Lagi-lagi waktu pulang sekolah.

Sesaat setelah bel pulang sekolah dibunyikan, Lavender dengan cepat mengemasi barangnya dan sebisa mungkin selesai lebih dulu dari pada Kei. Tak ada alasan, hanya ingin saja.

Belum selesai Kei ngobrol dengan Raian, Lavender tiba-tiba sudah berada di sebelah bangkunya, “Ayo.” katanya kemudian.

Kei kemudian menoleh dan memutar bola matanya. Hadaahhh, batinnya. “Rai, gue duluan, ditungguin cecunguk soalnya. Lu hati-hati pulangnya. Byeeeee.” pamit Kei kemudian berjalan dan mendorong punggung kekar Lavender agar berjalan lebih dulu.

Agaknya, semakin kesini, jam pulang sekolah jadi jam rutin Lavender dan Kei berduaan. Hampir satu minggu keduanya menghabiskan waktu bersama setelah sepulang sekolah. Saat berjalan ke gor pun, tak ada satu pasang mata yang tak menaruh perhatian pada dua anak adam yang sedang berjalan beriringan itu. Bahkan mereka heran tentang kenapa dua anak ini bisa semakin dekat? Tapi Lavender terlalu masa bodoh untuk mengetahui hal itu, berbanding terbalik dengan Kei yang sangat mementingkan ucapan orang lain.

Eh, lu jangan terlalu deket dong kalo jalan.” protesnya sambil melirik Lavender tajam.

Lavender terkekeh, “Padahal yang dari tadi dorong-dorong pundak gue siapa? Artinya yang pegang-pegang siapa? Hmm?” balasnya kemudian dibalas decakan oleh Kei. Kei tak mengelak karena memang benar adanya.

“Keith.” panggil Lavender. “Ha?” “Siapa tadi yang lo bilang cecunguk?” tanya Lavender dengan nada sedikit mengerikan. Kei gelagapan. “Em-emang kenapa?” sahutnya tak berani menatap mata Lavender. “Gue yang lo maksud?” tanya Lavender lagi, kini sambil menarik pinggang tubuh Kei agar semakin menempel dengan tubuhnya. “Laven!” protes Kei. “Hmm? Siapa?” tanyanya lagi.

“Lu!” “Lu yang gue maksud cecunguk! Puas?” balas Kei memberanikan diri menatap sekaligus melotot ke arah Lavender. Yang ia sangka akan menakutkan, ternyata Lavender tak menemukan sisi menakutkan itu sama sekali. “Lucu.” malah yang keluar dari bilabial tipisnya.

“Lepasin gak!” pinta Kei sambil berusaha melepaskan lengan Lavender yang masih terlingkar di pinggangnya. “Ini di sekolah, Laven. Lu gak punya malu, ya?” sindirnya. Lavender kemudian menyeringai, “Berarti kalo di luar sekolah, boleh, ya?” godanya. “TAU AH! MALES!” rajuk Kei sekuat tenaga melepaskan lengan kekar di pinggangnya kemudian berjalan mendahului Lavender.


“KEI!!!” “SINI TURUUNNN! IKUT MAIN!!!” teriak Lavender dari bawah. Samar-samar dapat ia lihat, Kei sedang melamun disana. “Kei!” panggilnya lagi. “Nih anak mikirin apaan lagi.” katanya kemudian menyerah dan memilih menghampiri Kei ke atas tribun.

“Hei.” sapa Lavender sambil menepuk pelan pundak Kei. Yang ditepuk pun kaget. “Beneran ngelamun nih anak.” ucap Lavender kemudian menyandarkan setengah tubuhnya pada pembatas tribun. “Mikirin apa? Gue boleh tau?” tanyanya.

“Gue..” ucap Kei satu kata kemudian berhenti dan menatap Lavender sebentar. “Hmm?” sahut Lavender. “Mikirin Dave.” lanjutnya tanpa ragu. Lavender yang awalnya tersenyum, kini senyumnya memudar. Jujur saja, Kei tak suka jika wajah tampan Lavender kehilangan senyum indahnya. Tapi apa boleh buat, semua karena ulahnya, kan? “M-maksud gue, gue mikirin Dave soalnya Dave ngajakin gue ketemuan.” Ucap Kei sambil mencoba mencuri-curi pandang, ingin tahu ekspresi apa yang kini terpampang di wajah Lavender.

Kei menghela nafas setelah mengetahui ternyata Lavender tak lagi menatapnya, Lavender menatap ke sebelah kiri, pura-pura tak memperhatikan padahal telinganya memusatkan perhatian sepenuhnya. “Laven,” panggil Kei. “Iya?” kemudian Laven menoleh. “Dave ngajakin gue ngobrol doang. Gak aneh-aneh kok.” kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Kei. Kalimat yang sulit Kei percayai keluar dari mulutnya begitu saja. Ngapain juga gue ngomong gitu astaga. Goblok, goblok, goblok!!!! batinnya. Kei memejamkan matanya erat sekarang.

Laven kemudian maju hingga berada tepat di depan Kei. Mengusak kepala Kei, menyingkirkan rambut yang menutupi penglihatan Kei, bahkan mengusap lembut pipi gembil Kei. “Lo gak harus bilang semuanya, Kei. Lagian itu hak lo buat nemuin Dave.” katanya membuat Kei yakin dan kembali menatap mata tajam Lavender. “Sorry.” “Ngapain maaf? Asal lo inget satu,” ucap Lavender. “Apa?” tanya Kei.

Laven kemudian menunduk, menumpu berat tubuhnya dengan kedua tangan berada di lututnya. “Coba gue mau lihat wajah cantiknya.” katanya.

Kei semakin memejamkan matanya erat setelah Lavender bertindak seperti itu. Jarak wajahnya dengan Lavender tak sampai 5 senti, bagaimana caranya tenang dan bersikap biasa saja? “Keith.” panggil Lavender karena tak kunjung mendapat respon dari Kei. “I-iya?” “Inget satu. Kabarin gue kalo ada apa-apa, ya? Kalo Dave ngelakuin sesuatu yang di luar batas, telfon gue langsung. Oke?” ucapnya sambil mengusak kepala Kei lagi. Jantung Kei semakin berdetak tak karuan, sensasi menggelitik semakin terasa di sekujur tubuhnya saat Lavender pamerkan senyum indah tepat di depan wajahnya.

“Udah, yuk. Sekarang kita pulang.”

Dave, Dave. Sejujurnya, ada satu hal yang kamu gak tau. Kei lebih dulu kenal Dave dari pada kamu. Kei jelas tahu soal tindakan kaya apa yang bakal Dave lakuin kalo lagi deket dia, Kei juga tahu kalo Dave gak akan macem-macem, bahkan Kei juga tahu betul kalo Dave tahu “batas” yang Kei buat itu gak akan Dave lewati apalagi Dave langgar.