Gak ada yang baik-baik aja.

Lavender pun dengan cepat melajukan Viona, si vespa hitam kesayangannya. Menyusuri jalanan malam sambil tak henti-hentinya tersenyum. Ia merasa kalau hari ini ada hanya untuknya, ia diizinkan bertemu Kei, dan jika boleh meminta lebih, ia akan memiliki Kei dalam waktu dekat ini.

Rumah Kei tinggal satu belokan lagi. Lavender sempat memelankan laju motornya hanya untuk menetralkan nafasnya. “Kenapa jadi deg-degan gini?” gumamnya sambil memegang bagian dadanya dan terdengar bunyi dug, dug, dug yang temponya lebih cepat dari pada biasanya.

Ah, gak gak. Gue bisa. Gini doang masa deg-degan.” gumamnya lagi sambil meyakinkan diri kemudian melajukan motornya ke arah belokan terakhir. Maka, sampailah Lavender di depan rumah Kei sekarang.

Lavender kini sudah melepas helm, merapikan pakaiannya, dan sesekali memeriksa dirinya dari kaca spion. “Ganteng.” ucapnya kemudian mengambil kantong kresek berisi dua kotak dengan martabak di dalamnya.

Saat hendak membuka pager rumah Kei, seketika gerakannya dihentikan paksa oleh seseorang.

Bugh!

Pukulan yang bisa dibilang cukup keras itu mengenai ujung bibir Lavender. Lavender yang sedari awal tak siap untuk berkelahi pun langsung tersungkur, kresek berisi martabak pun ikut terbuang. Lavender memejamkan mata erat, pasti isinya udah berantakan, batinnya memikirkan martabak itu.

Lavender yang masih sedikit panik pun berusaha membuka matanya, ia ingin melihat siapa yang mencari gara-gara di depan rumah calon pacarnya. “Anjing lo!” ucapnya setelah melihat Dave berdiri di hadapannya, dengan nafas yang menderu-deru. Seakan ingin menghabisi Lavender saat itu juga.

Tak butuh waktu lama, Lavender berdiri secepat mungkin kemudian mencengkram kaos berwarna maroon milik Dave.

Bugh! Bugh!

Lavender balas memukul Dave mengenai ujung bibir juga pelipisnya.

“Apaan sih, Dave?” tanya Lavender penuh amarah sementara tangannya sedang menahan kepalannya agar tak melayang ke arah Dave untuk yang ketiga kali. Dave tersenyum remeh, “Lo yang apaan!” “Emang gue ngapain, anjing?” Bugh! Bukan Dave yang terkena pukulan, tapi justru Lavender. Perutnya diserang oleh Dave dengan lututnya.

“Lo—bugh!—rebut Kei dan—bugh!—ngerusak semuanya!” ucap Dave penuh kemarahan. Kini posisi Lavender berada di bawah Dave karena Dave menduduki perutnya dan melayangkan pukulan bertubi-tubi di rahang dan pipinya.

Bugh!

Bugh!

Bugh!

Uhuk uhuk!” Lavender terbatuk.

Sudah 3 menit lamanya Dave tak berhenti melayangkan pukul ke arah Lavender dan semenjak Lavender mendengar ucapan Dave yang terakhir tentang merebut Kei, Lavender bungkam. Ia memilih diam dan membiarkan Dave memukulinya.

“Gue b-benci ngomong ini. Tapi uhuk! inget, Dave. Uhuk, uhuk! Kita masih satu d-darah. Kalo uhuk! gue mati, lo pasti bakal dibenci sama se-semua orang.” ucap Lavender terbata, mengingat nafasnya sedikit tersendat karena serangan demi serangan yang ia terima.

Dave tertawa seperti orang gila, “Lavender Chantiagio Brillantino.” ucapnya demikian. Ya, memang. Lavender tak pernah mengikutsertakan marga Brillantino di setiap data pribadinya, karena ia rasa itu bukan haknya. Padahal mau atau tak mau, Brillantino juga bagian dari keluarganya.

Papa Dave menikah untuk yang kedua kalinya setelah Dave lahir. Jadilah Lavender yang sekarang. Lavender yang juga bagian dari Brillantino, Lavender yang merupakan adik tiri David Brillantino. Dave merasa rasa sayang yang Papanya berikan tak lagi sama, terbagi-bagi. Makannya, ia benci keadaan keluarganya yang sekarang. Termasuk benci pada Lavender, si adik tiri yang tak akan pernah ia akui.

“Gak pantes Brillantino ada di nama lo. Bajingan.” ucap Dave. “Satu darah, dalam mimpi lo!” tambahnya sambil menyiapkan kepalan tangannya dan hendak melayangkan pukulan pada wajah Dave sekali lagi.

WOI ANJING! BERHENTI GAK!”

“BOCAH GAK TAU DIRI, BERANTEM DEPAN RUMAH GUE! SINI LU BERDUA!”

Lavender, berterimakasihlah pada Morgan. Hidupmu baru saja diselamatkan. Yang baru saja berteriak itu Morgan, Abangnya Kei. Ia muak dengan pertengkaran anak SMA yang ia sendiri tak tahu apa inti masalahnya. Ia muak dengan Dave yang terus memukul, sedangkan Lavender yang terus diam dan memilih pasrah.

Morgan sebetulnya tahu sejak Lavender pertama kali datang ke rumahnya, tapi ia hanya melihat dari jendela kamarnya saja. Awalnya, Morgan hanya ingin memperhatikan gerak-gerik Lavender, memastikan agar ia tidak macam-macam dengan adiknya. Tak lama dari situ, ia cukup kaget dengan kehadiran Dave yang dapat ia lihat sedang berlari tergesa menuju arah rumahnya. Disitulah Morgan tahu, ada yang tak beres di antara Dave, Lavender, dan juga Kei.

“Diem lu berdua disitu!” perintah Morgan sambil berjalan ke arah pagar. Tatapannya nyalang, penuh emosi, dan tak habis pikir dengan perbuatan yang dilakukan dua remaja labil itu.

Dave yang tadinya siap melayangkan pukulan pun otomatis terhenti, kemudian ia bangun dari atas tubuh Lavender. Ia berdiri kemudian menunduk, ia malu. Sedangkan Lavender? Ugh, jangan tanya. Lavender sendiri tak mampu jelaskan keadaannya sekarang. Mungkin wajahnya sudah berantakan, perutnya, lengan, pelipisnya, apalagi ujung bibirnya. Semua rasanya tak karuan bahkan mati rasa. Lavender tak mampu bangkit seorang diri, maka ia putuskan tetap pada posisi terlentangnya.

Setelah membuka pagar rumahnya, Morgan menatap tajam ke arah kedua pemuda itu. “Norak tau gak lu berdua?” ucapnya, nadanya meninggi. “Apa maksudnya berantem depan rumah gue?” “A-anu, Bang,” sahut Dave terbata. “Gue dituduh uhuk! ngerebut uhuk! Kei, Bang.” sela Lavender sambil terbatuk. Morgan yang mendengar itupun semakin ingin meninju keduanya. “Kalo mau deket sama Adek gue, pake cara yang elit. Percuma, berantem. Malah bikin Kei males lihat muka lu berdua.” tukasnya.

“Dave,” panggil Morgan.

“Iya, Bang?” sahutnya antusias. Ia kira ia yang akan mendapat kesempatan.

“Bukannya gue udah bilang buat gak usah nemuin Kei sampe waktu yang gue tentukan? Kenapa masih nekat kesini?” ucap Morgan membuat keantusiasan Dave anjlok. Ekspresinya berubah dalam satu hitungan.

“Bang—”

“Lu juga sadar kaga kalo lu mukulin dia sampe batuk, kaga bisa bangun gitu? Sekarat, itu, anak orang.” sela Morgan sambil menunjuk ke arah Lavender.

“Bang, izinin gue ketemu Kei. Sekali ini aja. Ya, Bang?” bukannya meminta maaf pada Lavender dan merasa bersalah, Dave malah memohon agar diizinkan menemui Kei, membuat Morgan geleng-geleng.

“Gue kaga paham sama lu bertiga. Gue panggilin bocahnya kesini, biar dia yang tentuin nasib lu berdua.” sahut Morgan kemudian menelefon Adik kesayangannya, yang tadi ia tahu sedang tidur-tiduran di karpet ruang tamu.

Apa sih, Abang?” tanya Kei dari seberang telefon.

“Keluar, sini.”

Ih, dingin. Males.“ “Eh, tapi, Laven udah sampe?

Loud speaker handphone Morgan membuat ketiganya mendengar suara Kei dengan jelas. Lavender tersenyum menang saat namanya disebut.

Makannya, sini keluar dulu. Adek lihat sendiri. Ya?” lanjut Morgan dengan nada lembutnya, seperti biasa.

Tut!

Sambungan telefon pun dimatikan.

“Kayanya gue tau hasil akhirnya nih.” ucap Morgan sambil menatap Dave. Sedangkan yang ditatap menunduk, entah sedang menyembunyikan malu atau sedihnya.

Morgan kini memutar badannya menjadi menghadap ke arah pintu rumahnya. Ingin melihat Kei keluar dari sana dan ekspresi apa yang akan terpancar dari wajah Kei setelah melihat ini semua.

“Abang, apa—” ucapnya terjeda setelah melihat kehadiran Lavender di depan pagar rumahnya dengan tidak biasa.

“Laven!” panggilnya kemudian berlari ke arah pagar.

“Abang, kenapa iniiii?” tanya Kei sambil memeriksa wajah Lavender, ia miringkan ke kanan dan kiri. Lavender yang diperhatikan sebegitunya tersenyum meringis. Tersenyum karena salah tingkah, meringis karena kesakitan.

“Coba Adek tengok ke Kanan.” sahut Morgan.

Betapa cepatnya ekspresi khawatir itu berubah menjadi datar saat Kei melihat presensi Dave di sebelah kanannya. “Oh.” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Kei,” panggil Dave sambil hendak meraih tangan Kei. “Gak pake sentuh, bisa kan? To the point.” tukas Kei. “Gue..” “Gue.” “Dave, serius dikit bisa?” sela Kei karena hanya kata gue yang Dave ucapkan. “Yaudah kalo gak bisa, mending lu balik, ya? Udah malem. Abang, tolong anterin Dave, ya? Please?” rayu Kei sambil bergelayutan di lengan Morgan. Meskipun ia kelihatan membenci Dave, tapi jauh di dalam hatinya, ia khawatir dengan keadaan Dave.

“Gue pusing Kei jauh dari lo. Gue pusing gak ada lo. Gue pusing mikirin gimana cara baikan sama lo. Gue pusing banget sampe gue gak tau harus ngapain. Gue pusing sampe Lavender aja gue pukulin, Kei. Kei, kita gak bisa baikan kaya dulu lagi?” akhirnya, akhirnya semua yang Dave tahan keluar begitu saja.

“Kei, paling nggak unblock nomer gue. Please?” tambah Dave sambil beranikan diri menggenggam tangan mungil Kei.

Kei kemudian mengambil handphonenya, membuka aplikasi pesan kemudian menuju roomchat Dave. Ia tekan opsi bertuliskan unblock kemudian mengarahkan handphonenya ke arah Dave. “Lu tekan sendiri unblocknya.” yang terucap dari mulut Kei. Kemudian tanpa ragu Dave tekan opsi unblock dan mengucap terima kasih pada Kei.

“Sekarang lu balik.” pinta Kei tiba-tiba. “Block atau unblock, gak akan ngerubah apa-apa.” tambahnya kemudian membantu Lavender berdiri dengan sekuat tenaganya.

Sambil berjalan meninggalkan Morgan dan Dave, Kei berhenti sebentar, “Abang, tolong anterin, ya? Adek minta tolong banget.” katanya sambil membelakangi keduanya, kemudian lanjut menuntun Lavender menuju dalam rumah.