“Siap?” tanya Farrel meyakinkan Heaven untuk yang terakhir kali.

Will never be not ready.” katanya kemudian keduanya bersamaan keluar dari mobil.

Keduanya bersamaan keluar juga dari dunia dan zona nyaman mereka sendiri. Siap menjaga jiwa baru yang akan hidup di tengah-tengah mereka. Siap untuk sama-sama saling membahagiakan, bukan lagi sebagai pasangan tapi sebagai keluarga.

Mendapati persetujuan secara tak langsung dari Heaven membuat tungkai panjang Farrel melangkah secepat mungkin. Memencet tombol B pada lift apartemennya, menghentak-hentakkan kakinya ketika menunggu lingkaran berwarna merah bergerak dari angka 15 ke huruf B, ia sudah tak sabar.

Ketika sudah menemukan mobilnya, dengan langkah terburu ia naik dan dengan acak memasangkan seat beltnya. Kemudian ia melaju ke arah kantor si kesayangan.

Biasanya kalau menjemput Heaven di kantor, Farrel hanya menunggu di parkiran. Tapi kini, entah rasa yang 2 hari belakangan ini menghantuinya membuatnya menunggu Heaven di lobby kantornya, bukan lagi di parkiran.

Sambil mengatupkan kedua tangannya, ia bergumam pada dirinya sendiri. Menunggu sang matahari muncul dan jika bisa dan diizinkan, jika bisa dan diizinkan, ia mau mendekap mataharinya sekarang juga.

Saat matanya tak lagi seperti orang komat-kamit, Farrel tak sadar bahwa yang ia tunggu tengah berjalan mendekat ke arahnya.

Langkah kaki yang ramai riuh membuat langkah milik Heaven tak terdengar sama sekali ketika sedang berjalan ke arahnya.

Sedangkan Heaven, yang kini tengah gugup dan ragu, diam-diam sudah berada di depan Farrel.

“Augie,” panggilnya dengan suaranya yang amat pelan.

Farrel mendongak sigap.

“Hey..”

Saat Farrel hendak memeluk, Heaven dengan cepat mendorong pelan dada yang lebih tua. “Nanti ya?” katanya.

Farrel pun menurut dan memutuskan untuk membawa Heaven beranjak dari tempat itu.

“By..” panggil Farrel dibalas dehaman oleh Heaven.

“Langsung pulang atau mau berhenti di suatu tempat dulu?” tanyanya.

You wanna talk right? Can we just do it right here?

“Iya, di sini gak apa-apa.”

Stop the car.” ucap Heaven. Farrel pun mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan.

Tak ada pembicaraan apa-apa selama kurang lebih satu menit. Entah Farrel yang tiba-tiba menciut ketika dihadapkan langsung dengan Heaven atau Heaven yang terkesan ingin meledak membuat atmosfir di dalam mobil kian mencekam.

“Ngomong. Katanya ngomong?” tukas Heaven terlewat kesal.

“Niat ngom—”

Lengannya lebih dulu dicekal kemudian tubuhnya diarahkan untuk mendekat ke arah yang lebih tua. Farrel memeluk Heaven juga, akhirnya.

“Maaf.”

“Lepasin.” perintah Heaven.

“Maaf, Sayang.”

“Kan aku udah bilang jangan minta maaf kalo kamu gak tau kesalahan kamu apa. Percuma. Bilang maaf juga butuh tenaga, jatuhnya kamu malah buang-buang tenaga.” katanya sambil berusaha melepas pelukan Farrel.

“Aku tau salahnya aku apa,

Dari awal emang aku berengsek banget ya? Harusnya kamu marah aja. Aku sering gak sadar kalo aku suka ngebentak kamu, tiba-tiba pake lo-gue ke kamu. Aku dengan gak tau dirinya ngebiarin backstreet ini berjalan sampe 3 bulan, padahal di awal aku bilangnya gak gini. Aku juga secara gak sadar suka bikin peraturan yang dimana bisa nyakitin perasaan kamu, padahal di awal juga aku sendiri yang bilang kalo gak bakal ada peraturan.”

“Maaf, Ven.” ucapnya.

Heaven yang awalnya berusaha memberontak pelukan dari Farrel pun kini gerakannya mereda.

“Aku juga bisa bilang ke Prima itu kalo—”

“Gak usah.”

“Dia udah bilang sendiri ke aku. Barusan.” sela Heaven.

Farrel kini lebih dulu melepas pelukan itu, membawa tangan yang lebih muda untuk ia genggam dan sesekali ia beri kecup kupu-kupu.

“Tapi sampe sini kamu tau gak salahnya kamu dimana?” tanya Heaven sambil mengangkat alisnya. Dengan jemarinya yang digenggam Farrel, ia mengangkat telunjuknya untuk sedikit mendorong dada yang lebih tua.

Farrel kebingungan.

“Aku cuma manusia biasa, Ven. Kalo kamu gak kasih tau aku, gimana aku bisa tau?”

“Waktu kamu minta aku buat introspeksi, aku bener lakuin itu kok. Tapi soal letak salah aku dimana aja, itu di luar kemampuan aku. Gak semuanya bisa aku tau. Kamu yang tau, jadi boleh tolong kasih tau aku, Sayang?”

Heaven memejamkan mata kemudian menghela nafas.

“Aku gak suka cara kamu diemin aku kaya kemarin. You have this..” katanya sambil menunjuk bibir Farrel, “.. Punya mulut buat apa kalo gak buat ngomong? Kalo kamu diem aja kaya kemarin, gimana aku bisa tau kebenarannya kaya apa? Aku juga manusia biasa kan?”

Farrel menundukkan kepalanya dalam. Ia mengaku salah.

“Maaf,” gumam Farrel pelan.

“Aku belum selesai.”

“Terus sekarang kemana larinya coat cokelatmu? Aku kecewa loh, Gie, waktu aku gak dapet jawaban apa-apa dari kamu. Kok kamu tega diemin aku malem-malem sedangkan kamu tau aku suka banget overthinking malem-malem. Maksud kamu sebenernya apa deh?”

“Itu coat dari aku, Gie. Kalo kamu mau bantu anak didikmu. Sok bantu. Tapi jangan pake punyaku!” tambah Heaven, nadanya meninggi.

“Dengerin aku dulu ya?” pinta Farrel.

“Kemarin waktu aku lagi jajan di kantin FT, aku ketemu sama si Prima itu. Aku mau beli minum, dia lagi antri bakso. Posisinya aku lawan arah sama dia. Tapi karena jarak tempat aku beli minum sama tukang bakso tuh deket, pas antri jadi deketan juga,”

“Pas aku mau maju, gak tau dari mana datengnya ini orang. Ada yang tiba-tiba nyiram minuman warna merah—aku gak tau itu minuman apa, ke arah aku sama Prima. Pas banget posisinya aku nutupin Prima. Jadi aku sama dia sama kenanya. Cuma lebih banyak di aku. Di coat yang dari kamu.” ucapnya sambil mengusap pelan pipi yang lebih muda.

“Gak selesai sampe situ. Aku di situ marah dong? Ya kali dosen disiram, gila kali? Tapi selanjutnya aku serahin semuanya ke kampus. Aku mau urusin urusan aku sendiri dulu,”

“Karena coat aku basah jadi otomatis langsung aku lepas kan. Setelah aku lepas, aku ngobrol bentar sama si Prima, karena dia yang pertama bilang Pak, gak papa? Aduh maaf ya, Pak. Tapi habis itu udah. Dia sama kaos putih kotornya, aku sama coat basahku yang udah aku lepas. Demi Tuhan, habis itu aku langsung pergi. Tanpa tau nama dia siapa, dia anak fakultas mana. Katanya yang dia primadona pun aku gak peduli, Sayang. I'm not even looked at her.” jelas Farrel.

“Sekarang coatnya aku laundry, Sayang. Sumpah gak bohong.” tambahnya.

Heaven mengangguk tanpa menatap Farrel.

“Tetep aja. Masih ada sedikit kecewa karena aku tau itu bukan punya kamu dari Prima, bukan dari mulut kamu langsung. Coba kalo aku gak marah, did you still have the urge to fix it? Aku ragu.”

“Iya, Ven. Aku minta maaf ya?”

“Satu lagi,” ucap Heaven menginterupsi.

“Hapus aja twit kamu yang barusan. Sebelum makin banyak dilihat orang, mending kamu hapus sekarang. Aku mau diakui karena kamu tulus dan kamu sadar, bukan cuma gara-gara kita bertengkar.”

“Aku sadar, Ven.”

“Selesaiin aja backstreetnya. Aku gak mau bikin kesalahan yang sama lagi. Maaf ya aku terkesan ngeraguin kamu sebagai pendamping aku. Maaf aku terkesan egois karena cuma mentingin reputasi aku di kampus, sedangkan kamu tanpa ragu pamerin aku ke seluruh dunia.”

You're amazing after all. How did I supposed to shut up if I have an amazing partner like you?”

“Sini peluk lagi.”

“Maaf ya? I promise this will be the last.

Heaven pun mendekatkan tubuhnya lagi ke arah yang lebih tua. Kembali berhambur pada pelukan yang sama, tapi dengan perasaan yang berbeda.

Lagi-lagi harus dihadapkan dengan hubungan yang kehilangan kuncinya. Berkali-kali dikatakan kalau komunikasi adalah kunci. Tapi komunikasi seketika lenyap ketika pemikiran tak lagi ada pada satu lingkup yang sama. Di sinilah keduanya berada. Luka barunya telah diberi penanganan yang tepat, meski terlambat. Tinggal menunggu waktu saja akan jatuh pada kapan sembuhnya lewat.