Laven, Si Pencipta Tawa
“Kenapa sih—hiks—gue harus punya perasaan sama Dave? Udah tau dia lurus kaya penggaris. Hiks, goblok!” gumam Kei merutuki dirinya sendiri. Terus menerus menepuk dahinya dengan cukup keras mengingat kebodohannya.
Kei berjalan tanpa arah, tanpa melihat ke depan, beranikan diri tinggalkan tempat pertemuan. Ia tak peduli akan kemana ia pergi, ia kini hanya percaya pada kemana kakinya memilih untuk melangkah.
Sambil berjalan dan sesekali mengusap sisa-sisa air matanya, Kei kembali disadarkan dengan getaran dari handphonenya. Kei sempat kebingungan sejak kapan Abangnya memakai kosa kata “gue”. Maka, saat Kei tatap kembali lamat-lamat, matanya terbelalak. Sedari tadi ia mengeluh pada orang lain. Pada Lavender yang hampir satu minggu ini selalu mengisi jam pulang sekolahnya. Urat malu seakan mau putus rasanya. Malu sekali.
Setelah berjalan cukup jauh dari tempat pertemuannya dengan Dave, Kei berhenti di Alfamart terdekat. Membeli sekotak susu Ultra rasa cokelat kemudian duduk di kursi yang tersedia disana. Ia menunggu Lavender. Ia menuruti permintaan Lavender. Permintaan Lavender untuk tetap sadar, tetap fokus, dan menyeka air matanya. Setelah Kei pikir lagi, ucapan Lavender memang benar. Ia tak boleh terlarut-larut dalam perasaan sedih, menyesal, dan dendam disaat sedang di jalan seperti ini. Ia harus tetap fokus dengan langkah kaki dan lingkungan sekitarnya.
Sambil menyeruput sisa-sisa susu cokelat terakhirnya, Kei menunduk dan sesekali mengayun-ayunkan kakinya. Tanpa menyadari jika Lavender sebenarnya sudah berada di dekatnya.
“Kaya anak kecil.” yang keluar dari mulut Lavender setelah melihat Kei tanpa turun dari motornya. Karena Kei tak kunjung mendongakkan kepala, Lavender memutuskan menghampiri Kei lebih dulu.
“Hei, anak kecil.” ledek Lavender kemudian duduk di kursi kosong sebelah Kei. “Dih? Udah sampe lu? Siapa yang lu maksud anak kecil?!” protes Kei sambil memajukan bibirnya. “Tuh, marah-marah kaya gitu. Siapa dong yang anak kecil? Masa gue?” goda Lavender sambil ikut memajukan bibirnya.
“Mau beli susu lagi, gak?” tanya Lavender kemudian dibalas gelengan oleh Kei, “Pengen jalan-jalan aja.” balas Kei. “Yaudah ayo jalan-jalan. Viona udah siap tuh.” ucap Lavender yang tentu saja mengundang tanda tanya di benak Kei. Siapa Viona? Namanya asing sekali buat Kei. “Viona?” Alih-alih menjawab, Lavender justru pamerkan senyum manisnya kemudian mengusak kepala Kei pelan. “Itu loh, Viona.” katanya sambil menunjuk vespa hitam kesayangannya. “GILAAAA!” sahut Kei sambil memukul lengan Lavender, kemudian berjalan lebih dulu ke arah “Viona” terparkir.
“Gitu dong, ketawa. Sedih mulu, jelek tau.” ledek Lavender sambil menyamakan langkahnya dengan Kei.
Sambil memasang helm, Lavender melirik Kei dari kaca spion motornya. “Yahh, tapi gue gak bawa helm lagi.” katanya sambil pura-pura sedih. Lagi-lagi Kei dibuat kebingungan, jika Lavender tak membawa helm kemudian yang ada di pelukan Kei sedari tadi apa? “Buta lu punya mata?” protes Kei sambil membalas lirikan Lavender dari kaca spion. “Maksud gue helm buat anak kecil. Itu kan helm orang dewasa.” goda Lavender sambil menjulurkan lidahnya. Dapat ia lihat wajah Kei yang sudah siap untuk murka dan meledak sekarang juga; tapi ditahan. “Nyebelin luu!” tukas Kei sambil memukul bagian belakang helm Lavender.
“Keith,” panggil Lavender. “Iya, Ven?” “Ini gak mau berhenti buat mampir gitu? Cuma jalan-jalan aja?” tanyanya. Mengingat posisi Kei yang sedang menumpukan dagu di pundaknya, membuat Lavender dapat merasakan gelengan dari kepala Kei di belakang sana. “Yaudah, muter-muter aja sampe capek.” “Iya, kalo udah ngantuk baru deh balik. Tapi kalo lu capek, lu bilang, jangan maksain.” sahut Kei.
“Keith,” panggil Lavender lagi.
“Iya, Lavender?”
“Lo sayang banget ya sama Dave?” tanya Lavender gamblang. Tanpa sadar mempertanyakan pertanyaan yang kemungkinan besar tak akan Kei jawab. Bisa-bisanya lo tanya kaya gitu, goblok! Dia tuh lagi sakit hatiiii, batin Lavender.
Saat Lavender mencuri-curi pandang lewat kaca spion, ia dapat melihat Kei sedang tersenyum remeh. “Sayang sebagai temen doang kok.” ucapnya tiba-tiba. “Kalo sama gue, sayang gak?” goda Lavender. Kei yang mendengar itu merasa sedikit tertantang, kemudian ia dengan berani semakin mendekatkan wajahnya ke arah Lavender. Meliriknya sebentar dengan ujung matanya. “Konteksnya sayang yang gimana dulu?” tanya Kei. “Ya.. apa aja?” balasan Lavender membuat Kei tersenyum mirik, “Emang mau disayang sama gue sebagai apa?” tanyanya. “A-apa aja, boleh.” jawab Lavender gagap membuat tawa Kei mengembang.
Setelah beberapa saat terdiam menikmati semilir angin malam, Kei kembali tersadar setelah merasakan handphonenya bergetar terus-menerus. Seperti ada yang menelepon. Kei pun akhirnya memutuskan untuk memeriksa handphonenya. Ia mendapati notifikasi 8 panggilan tak terjawab dari Bro Morgan terpampang di layar kuncinya, jangan lupakan pesan-pesan singkat seperti, “Adek kok belum balik?”, “Dave malah tanya ke Abang”, dan “Emang Adek gak sama Dave? Terus kemana dong?“
“LAVEN!” yang diucapkannya setelah itu. “Kaget, Kei. Pelan-pelan dong.” “Ada apa?” tanya Lavender. “Kita balik sekarang, ya?” pinta Kei dan dapat Lavender lihat tersirat raut panik di wajahnya. “Iya, Cantik. Ini emang jalan balik kok.” “Cepetan dikit bisa gak, Ven?” sahut Kei. “Bisa. Asal lo pegangan.” kemudian tanpa basa-basi Kei melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lavender bahkan menempelkan kepala di punggung lebar itu. Dengan itu, Lavender melajukan Vionanya seaman dan secepat yang ia bisa.