Luka dan Faktanya

Mendapati persetujuan secara tak langsung dari Heaven membuat tungkai panjang Farrel melangkah secepat mungkin. Memencet tombol B pada lift apartemennya, menghentak-hentakkan kakinya ketika menunggu lingkaran berwarna merah bergerak dari angka 15 ke huruf B, ia sudah tak sabar.

Ketika sudah menemukan mobilnya, dengan langkah terburu ia naik dan dengan acak memasangkan seat beltnya. Kemudian ia melaju ke arah kantor si kesayangan.

Biasanya kalau menjemput Heaven di kantor, Farrel hanya menunggu di parkiran. Tapi kini, entah rasa yang 2 hari belakangan ini menghantuinya membuatnya menunggu Heaven di lobby kantornya, bukan lagi di parkiran.

Sambil mengatupkan kedua tangannya, ia bergumam pada dirinya sendiri. Menunggu sang matahari muncul dan jika bisa dan diizinkan, jika bisa dan diizinkan, ia mau mendekap mataharinya sekarang juga.

Saat matanya tak lagi seperti orang komat-kamit, Farrel tak sadar bahwa yang ia tunggu tengah berjalan mendekat ke arahnya.

Langkah kaki yang ramai riuh membuat langkah milik Heaven tak terdengar sama sekali ketika sedang berjalan ke arahnya.

Sedangkan Heaven, yang kini tengah gugup dan ragu, diam-diam sudah berada di depan Farrel.

“Augie,” panggilnya dengan suaranya yang amat pelan.

Farrel mendongak sigap.

“Hey..”

Saat Farrel hendak memeluk, Heaven dengan cepat mendorong pelan dada yang lebih tua. “Nanti ya?” katanya.

Farrel pun menurut dan memutuskan untuk membawa Heaven beranjak dari tempat itu.

“By..” panggil Farrel dibalas dehaman oleh Heaven.

“Langsung pulang atau mau berhenti di suatu tempat dulu?” tanyanya.

You wanna talk right? Can we just do it right here?

“Iya, di sini gak apa-apa.”

Stop the car.” ucap Heaven. Farrel pun mengarahkan mobilnya ke pinggir jalan.

Tak ada pembicaraan apa-apa selama kurang lebih satu menit. Entah Farrel yang tiba-tiba menciut ketika dihadapkan langsung dengan Heaven atau Heaven yang terkesan ingin meledak membuat atmosfir di dalam mobil kian mencekam.

“Ngomong. Katanya ngomong?” tukas Heaven terlewat kesal.

“Niat ngom—”

Lengannya lebih dulu dicekal kemudian tubuhnya diarahkan untuk mendekat ke arah yang lebih tua. Farrel memeluk Heaven juga, akhirnya.

“Maaf.”

“Lepasin.” perintah Heaven.

“Maaf, Sayang.”

“Kan aku udah bilang jangan minta maaf kalo kamu gak tau kesalahan kamu apa. Percuma. Bilang maaf juga butuh tenaga, jatuhnya kamu malah buang-buang tenaga.” katanya sambil berusaha melepas pelukan Farrel.

“Aku tau salahnya aku apa,

Dari awal emang aku berengsek banget ya? Harusnya kamu marah aja. Aku sering gak sadar kalo aku suka ngebentak kamu, tiba-tiba pake lo-gue ke kamu. Aku dengan gak tau dirinya ngebiarin backstreet ini berjalan sampe 3 bulan, padahal di awal aku bilangnya gak gini. Aku juga secara gak sadar suka bikin peraturan yang dimana bisa nyakitin perasaan kamu, padahal di awal juga aku sendiri yang bilang kalo gak bakal ada peraturan.”

“Maaf, Ven.” ucapnya.

Heaven yang awalnya berusaha memberontak pelukan dari Farrel pun kini gerakannya mereda.

“Aku juga bisa bilang ke Prima itu kalo—”

“Gak usah.”

“Dia udah bilang sendiri ke aku. Barusan.” sela Heaven.

Farrel kini lebih dulu melepas pelukan itu, membawa tangan yang lebih muda untuk ia genggam dan sesekali ia beri kecup kupu-kupu.

“Tapi sampe sini kamu tau gak salahnya kamu dimana?” tanya Heaven sambil mengangkat alisnya. Dengan jemarinya yang digenggam Farrel, ia mengangkat telunjuknya untuk sedikit mendorong dada yang lebih tua.

Farrel kebingungan.

“Aku cuma manusia biasa, Ven. Kalo kamu gak kasih tau aku, gimana aku bisa tau?”

“Waktu kamu minta aku buat introspeksi, aku bener lakuin itu kok. Tapi soal letak salah aku dimana aja, itu di luar kemampuan aku. Gak semuanya bisa aku tau. Kamu yang tau, jadi boleh tolong kasih tau aku, Sayang?”

Heaven memejamkan mata kemudian menghela nafas.

“Aku gak suka cara kamu diemin aku kaya kemarin. You have this..” katanya sambil menunjuk bibir Farrel, “.. Punya mulut buat apa kalo gak buat ngomong? Kalo kamu diem aja kaya kemarin, gimana aku bisa tau kebenarannya kaya apa? Aku juga manusia biasa kan?”

Farrel menundukkan kepalanya dalam. Ia mengaku salah.

“Maaf,” gumam Farrel pelan.

“Aku belum selesai.”

“Terus sekarang kemana larinya coat cokelatmu? Aku kecewa loh, Gie, waktu aku gak dapet jawaban apa-apa dari kamu. Kok kamu tega diemin aku malem-malem sedangkan kamu tau aku suka banget overthinking malem-malem. Maksud kamu sebenernya apa deh?”

“Itu coat dari aku, Gie. Kalo kamu mau bantu anak didikmu. Sok bantu. Tapi jangan pake punyaku!” tambah Heaven, nadanya meninggi.

“Dengerin aku dulu ya?” pinta Farrel.

“Kemarin waktu aku lagi jajan di kantin FT, aku ketemu sama si Prima itu. Aku mau beli minum, dia lagi antri bakso. Posisinya aku lawan arah sama dia. Tapi karena jarak tempat aku beli minum sama tukang bakso tuh deket, pas antri jadi deketan juga,”

“Pas aku mau maju, gak tau dari mana datengnya ini orang. Ada yang tiba-tiba nyiram minuman warna merah—aku gak tau itu minuman apa, ke arah aku sama Prima. Pas banget posisinya aku nutupin Prima. Jadi aku sama dia sama kenanya. Cuma lebih banyak di aku. Di coat yang dari kamu.” ucapnya sambil mengusap pelan pipi yang lebih muda.

“Gak selesai sampe situ. Aku di situ marah dong? Ya kali dosen disiram, gila kali? Tapi selanjutnya aku serahin semuanya ke kampus. Aku mau urusin urusan aku sendiri dulu,”

“Karena coat aku basah jadi otomatis langsung aku lepas kan. Setelah aku lepas, aku ngobrol bentar sama si Prima, karena dia yang pertama bilang Pak, gak papa? Aduh maaf ya, Pak. Tapi habis itu udah. Dia sama kaos putih kotornya, aku sama coat basahku yang udah aku lepas. Demi Tuhan, habis itu aku langsung pergi. Tanpa tau nama dia siapa, dia anak fakultas mana. Katanya yang dia primadona pun aku gak peduli, Sayang. I'm not even looked at her.” jelas Farrel.

“Sekarang coatnya aku laundry, Sayang. Sumpah gak bohong.” tambahnya.

Heaven mengangguk tanpa menatap Farrel.

“Tetep aja. Masih ada sedikit kecewa karena aku tau itu bukan punya kamu dari Prima, bukan dari mulut kamu langsung. Coba kalo aku gak marah, did you still have the urge to fix it? Aku ragu.”

“Iya, Ven. Aku minta maaf ya?”

“Satu lagi,” ucap Heaven menginterupsi.

“Hapus aja twit kamu yang barusan. Sebelum makin banyak dilihat orang, mending kamu hapus sekarang. Aku mau diakui karena kamu tulus dan kamu sadar, bukan cuma gara-gara kita bertengkar.”

“Aku sadar, Ven.”

“Selesaiin aja backstreetnya. Aku gak mau bikin kesalahan yang sama lagi. Maaf ya aku terkesan ngeraguin kamu sebagai pendamping aku. Maaf aku terkesan egois karena cuma mentingin reputasi aku di kampus, sedangkan kamu tanpa ragu pamerin aku ke seluruh dunia.”

You're amazing after all. How did I supposed to shut up if I have an amazing partner like you?”

“Sini peluk lagi.”

“Maaf ya? I promise this will be the last.

Heaven pun mendekatkan tubuhnya lagi ke arah yang lebih tua. Kembali berhambur pada pelukan yang sama, tapi dengan perasaan yang berbeda.

Lagi-lagi harus dihadapkan dengan hubungan yang kehilangan kuncinya. Berkali-kali dikatakan kalau komunikasi adalah kunci. Tapi komunikasi seketika lenyap ketika pemikiran tak lagi ada pada satu lingkup yang sama. Di sinilah keduanya berada. Luka barunya telah diberi penanganan yang tepat, meski terlambat. Tinggal menunggu waktu saja akan jatuh pada kapan sembuhnya lewat.