Terbuka dan Terluka.

Setelah mendapat balasan dari Dave. Kei menunggu minumannya selesai dulu baru ia menghampiri Dave. Tak lama setelah namanya dipanggil, Kei langsung memasuki cafe dan mencari smooking area yang dimaksud Dave.

Oh, itu.” gumamnya saat menemukan pintu kaca yang di dalamnya terdapat rerumputan sekaligus kursi yang tertata rapi.

Sesaat setelah Kei menginjakkan kakinya disana, ia langsung menangkap presensi Dave di meja ujung kanan. Dave masih Dave yang biasanya ternyata, batinnya. Masih dengan hoodie biru bermotif telur pecah, celana jogger, kacamata, dan topi yang kini tengah berada di samping rokoknya.

“Udah lama?” ucap sekaligus sapa Kei saat sudah berada di depan kursi yang Dave duduki.

Eh?” “Gak kok, baru 10 menitan. Udah pesen?” tanya Dave kemudian dibalas dengan Kei yang mengangkat gelas minumannya, menunjukkan ia sudah memesan.

Setelah mendudukkan diri dengan perasaan sedikit canggung, Kei mengalihkan pandang dengan melihat sekeliling sambil menyeruput Aren Latte yang tadi ia pesan. “Evacuate banyak berubah kayanya.” katanya.

“Iya. Padahal kita gak kesini baru setahunan, kalo gak salah? Tapi udah banyak yang diupgrade aja.” sahut Dave.

Kei mengangguk kemudian kembali memusatkan pandangan pada presensi di hadapannya. Entah kenapa, Kei rasa malam ini Kei tidak nyaman berhadapan dengan Dave. Kei ingin semuanya cepat selesai, kemudian ia bisa pulang.

So..?” ucapnya lebih dulu memecah atmosfir canggung di antara keduanya. Dave yang sedari tadi tak berhenti menatap Kei pun kini menaruh handphonenya, mengesampingkan segala urusan di dalam handphonenya demi berbicara empat mata dengan yang ada di hadapannya.

“Apa yang mau lu omongin?” tanya Kei tanpa ragu.

Dave menghela nafas, “Gue kangen tau sama kita yang dulu.” ucapnya. Kei kemudian tersenyum simpul, “Emangnya kita dulu gimana? Bukannya sama? Sama-sama temenan kaya sekarang, kan?” sahutnya didampingi nada menyindir. “Bukan itu, Kei, maksud gue.” “Iya, terus gimana, David?” sahut Kei penuh penekanan.

“Kenapa lo ngejauhin gue?” “Kenapa jaga jarak sama gue?” “Kenapa gak pernah ngechat gue lagi sekarang?” “Kalo ada masalah biasanya lo ngomong, kenapa sekarang dipendem sendiri? Gue ada salah apa sama lo?” tanya Dave bertubi-tubi.

Kei menghela nafas panjang. Mungkin ini saatnya ia utarakan semuanya pada Dave. Ia lelah bertengkar dengan pikirannya sendiri. Hatinya berkata tinggal, tapi pikirnya berkata tinggalkan.

“Lu butuh jawabannya?” tanya Kei setelah diam untuk beberapa saat. Dave pun mengangguk. “Ada sesuatu yang serius banget, yang lo sembunyiin dari gue, ya?” celetuk Dave.

“Ada,”

“Kenapa gak bi—”

“Gue suka sama lu. Sayang bahkan sama lu. Gue suka sama lu dari kelas 9. Itu yang pertama. Kedua, gue jaga jarak dan gak ngechat lu lagi karena gue sadar diri, Dave. Gue ini siapa, sih? Ketiga, gue juga gak bisa gini terus, gue sayang sama lu, tapi yang gue dapet setiap hari apa? Gue capek cuma jadi persinggahan lu doang. Gue sakit hati lihat lu menghargai Khaira sebegitunya, tapi lu seakan gak bisa lihat kehadiran gue sebesar lu lihat Khaira. Gue bukannya pengen hubungan lu sama Khaira rusak, tapi apa pernah terbersit di pikiran lu buat nanyain keadaan gue, nanyain tentang perasaan gue, atau bahkan sekedar nanya tentang gimana hari-hari gue? Paling gak sebagai sahabat lah, Dave. Gak pernah, kan?” ucap Kei panjang lebar. Mencurahkan semua hiruk-pikuk dalam pikirannya yang tertahan dan terus menerus dipaksa diam dalam waktu yang lama.

“Kei,”

Yang dipanggil hanya menunduk. Tak punya nyali untuk sekedar mengangkat dagu karena congkaknya tak lagi berada di atas sana. Tak berani menatap dunia yang mungkin akan sepenuhnya hitam karena ia telah dengan nekat menyatakan perasaan pada sahabatnya sendiri.

“Kei, gue juga sayang sama lo. Sayang banget.” ucap Dave membuat Kei secepat mungkin menegakkan badannya. Kepalanya dimiringkan, menuntut kalimat selanjutnya yang akan keluarnya dari mulut lawan bicaranya.

“Sebagai temen..” lanjut Dave membuat Kei kembali membuang muka dan menahan amarahnya dengan kepalan tangan di bawah meja. “..Bukannya lo juga sayang sama gue sebagai temen? Gue kira dari dulu perasaan itu gak bakal bisa berubah?” lanjut Dave lagi tanpa rasa bersalah.

“Gue sayang sama lu sebagai cowok, Dave. Sebagai David Brillantino. Bukan sebagai Dave sohibnya Kei.” sahut Kei sambil mengeratkan kepalan tangannya. “Kenapa lu bodoh banget, sih?” “Kenapa lu gak pernah sadar?” “Aah, gue jadi makin benci sama kenyataan, ternyata gue mencintai sendirian.” tambah Kei sambil menggelengkan kepalanya, sesekali mendongakkan kepala guna mencegah air yang hendak lolos dari pelupuk matanya.

“Kei..” panggil Dave lagi. Ia terlalu bungkam dengan semua yang utarakan.

“Udah cukup, kan?” sela Kei. “Udah lega lu sekarang?” tambahnya.

“Kei, gue—”

“Kak David!” ucapan Dave tersela ketika mendengar suara perempuan memanggil namanya. Fokus Dave kemudian terbagi, Dave kini menatap perempuan mungil yang tengah melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa sadar, ia tersenyum. Di depan Kei. Di depan Kei yang baru saja menyatakan perasaannya.

Kei sempat menoleh sebentar, kemudian sambil membereskan barang bawaannya, “Lu bahkan ngajak Khaira kesini? Tujuan lu ngomong sama gue atau mau pamer kalo lu bisa berduaan, seneng-seneng. Sedangkan gue disini nangis, sesek, berantakan karena perasaannya gak terbalaskan. Gitu?” ucap Kei kemudian berdiri.

“Kei, tunggu!” cegah Dave sambil mencekal lengan Kei. “Kei, biar gue jelasin dulu. Duduk lagi, ya?” pintanya. Sementara Khaira kini berjalan semakin dekat ke arah tempat mereka duduk.

Kei menghempas cekalan Dave di lengannya, “Gak ada capek-capeknya gue bilang. Lu kaya gini karena lu cuma kasih gue SEBISANYA. Sedangkan gue? gue kasih lu SEMAMPUNYA. Apapun gue lakuin buat lu, tapi lu bales kalo lu sempet dan pengen doang. We're done, Dave. Gue pamit.” ucap Kei penuh penekanan pada kata bisa dan mampu. Kemudian ia beranjak dari sana.

Saat Dave hendak mengejar, lengannya ditahan. “Kak,” “Kalian kenapa, sih?” tanya Khaira dengan polosnya.

Dave enggan membalas dan hendak mengejar Kei tapi lagi-lagi ia ditahan. “Kak, udah. Jangan dikejar. Kak Kei mungkin butuh waktu. Ya?” ucap Khaira kemudian mendudukkan Dave kembali sambil menenangkannya.