tuanmudalee

TW // mentioning sexual harassment, almost-raped scene, fighting and blood.

🔞🔞

Saat tangan lelaki alpha itu mau menjelajah lebih jauh, memasuki celana Heizel, tepatnya di bagian belakang. Suara tong sampah terdengar berjatuhan. Buuk! Bruuk! Bruuk! “Heizel, sayang, ini Marteen. Kamu dimana???” panggil seseorang itu, nadanya terdengar sangat khawatir.

Setelah mendengar suara kesayangannya, Heizel reflek berteriak, ingin membalas panggilannya. “Kak, heiz disini” katanya.

Alpha di depannya pun menyeringai karena ternyata Heizel sudah selemah itu sekarang, bahkan ia gak bisa menghasilkan suara lagi. Bagaimana Marteen notice kalau suaranya saja sekecil barusan?

You look so desperate, Little Bear” ucap lelaki alpha itu sambil kembali menggerayangi tubuh molek Heizel.

“Berhenti nyentuh omega gue, anjing!” suara penuh amarah terdengar di seberang sana, Marteen menemukan Heizel, bersama seseorang yang entah siapa.

Marteen berjalan dengan langkah lebar, bahunya tegap, dan pandangan matanya lurus tajam seakan hanya ada satu arah jalan di dunia ini.

Lelaki alpha itu masih terdiam disana, mendekap Heizel seperti gak akan ada ancaman, padahal semua sudah di depan mata.

Alpha itu ditarik secara kasar oleh Marteen. Cengkeramannya di kedua tangan Heizel pun terlepas, Heizel langsung terhuyung saking gak kuat menahan bobot tubuhnya lagi. “Sayanngg!” panggil Marteen. Namun Heizel memberi isyarat dua jempol, Heizel menyuruh Marteen menghadapi alpha yang hilang otak itu.

- - -

“Mati lo, bangsat!” ucap Marteen murka sambil terus menendang perut alpha itu. Terus memukulinya tanpa tahu seperti apa keadaan alpha di hadapannya itu.

Uhuk! Uhuk! alpha itu tersungkur dan mengeluarkan batuk darah. Marteen memukulinya terlalu brutal. Alpha satu ini memang gak melawan sama sekali, ia sedang mode defending, karena memang ia salah.

Setelah terbatuk, alpha itu menatap Marteen. Marteen pun mendekatkan dirinya sambil mencengkeram erat krah kemeja alpha itu, he said, “Lu siapa sih, sok misterius!” kemudian Marteen menarik paksa masker dan topi yang dikenakan alpha itu.

What the fuck, Jericho? You tryna rape my boyfriend?” cengkeraman di krah alpha yang diketahui bernama Jericho semakin erat, emosi Marteen semakin terbakar.

Fuck. Are you out of mind?” tambah Marteen. Ia tak habis pikir, saudara tirinya, tinggal satu atap dengannya, anak dari istri baru papanya, berusaha memperkorsa pacarnya, kesayangannya, Heizel.

Even you, you couldn't resist when you near him, right? He's so sexy, look at those long-tan thighs. I wanna bite it so fucking much.” balas Jericho.

How dare you?“ “Lo ngomong kotor,melecehkan pacar gue di depan gue?” “Gue rasa lo beneran udah gila.” kalimat terakhir dari Marteen, ia terlalu bungkam dengan apa yang telah dilakukan oleh Jericho. Sekarang fokusnya hanya pada Heizelnya, ia tersiksa disana.

“Sayang, bisa berdiri?” tanya Marteen dengan nada selembut mungkin.

“Aduh, aduh, kaki aku kayaknya kesleo deh, aduh.”

“Katanya heat tapi sempet-sempetnya kayak gini,” ucap Marteen sambil geleng kepala. Heizel terlalu menggemaskan. “Sini gendong.” tambahnya.

Sebelum benar-benar menjauh dari tempat itu, Marteen berhenti. Dengan posisi menggendong Heizel ala koala, ia memiringkan kepalanya, mencari keberadaan Jericho.

“Hey berengsek,” yang dipanggil menoleh.

“Lo harus bersyukur lo gak gue bikin mati. Gue masih inget nyokap. Ini sekaligus jadi peringatan terakhir buat lo. Kalo lo berani maju lagi, lo liat akibatnya sama nyokap lo.” tukas Marteen telak. Kemudian ia melanjutkan berjalannya, menjauhi tempat itu, dan membawa Heizel pulang.

Kriinnggg!!!

Jam beker Jaehyun berteriak, menandakan hari sudah kembali pagi. Sudah saatnya beraktifitas lagi.

Namun, laki-laki berbadan besar yang satu ini agaknya enggan bangun. Yang dilakukannya malah senyam-senyum, nyawanya masih terbang entah kemana.

Sekarang ia malah memainkan handphonenya, jarinya bergerak menggeser dan berhenti pada satu titik, kemudian menekan titik itu.

Krutuk krutuk krutuk suara keyboardnya, ternyata ia sedang menghubungi seseorang.

Pantas saja masih pagi sudah senyam-senyum, ternyata yang dihubungi yang itu toh?

Waktu menunjukkan pukul 6.15, sudah saatnya ia bersiap-siap berangkat ke sekolah. Hari ini hari Selasa, biasanya para guru banyak yang absen di hari Selasa. Kesempatan bagus!

- - -

Jaehyun mengikuti pembelajaran seperti biasanya. Duduk di bangku kedua dari belakang, satu deret dengan teman-teman panadolnya. Tidur-pun gak akan ketawan. Makan apalagi. Kecuali menyetel lagu di speaker JBL, pasti ketawan.

Tok tok tok

“Misi,”

“Masuk ajaaa,” suara murid XII IPS 2 bersahutan mempersilakan orang itu masuk.

“Gue Taeyong, IPS 2. Bu Damie hari ini izin nemenin anaknya lomba. Gue dikasih amanat buat nyampein tugas ke kalian.” ucap seseorang yang baru saja memasuki ruangan.

“Apaa tuhhhh tugasnyaaa??” lagi-lagi suara murid bersahutan. Siapa yang bisa diam saja kalau nyatanya Taeyong yang ada di depan sana? Jaehyun aja nganga.

“Gue boleh minta nomer ketua kelasnya? Tugasnya bentuk file, gue kirim ke satu orang, nanti sisanya kalian share ke grup ya?”

Seisi kelas tak kunjung memberikan nomer telfon si ketua kelas hingga.. “Kirim filenya ke gue aja.”

Jaehyun mengajukan diri.

“Ok, gue balik ya, thank you.” balas Taeyong sekaligus keluar dari kelas itu.

“Loh? Kok lu gak minta nomer gue sih?” teriak Jaehyun dari dalam kelas.

Taeyong yang mendengar itu hanya memutar sedikit kepalanya, bibirnya bergerak mengejek, “Nyenyenyenye.”

Ranum Jaehyun tertarik ke atas, “Lucu banget,” pekiknya.

“CIE CIE JEJEEE!!” ledek seisi kelas.

- - -

Bel istirahat berbunyi. Sudah menjadi rutinitas Jaehyun Cs untuk nongkrong di bangku paling panjang yang ada di kantin. “Bang, ditempatin tuh,” kata Jeno.

Mark menoel siku Jaehyun, “Diusir aja mau?” tanyanya.

Waktu Mark mau beranjak menghampiri yang sedang duduk di bangku, tangannya ditahan. “Jangan lah. Lu gak liat itu ngobrolnya lagi asik banget? Lu kalo lagi asik ngobrol diusir tiba-tiba juga gak mau kan?” kata Jaehyun.

“Idih bucin ini mah namanya.” sela Johnny sambil mendorong pundak Jaehyun. Iya bucin, yang duduk di bangku itu Taeyong soalnya.

“Disitu bae lah. Enak kok viewnya. BISA SAMBIL LIATIN CALON PACAR NGOBROL RIA.” ajak Yuta.

Gelak tawa langsung bertebaran.

Tak menunggu lama, Rigel langsung melajukan mobilnya. Berpakaian celana pendek dan kaos di tengah derasnya air Tuhan tak jadi masalah, yang penting Jovanka harus segera ia temukan.

Sambil meracau, Rigel terus berusaha menghubungi Jovanka.

Beberapa jalan sudah dilewati tapi belum juga menemukan kehadiran Jovanka. Sampai pada akhirnya, Jovanka membalas pesan Rigel. Rigelpun melaju lebih kencang lagi.

- - -

“Masuk, dingin disitu.” pinta Rigel.

Rigel sudah bertemu dengan Jovanka, perempuan itu sedang berdiri di depan pintu masuk resto yang cukup mewah. Berbekal atap setapak yang melindungi dirinya dari guyuran hujan.

“Mm-makka-si-h ya-a,” ucapnya.

Jovanka menggigil.

“Liat, jadi menggigil kan. Gue gak bawa hoodie gak bawa apa. Terus lo gimana kalo udah kaya gini?”

“Ppu-ulang,” balasnya.

“Pulang dengan keadaan lo menggigil? Gue gak mau tanggung jawab kalo lo mati kedinginan,”

“Gue matiin acnya, kita cari warung. Nanti kita beli wedang jahe.” tambah Rigel.

Nampaknya hujan bisa membaca suasana. Ia berhenti menurunkan airnya sehingga memudahkan Rigel untuk mencari warung sekaligus membantu Jovanka mengusir rasa menggigil yang menyelimuti tubuhnya.

“Minum.” pinta Rigel.

“Rigel, makasih banyak,” ucap Jovanka.

“Habisin dulu wedangnya, baru ngomong sama gue.” balas Rigel sambil kembali menyalakan mobilnya.

“Gue belum mau pulang, Gel.”

“Jovanka,”

Please?

“Lo kedinginan, Jov. Harus ganti baju. Nyokap lo juga khawatir banget, lo tega?”

“Urusan mami bisa gue urus nanti, asal sama lo kayanya gue gak bakal kena marah.”

Fine,”

“Tadi gue jalan sama Xaviere.”

“Hah?” “Gue gak salah denger?” tanya Rigel.

“Dia ninggalin gue gitu aja setelah ngeliatin hpnya. Gak tau apa yang dia liat, yang jelas dia langsung khawatir terus lari abis tu udah deh. Gue ditinggal sendirian.”

“Kok lo mau diajak jalan ama dia?”

“Rigel, lo lupa kalo gue suka sama Xaviere?”

“Mulai sekarang lo berhenti deh.”

“Iya, I'll leave it here kok.”

“Gue gak maksa lo, Jov. Maaf kalo gue ikut campur.”

“Ternyata ini alesannya dia ninggalin gue.” ucap Jovanka sambil menyodorkan hpnya ke arah Rigel.

Sorry, Jov,”

You're not even included on this roomchat, Gel. What's the use of apologizing?

“Maaf gue gak ngasih tau lo,”

“Lo udah kasih warning ke gue dari awal, harusnya gue sadar dari situ. It's not your fault.”

“Kita pulang ya?”

- - -

“Sebelum gue turun,”

“Hm?” — “Apaan Jov?”

Can I ask for hug and a little pet on my head with saying “You doing great and always be like that” ?”

Of course,”

Daksanya ditarik, dingin dan hangat dari dua insan kini melebur dalam satu peluk. Rigel hugs Jovanka, give her the most comforting word.

You doing great, Jovanka. You will always be like this.” ucap Rigel sambil mengusap surai kecoklatan milik perempuan di dekapannya.

“Udah kan? Masuk Jov, jangan sampe masuk angin. Gue balik dulu.”

Careful, Gel. Thank you.”

Ketika Rigel mengetahui dimana keberadaan Jovanka, Rigel tersontak. Tanda kutip, tersontak dalam diam. Makannya ia dengan cepat berkata “gue kesana ya?”, tiga kata itu sebetulnya menjadi latar belakang dari kekhawatiran dan rasa simpati dari dalam diri seorang Yerikho Rigel. Ngapain Jov disana jam segini? Batinnya.

- - -

Tin!

Jovanka sedikit tergerak ketika mendengar klakson mobil dengan jarak dekat merasuki gendang telinganya.

Jendela mobil terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rigel dengan wajahnya yang biasa-biasa saja seperti biasanya. “Masuk,” katanya.

“Gue nunggu taxi.” balas Jovanka.

“Ayo pulang, gue anter.”

“Emang rumah lo searah sama gue?”

“Jangan banyak omong.” sela Rigel sambil membukakan pintu kursi penumpang yang akan Jovanka tempati. Act of service nih love language nya.

Jakarta rimbun, langit gelap namun kendaraan, lampu jalan, dan gedung tinggi masih juga belum terlelap.

Keresahan angin malam menerpa relung Jovanka, resahnya semakin menggeliat, ingin diluapkan.

“Lo beneran metal banget ya orangnya?” gumam Rigel, memecah atmosfir mati di dalam mobil.

“Kenapa?”

“Ya.. Lo ngapain di Nostra semalem ini?”

Fyi, Nostra is a club. Place where people looking for happiness, different level of happiness actually. As we all know, biasanya anak muda pergi ke club buat apa. Something might be just happened.

“Gabut.” balas Jovanka.

“Besok-besok kalo gabut bilang sama gue, gue ajak ke angkringan. Lebih asik.”

“Peduli-peduli banget?” sindir Jovanka.

“Lo tuh cewe, Jovanka,” “Mind to share it with me?” tambah Rigel.

Share what?” “Gel, jangan jadi penganut toxic masculinity. Gue cewe dan gue di club jam segini bukan berarti gue melakukan yang aneh-aneh.”

“Gue gak bilang lo melakukan yang aneh-aneh,” “It's just..

Rigel terhenti.

“Lo khawatir sama gue?” tanya Jovanka.

I am.” jawab Rigel bulat dan memikat.

“Gue mimpi buruk,” ungkap Jovanka.

“Lanjutin aja,” kata Rigel sambil terfokus pada GPS yang menunjukkan arah rumah Jovanka.

It's like something bad will happen. I'm afraid. So I got here. Nostra.”

Is it that bad?” tanya Rigel.

As you can see,” balas Jovanka.

“Besok-besok ngomong sama gue, gue ajak kemanapun. Asal jangan Nostra.”

Should I say thanks or maybe something like perhatian banget???”

“Hahaha better you say thanks.”

- -

“Udah sampe.”

“Makasih banyak, Gel rambut!” sahut Jovanka sambil berusaha meraih rambut Rigel. Sebetulnya tak sampai, tapi Rigel merendahkan posisinya, supaya tergapai oleh Jovanka.

“Jangan lupa cara nulis nama gue yang tadi gue tanya, kirim ASAP. Awas lo!” tambah Jovanka.

“Bawel,”

Kakinya sudah sisa 5 jengkal dari tanah, namun tangannya tertahan dari dalam sana. Rigel mencekalnya.

“Jov,” panggilnya.

“Apaan?”

“Lo cantik hari ini. Jangan takut buat ngelawan dunia. Mimpi buruk wajar kalo muncul, tapi jangan lupa kalo buruknya bakal pergi sendiri nanti, berganti sama yang lebih rapi. Asal lo lawan.” kata Rigel.

Jovanka tersipu, kupu yang memenuhi perutnya sudah berubah jadi gajah rupanya. Berat untuk melepas genggaman tangan Rigel tapi tak tahan juga bila berlama-lama.

Tangannya dilepas, “Sana masuk, gue mau pulang.” pinta Rigel.

Ternyata yang tadi cuma kiasan, sifat aslinya memang begini, tak bisa dirubah.

Ketika Rigel mengetahui dimana keberadaan Jovanka, ia tersontak. Tanda kutip, tersontak dalam diam. Makannya ia dengan cepat berkata “gue kesana ya?”, tiga kata itu sebetulnya menjadi latar belakang dari kekhawatiran dan rasa simpati dari dalam diri seorang Yerikho Rigel. Ngapain Jov disana jam segini? Batinnya.

- - -

Tin!

Jovanka sedikit tergerak ketika mendengar klakson mobil dengan jarak dekat merasuki gendang telinganya.

Jendela mobil terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rigel dengan wajahnya yang biasa-biasa saja seperti biasanya. “Masuk,” katanya.

“Gue nunggu taxi.” balas Jovanka.

“Ayo pulang, gue anter.”

“Emang rumah lo searah sama gue?”

“Jangan banyak omong.” sela Rigel sambil membukakan pintu kursi penumpang yang akan Jovanka tempati. Act of service nih love language nya.

Jakarta rimbun, langit gelap namun kendaraan, lampu jalan, dan gedung tinggi masih juga belum terlelap.

Keresahan angin malam menerpa relung Jovanka, resahnya semakin menggeliat, ingin diluapkan.

“Lo beneran metal banget ya orangnya?” gumam Rigel, memecah atmosfir mati di dalam mobil.

“Kenapa?”

“Ya.. Lo ngapain di Nostra semalem ini?”

Fyi, Nostra is a club. Place where people who are looking for happiness, different level of happiness actually. As we all know, biasanya anak muda pergi ke club buat apa. Something might be just happened.

“Gabut.” balas Jovanka.

“Besok-besok kalo gabut bilang sama gue, gue ajak ke angkringan. Lebih asik.”

“Peduli-peduli banget?” sindir Jovanka.

“Lo tuh cewe, Jovanka,” “Mind to share it with me?” tambah Rigel.

Share what?” “Gel, jangan jadi penganut toxic masculinity. Gue cewe dan gue di club jam segini bukan berarti gue melakukan yang aneh-aneh.”

“Gue gak bilang lo melakukan yang aneh-aneh,” “It's just..

Rigel terhenti.

“Lo khawatir sama gue?” tanya Jovanka.

I am.” jawab Rigel bulat dan memikat.

“Gue mimpi buruk,” ungkap Jovanka.

“Lanjutin aja,” kata Rigel sambil terfokus pada GPS menuju rumah Jovanka.

It's like something bad will happen. I'm afraid. So I got here. Nostra.”

Is it that bad?”

As you can see,” balas Jovanka.

“Besok-besok ngomong sama gue, gue ajak kemanapun. Asal jangan Nostra.”

Should I say thanks or maybe something like perhatian banget???”

“Hahaha better you say thanks.”

- - -

“Udah sampe.”

“Makasih banyak, Gel rambut!” sahut Jovanka sambil berusaha meraih rambut Rigel. Sebetulnya tak sampai, tapi Rigel merendahkan posisinya, supaya tergapai oleh Jovanka.

“Jangan lupa cara nulis nama gue yang tadi gue tanya, kirim ASAP. Awas lo!” tambah Jovanka.

“Bawel,”

Kakinya sudah sisa 5 jengkal dari tanah, namun tangannya tertahan dari dalam sana. Rigel yang menahan.

“Jov,”

“Apaan?”

“Lo cantik hari ini. Jangan takut buat ngelawan dunia. Mimpi buruk wajar kalo muncul, tapi jangan lupa kalo buruknya bakal pergi sendiri nanti, berganti sama yang lebih rapi. Asal lo lawan.” kata Rigel.

Jovanka tersipu, kupu yang memenuhi perutnya sudah berubah jadi gajah rupanya. Berat untuk melepas genggaman tangan Rigel tapi tak tahan juga bila berlama-lama.

Tangannya dilepas, “Sana masuk, gue mau pulang.” pinta Rigel.

Ternyata yang tadi cuma kiasan, sifat aslinya memang begini, tak bisa dirubah.

Ketika pesan terakhir dari Lorenzo berujung gantung, Ella menunggu.

“Loren, kamu langsung berangkat kah?” “Loren, let's meet as if it's our last chance.” “Although it is. Ayo ketemu.” Kalimat-kalimat yang sama terus berputar dan menggentayangi Ella.

Ella memutuskan keluar rumah untuk mencari udara segar. Pikirnya, udara tak akan protes ketika ia bernafas dengan mengeluarkan rasa sakit. Sakitnya membukit tak terbendung. Udara pasti biarkan rasa itu terhembus begitu saja, terbawa pada ruang dan waktu yang berbeda, pergi jauh.

Ketika ia kembali ke rumah, asanya terduduk di badukan depan. Tersenyum pilu, menatapnya lesu memancarkan manik penuh harap.

“Ah, kemeja navy lengan pendek, celana baggy berwarna cream selutut, dan waistbag itu. Apa harus datang dengan style yang membuatku lemah seperti itu?” batin Ella bergemuruh.

“Hi,” sapa Lorenzo.

Ella terdiam, justru ia berniat tak menggubris kehadiran Lorenzo. Hampir saja ia memasuki rumah, Lorenzo menahannya.

“Talk to me first.” pinta Lorenzo.

“I can't.”

“La, aku mau pergi. Didn't you want me to say goodbye first?”

“Aku mau.” balasnya. “And then?” tanya Lorenzo.

“Aku gak bisa, Loren. Seeing your face makes me wanna hold you without letting you go. And that'll be hurting me even more.”

“Aku masuk, ya?” tambah Ella.

Lorenzo pasrah, he let his love go. Atau justru kebalikan? Ella is the one who let her love go?

Ketika Ella sudah setengah berjalan dan Lorenzo sudah setengah siap untuk berangkat. Ella membuka urungan niat, ia berputar arah, berjalan kembali ke halaman depan, berharap Lorennya masih setia disana.

Berharap apa kamu, Ella?

Lorenzo masih disana. He's still there. Sudah setengah badannya masuk ke dalam mobil, hampir memakai sabuk pengaman, namun niat menekan starter mobil terurungkan. Ella memanggilnya.

“Loren,”

Yang dipanggil bereaksi secepat kilat, memutarbalik tubuhnya seraya meminta jawaban. “Ya?”

Beradu tatap seakan tak akan ada pemenang, sangat lama.

“I wanna hug you tight.” pinta Ella. Kemudian Loren dengan sigap membuka sabuk pengamannya, berjalan menuju Ella.

And then they hugged. So tight, I can feel the warmth, mixed with the hurts.

Semakin erat peluk karena tak tau kapan akan bertemu dengan asanya lagi. Saling mengelus punggung, berisyarat “it's okay, it's okay”. Tak ada yang akan baik saja, keduanya berpura-pura kuat tapi malah menjadi bodoh.

” I love you.” bisik Ella, peluknya semakin erat.

Lorenzo terdiam, hanya tersenyum pada punggung kesayangannya.

Kemudian peluk seerat akar menopang pohonnya itu terlepas. “I gotta go, La. Follow me?”

“Enggak, Loren. Aku disini.”

“Fine then. Take a good care of yourself, don't think too much. Semesta merestui kita, La,” katanya.

“Lewat doa.” tambahnya.

Lorenzo kembali memasuki mobilnya, memakai seluruh kelengkapannya, menyalakan mobilnya. Sudah bersiap menginjak pedal gas, Ella berucap lagi, “Love you,” gumamnya lirih sambil tersenyum.

Lorenzo membaca gerak bibirnya dan membalas, “Love you too,” dengan senyum tak kalah manis.

Lorenzo pergi.

And then, they let it go.

They let it go.

Let It Go .

Cahaya temaram, sinar matahari pas berada di atas kepala. Panasnya begitu menyengat membuat yang di bumi meluap sambat. Masalahnya bukan pada matahari saja rupanya, tetapi pada Jovanka seorang. Ternyata yang merasa tersengat bukan hanya pada kulit di tubuhnya, tapi juga emosinya. Akankah ia mampu bertingkah biasa saja ketika Rigel berada di hadapannya?

Sesuai janji, hari ini adalah hari pertama Jovanka memulai kegiatan tutoringnya bersama dengan 'yang katanya songong' itu. Pertemuan mereka di kelas 12 IPS 3 menimbulkan gemuruh dalam diri Jovanka. Jujur dirinya enggan, tapi mengingat kata seorang Rigel tentang usaha orang tuanya dalam mempertahankan prestasi belajar anaknya. Jovanka memantapkan diri untuk menemui 'tutornya'.

Tok tok

“Masuk aja langsung.” sahut Rigel dari dalam kelas.

Ketika kaki Jovanka menapakkan diri pada lantai ruang kelas itu, atmosfir ruangan menjadi tak terdeskripsikan seketika. Tatapan Rigel semengerikan ini ternyata? Salah satu pertanyaan yang timbul di benaknya.

“Salam kenal. Rigel.” sapanya singkat.

“Stop liatin gue kek gitu.” sahut Jovanka.

“Besok-besok tepat waktu ya, waktu gue bukan cuma buat tutorin lo.”

“Gue telat?”

“Pake nanya? The schedule is 11.50 dan sekarang jam 12.05, how do you say that?” balas Rigel.

“Yaudah maaf,”

“Duduk. Kita langsung belajar.”

“Belajar apa?”

Nihon go wo benkyoushimasu (日本ご を べんきょうします).” kata Rigel, yang artinya belajar bahasa Jepang.

“Aduh gue gak ngerti.” rajuk Jovanka.

“Buka paket jepang, kita mulai dari bab 1.”

“Lo bisa hiragana katakana, kan?” tambah Rigel.

Yang ditanya hanya geleng kepala. “Terus tujuan lo masuk Bahasa ini apa?” “Karena gue ngira Bahasa bakal jadi yang paling gampang?” sahut Jovanka. “Ngaco, di Bahasa lo belajar lebih dari 3 Bahasa. Gak ada yang gampang.”

“Hafalin hiragana, huruf 'a' (あ) sampe 'wo' (を). Contoh aja dulu dari buku paket, abis tu nulisnya baru dilatih.”

Setelah diberi perintah seperti itu, Jovanka menurut saja. Seorang gadis dengan kelakukan metal yang biasanya kurang kerjaan, kini menuruti perintah seorang siswa sepantarannya, guru tutornya.

Huruf 'a' (あ) hingga mi (み) telah dilewati. Sampailah pada huruf 'mu' (む), Jovanka terhenti. Menatap Rigel memberi isyarat bahwa dirinya kesusahan menulis huruf yang ini.

“Sampe mana?” tanya Rigel.

“Mu nulisnya gimana?”. Kemudian Rigel mendekat, mendudukkan diri di sebelah Jovanka dan menyamakan eksistensinya dengan posisi Jovanka.

“Mulai dari sini.” katanya, sambil menuntun gores demi gores dari huruf 'mu' (む) yang Jovanka pertanyakan. “Clear kan?” tambah Rigel.

Dentuman bunyi jarum jam terus berdengung memenuhi indera pendengaran dua insan di dalam ruangan itu. Waktu terus berjalan begitu pula proses belajar Jovanka. Setelah bertanya tentang huruf 'mu', Jovanka segera menyelesaikannya seperti yang diperintahkan Rigel.

Huruf 'a' (あ) sampai 'wo' (を) tuntas dalam satu waktu, dengan bantuan Rigel yang terus-terusan mengacak semua huruf saat sesi tebak-tebakan berlangsung.

“Gue udah boleh pulang belum? Capek, Hiragana ruwet.” pinta Jovanka.

“Besok jangan telat.” balas Rigel, singkat, namun terlihat siratan isyarat untuk menyuruh Jovanka pulang. Energinya yang juga sudah terkuras habis membuat ia segera ingin menghamburkan diri pada bantalan empuk di kamarnya.

Ketika Jovanka meninggalkan ruang kelas dan menyisakan Rigel sendirian di kelas, Rigal bergumam, “Padahal aslinya mah bisa, dasarnya dia aja males.”

hi

Haksa dan Naya sudah dekat dengan rumah sekarang, rumah Haksa maksudnya. Sedari tadi Naya terus merengek supaya ia jangan langsung diantarkan ke rumah melainkan ke rumah Haksa dulu saja, akhirnya Haksapun menuruti kemauan sang 'kekasih'.

Sesampainya di rumah, Naya membantu Haksa membukakan pagar kemudian Haksa memarkirkan mobilnya di teras rumah.

Kedatangan mereka disambut hangat oleh sang Bunda, Rahayu. Namun rupanya Haksa tidak tahu, Haksa masih terus menundukkan kepala, enggan menatap sang Bunda, masih takut kejadian yang sama akan terulang kembali. Poor Haksa.

“Aaaa mantu Ibun udah sampe, ayo masukkkk.” sapa sang Bunda yang otomatis membuat Haksa menegakkan kepala, mantu siapa?, yap, ternyata sang Bunda sedang berbicara dengan kesayangannya, Naya.

“Ini apa? Cuma Aa aja ya yang gak tau?”

“Makannya masuk dulu.” balas sang Bunda sambil menggandeng tangan Naya, mengajak 'calon mantu' nya masuk dengan sedikit terburu-buru.

1000 tanda tanya yang ada di benak Haksa, begitu memasuki rumah ternyata ada partisipan lain disana, “Lah kok ada Rey? Ngapain pada disini dah?” tanyanya.

“Tuh, bawain itu,” balas Rey sambil melirik benda yang ada di meja, that's the engagement ring.

“Nay, ceritain ini ada apa..” pinta Haksa.

“Jadi gini loh, Sa. Tadi waktu aku ke toilet—....” “Gitu, paham belum?”

“Jadi? Ini serius gak sih?”

“A', Ibun mau peluk sebentar.” sela sang Bunda.

“Maafin Ibun ya. Ibun harus berterimakasih yang banyak sama Naya karena Naya yang menyadarkan Ibun kalo kebahagiaan Aa cuma bisa ditentukan sama Aa sendiri. Maaf ya Ibun misahin kalian terus-terusan, maaf juga Ibun malah maksa Aa buat tunangan sama Zenitha. Maafin Ibun ya.” ucap sang Bunda sambil mengusap punggung anak lanang satu-satunya itu.

Punggung sekuat baja yang selalu jadi pelindung Bunda dan Adiknya, punggung yang rela membendung kesakitan dunia, punggung yang tak pernah menjadi lemah sekalipun hati dan tubuhnya lengah. Haksa itu laki-laki, anak dari Bunda, dan Kakak untuk Adik yang hebat.

“Bun, makasih,” lirih Haksa, teramat lirih.

“A', bahagianya Aa udah di depan mata. Janji sama Ibun harus bahagia terus ya? Saling menjaga satu sama lain, jangan lupa selalu berkomunikasi juga. That's the most important point when you do have a relationship. Jangan renggang dan jangan lengah ya, A'?” balas sang Bunda sambil melepas peluk dan menuntun tangan Haksa untuk disatukan dengan tangan kesayangannya, Naya.

(Dangdut bat elahh)

“Tante Rahayu, makasih banyak..” ucap Naya.

No need to say that, cantik. Bahagia selalu ya? Jangan lupa cincinnya dipake!” balas sang Bunda sambil mengedipkan sebelah matanya, kemudian pergi meninggalkan keduanya.

“Gue pulang dulu ya, jangan lupa terimakasih sama cewe gue alias Zizi.” sela Rey.

“Bisaan lo pentil patrick, Ade gue juga itu, berani-beraninya,”

“Oke sama-sama,” kemudian Rey keluar dari rumah itu meninggalkan dua sejoli yang sekarang sedang beradu tatap di tengah ruangan.

“Mainnya rahasia-rahasiaan ya kamu sekarang?” tanya Haksa memecah keheningan.

“Hehehe peace, kan biar surprise,”

Love you, jangan kemana-mana lagi.” pinta Haksa mutlak, sambil memasangkan cincin pemberian sang Bunda ke jari manis Naya. “Looks beautiful on you, jangan dilepasssss.” pintanya sekali lagi.

“Peluukkkkk donggg,” sekarang giliran Naya yang meminta.


Pemirsa, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Percaya pada takdir bukan sebuah kemustahilan. Tentang hal perasaan, hanya diri kita yang bisa mengendalikan, hanya diri kita yang bisa menciptakan. Bahagia tumbuh dan semerbak ketika penikmatnya mampu mengatur skenario dengan sempurna.

Jangan dendam ketika daksa yang kita damba tak mampu tergenggam. Jangan letih ketika rasa yang biasanya kita selami tak mampu kita gapai lagi.

Mari merubah hal mencintai menjadi sebuah elegi, bukan elegi yang berduri dan mati tapi elegi yang tertaut dan senadi, elegi yang berkesan urgensi. Elegi yang membuat rasa biasa saja jadi sebuah selaksa.

Cerita dengan segala kesakitan dan kebahagiaan ini sudah memijakkan diri pada sebuah arti bernama akhir. Terimakasih sudah menemani tuan dan puan pemilik cerita yang kisahnya penuh lika dan liku ini, terimakasih sudah setia menunggu walau yang menulis hobi memenjara waktu.

— Antariksa, End. Written by Ve.

Setelah meninggalkan Haksa dengan alasan ke toilet, akhirnya Naya menemukan tempat yang cukup sepi dan nyaman untuk memijakkan kaki.

Naya bukan ke toilet, tentu saja. Naya kan mau menelefon bundanya Haksa alias Tante Rahayu. Sejujurnya ia masih tak mengetahui darimana Tante Rahayu mendapat nomornya tapi yasudahlah bisa dipikirkan nanti. Sekarang, apa yang harus ia ucapkan sebagai kalimat pembuka sewaktu telefon dengan bunda dari 'kesayangannya' itu?

“Ah tatak weh lah,” akhirnya dengan nekat Naya langsung menekan ikon telefon.

“Halo?”

“Siang Tante, ini Naya..”

“Kamu rupanya. Cepat bawa pulang anak saya, Naya. Jangan jadi perempuan bandel.”

“Tante, bisa kasih saya ruang untuk berbicara sebentar?”

“Saya gak menerima alasan klasik ya.”

“Sebelum itu, kalo boleh tau, Tante dapet nomer saya darimana?”

“Saya mau to the point aja, Naya.”

“Ah iya,” “Saya dan Haksa lagi di Cimory tante sekarang, di pun—”

“Yaampun, kamu bawa anak saya sampe kesana? Kamu ini perempuan macam apa?”

“Tante, saya belum selesai ngomong,” “Sebetulnya hari ini saya mau ke Surabaya ditemani Zizi, adeknya Haksa, tapi sewaktu saya sudah siap yang menjemput saya malah Haksa sendiri. Saya sudah ajak Haksa pulang, Tante. Saya sudah bujuk untuk jangan meneruskan perjalanan. Maaf kalo saya seakan-akan mau membawa kabur Haksa, tapi sumpah saya gak ada maksud gitu, Tante.”

“Mana mungkin kamu gak ada maksud gitu, buktinya aja kayak gini sekarang?”

“Tante gak bisa menyalahkan saya karena saya juga sama gak taunya seperti Tante, ini semua di luar kehendak saya.”

“Memang dasarnya kamu anak naka—”

“Maaf saya memotong pembicaraan Tante. Te, okay lah kalo memang Tante anggep saya nakal, perempuan gak bener, ini lah itu lah. Tapi jangan Tante marah kalo keadaan udah berbalik kayak gini, Haksa gak betah di rumah itu semua karena Tante sendiri. Haksa gak menuruti perintah Tante itu karena Tante sendiri,”

“Te, Haksa itu cuma manusia biasa. Haksa juga punya perasaan, yang kadang bisa kuat dan kadang bisa lemah dan perasaan Haksa gak bisa dicontrol sama siapapun termasuk saya dan Tante. Kalo aja Tante coba ngertiin apa keinginan Haksa, saya tanya, apa mungkin Haksa sampe kabur-kaburan kayak gini?”

“Te, saya juga gak mau ngerusak kepribadian seseorang. Saya cinta sama Haksa dan gak mungkin saya bawa kabur dia cuma gara-gara hal perasaan. Semuanya kemauan Haksa, Te. Haksa cuma berusaha cari ketenangan yang dia gak bisa dapet di rumah dan mungkin ini satu-satunya cara. Apa Tante gak pernah mikir sampe kesana?”

“Te, Haksa gak cinta sama Zenitha dan Haksa gak mau dipaksa. Intinya cuma itu, Haksa sudah berusaha menyampaikan ke Tante sesopan mungkin tapi dia gak dapet feedback sama sekali dari Tante, yang ada Tante malah mojokkin dia dengan persetujuan-persetujuan pertunangan yang bahkan di luar kemauan dan keputusan dia. Tante salah disitu, Te.”

“Kalo Tante mau Haksa bahagia caranya bukan kayak gini. Biarin Haksa cari kebahagiaan yang menurut dia cocok buat dirinya. Hal bahagia sama perasaan sama-sama gak bisa dipaksa, Tante. Kalopun Tante sudah melepaskan dan mengizinkan Haksa untuk cari kebahagiaannya sendiri tapi di sisi lain Tante gak mengizinkan saya yang menemani Haksa, gak masalah kok. Saya bisa pergi asal Tante izinkan Haksa. Jangan egois, Tante. Yang butuh bahagia gak hanya Tante tapi anak-anak Tante juga.”

“Sudah ya, Tante. Kasihan Haksa kalo saya ngomong lebih panjang lagi, dia udah nungguin. Siang Tante, terimakasih, semoga harinya luar biasa.”

Tut, sambungan terputus.

TBC EAAAAA