tuanmudalee

This gonna be a long long narration, hope you enjoy ya..

Haksa dan Naya sedang dalam perjalanan menuju puncak sekarang. Hening yang menyelimuti situasi, sesekali terputar lagu-lagu indie. Playlist Naya mengalami perubahan dan seseorang di sebelahnya nampaknya peka akan hal itu.

Kebetulan, hp Haksa sedang dicharge dengan posisi layar menghadap ke depan yang dimana notifikasi dapat terbaca dengan mudah. Saat hendak mengganti lagu, Naya tak sengaja membaca pesan yang mengambang di lockscreen hp Haksa, dari sang bunda rupanya.

“Sa, Tante Ayu ada imess kamu tuh,” ucapnya.

“Biarin,”

“Kok biarin? Minggir dulu aja yuk, bales dulu,”

“Males, Nay,”

“Sa...”

Fine, okay okay aku bales.”

“Maaf,” sela Naya di tengah suara rutukan keyboard Haksa saat membalas pesan dari sang bunda.

“Bentar, Sayang, aku selesaiin ini dulu.” jawabnya sambil masih fokus mengetik.

Oh nooo, jangan Haksa, Naya jangan dipanggil sayang. Lihat deh mukanya udah berubah jadi lobster rebus sekarang. Haksa salah ngomong ya? Ayo sadar, Sa, keburu Naya mateng duluan.

“H-hah? Oh iya,” balas Naya terbata.

“Udah. Gimana-gimana?”

“Maaffff,”

“Maaf kenapa?”

“Aku salah lagi ya?” “Maaf ya. Kita bisa pulang aja kok sebelum makin jauh.”

Namun sebelum Naya selesai bicara, Haksa justru kembali melajukan mobilnya, bergerak lebih jauh tanpa menghiraukan pinta dari perempuan mungil di sampingnya.

“Sa, kok tetep jalan sih?”

We're gonna talk about this later, Nay. Okay? Now lemme drive safe first. Bobo aja dulu kalo ngantuk, kalo mau nyemil itu di jok belakang ada banyak jajan sama susu ultra cokelat.” ucapnya sambil mengusak ringan pucuk kepala Naya.

“Aku bukan bocah sd, gak minum ultra.”

“Heleh, masaaaa. Aku beli 6 cuma buat kamu, mau dibuang aja?”

“JANGANNNN!”


Setelah sampai di lokasi, Haksa dan Naya langsung menyusuri tempat itu. Di satu sisi, Naya menengok ke kanan dan kiri, sedang mengagumi suasana di lokasi. Di sisi lain, Haksa mencari tempat yang cocok untuk dipakai duduk, bersandar, berteduh, sekaligus berbincang dengan tenang.

“Nay, sini,” pinta Haksa setelah menemukan spot yang nyaman; di bawah pepohonan, di pinggiran jembatan.

“Ih adem, Sa, disini. Enak deh,” “Ini kamu mau berdiri aja?” “Aku duduk deh,” “Eh gak jadi, gak enak,” “Ini kok bisa ada ininya ya, Sa?” “Ih kok diem aja??? Ngapain liatin aku kayak gitu?”

“Udah belum?”

“Ya aku nungguin kamu. Kamu nyuruh sini sini tapi kamunya diem aja,” masih sambil celingukan, namun akhirnya Naya fokus pada satu arah.

Haksa menggenggam tangan Naya dan berucap, “Hey, look at me.”

Naya memiringkan kepalanya, mengisyaratkan “Apa?” pada Haksa.

You know that I love you, right?“, dibalas anggukan. “You know that you mean so much to me?“, anggukan lagi.

“Hari ini aku kabur dari rumah, harusnya hari ini Ibun minta aku cari engagement ring buat pertunangan aku sama si itu,”

“Tuh kan, yuk pula—”

“Aku belum selesai ngomong, Naya.”

“Maaf,”

“Aku terimakasih banget sama Zizi karena dia ngasih tau ke aku kalo kamu bakal ke Surabaya hari ini. Jangan marah ya sama Zizi?”

“Dia sebenernya gak enak sama kamu karena dia malah bongkar privacy kamu ke aku yang posisinya kita udah gak ada apa-apa dan aku gak seharusnya disini sama kamu sekarang,”

“Nay, kamu harus tau, sejujurnya semesta itu mendukung. Cuma orang-orang yang gak paham apa arti bahagia aja yang terus-terusan mengukung. I believed in destiny, Nay, makannya I'll never give up on you, on us. Maaf kalo aku selalu bikin kamu sakit hati, maaf kalo aku selalu membuat luka baru meskipun sebenernya aku juga jadi penyembuh luka lama kamu, maaf juga karena gak pernah bisa jagain kamu dari perlakuan-perlakuan Ibun.”

“Nay, 3x ya kita berusaha dipisahin sama Ibun? Tapi aku cuma mampu bertahan 2x,”

I know, Sa. That's why it'll be better if there's no US again. It'll be better if we're end up.”

“Belum selesai ngomong, Sayang,”

“Panjang banget buset dah?”

“Nay, lagi serius,”

“Iya maaf-maaf,”

“Aku cuma mampu bertahan 2x karena sisanya aku pake buat perjuangin kita. Aku milih buat terus pegang tangan kamu, aku milih buat terus tatap nayanika di depan aku, dan aku milih buat percaya sama perasaan aku.”

Hening... “Udah?” tanya Naya.

Will you just stay with me, Nay?”

I will, Sa,” “Tapi aku terlalu takut buat nerima semuanya lagi. Aku takut yang udah aku lupain malah berusaha menyusup dan balik lagi. Aku lemah, Sa,” “Sa, yang kemarin itu aku anggep sebagai kesakitan yang paling sakit setelah kehilangan Papa. Aku takut kalo harus balik lagi, Sa.” ucapnya.

Setelah Naya mengutarakan itu, Haksa dengan cepat merengkuh tubuh yang sudah setengah rapuh itu. Mendekapnya tanpa dibatasi jarak barang satu jengkal saja. Dengan sekuat tenaga menyalurkan rasa tenang dan seakan-akan menyapu bersih kesedihan yang menyelaksa di dalam perempuannya.

“Kamu tau gak rasanya dipaksa keluar setelah ketemu tempat berteduh dan bersandar yang setelah beberapa tahun menghilang? Padahal itu satu-satunya penopang kamu biar kamu bisa terus jalanin hidup kamu?” tambah Naya.

“Kamu sehancur itu?”

“Aku gak tau betul rasanya gimana, Sa. Cuma hampa yang kerasa.”

“Aku bisa isi kehampaan kamu,”

“Iya kamu bisa, Sa, memang. Tapi lingkungan dan semesta kamu menolak.”

“Aku gak peduli, mereka bisa nolak berarti aku juga bisa berontak.”

“Sa, jangan jadi anak durhaka cuma gara-gara kamu perjuangin aku. I am nobody, I don't deserves you.”

You're the most precious somebody I've ever met.”

“Gimana caranya kita balik?” tanya Naya.

“Aku juga gak tau. Yang aku bisa cuma nunjukkin ke Ibun kalo kamu pantes buat aku.”

That's not enough, Sa. Far from enough.”

“Nanti, Nay. Semua bakal ada masanya.”

TBC LAGI GENK HAHAHA MMF YA UDAH MAU END SOALNYA

“Jangan ke Ancol deh. Cimory aja mau?” tanya Haksa.

“Cimory tuh yang kek apa? Aku lupa.”

“Ini loh yang ini,” ucap Haksa sambil menunjukkan tampilan hpnya yang sudah terpampang foto lokasi Cimory.

“Bolehh, ayo! Puncak ya itu?”

“Hooh,”

“Aku telfon Zizi ya?”

“Telfon aja, sini sambungin ke bluetooth, aku pengen ngomong ama dia juga.”

Tut.. tut... Suara yang terdengar dari radio mobil, bluetooth dari hp Naya sudah terhubung dengan bluetooth mobil Haksa.

“Halo?”

“Hal—” Belum selesai bicara, Zizi sudah lebih dulu menyela Naya.

“Nay, maafin gue ya. Gue tuh sebenernya gak ini, anu, maaf deh ya pokonya mah,” ucapnya dari seberang sana.

“Lo tega-teganya boongin gue ya, Zizia.”

“Rencananya Aa ini mah,”

“Ngaco, orang lo yang chat gue, nyuruh gue nemenin Naya. Boong dia, Nay, jangan percaya.”

“Tapi lo mau kan? Seneng kan lo bisa beduaan sekarang?”

“Gue yang mau ngomong malah gue yang dikacangin ini gimana dah?” sela Naya.

“Oh ya maaf tuan putri, silakan berbicara.” jawab Zizi.

“Gue gak jadi ke Surabaya.”

“Lah napeee?”

“Mau quality time ama gue.” sahut Haksa.

“Kutil badak diem dulu,”

“Gak jadi aja pokonya, males ada Haksa soalnya,”

“Mampus Aa, kehadiran lo gak diinginkan,”

Setelah berkata demikian, Haksa reflek menoleh ke arah Naya dan memasang tatapan memelas, Kok gitu, Nay? kira-kira seperti itu.

“Apa?” tanya Naya sambil menatap wajah melas Haksa.

“Beneran?” tanya Haksa.

“Ya iya. Repot kalo bener jadi pergi mah, takut kamu keberatan apalagi ini kan dadakan,”

“Mulai dah. Bucin section mode on, gue matiin aja ya?” tanya Zizi dari seberang telfon, eksistensinya mulai tersisihkan karena Haksa dan Naya mulai sibuk dengan percakapan berdua.

BYE ZIZI, I HATE YOUUU!!” ucap Naya.

“Sama-sama beb, take your time, ya,” “Aa pungut, hei. Lo kalo bikin temen gue sedih lagi liat aja, pulang-pulang lo pasti pake tongkat.”

“Ampun bu, makasih ya de, love you,”

Tut. menandakan panggilan telfon terputus, sekarang hanya suara mereka berdua saja yang memenuhi atmosfir di dalam mobil.

“Aku gak ngerasa direpotin dan keberatan, Nay,”

“Aku yang ngerasa gitu, Sa. Jangan dibahas lagi deh, kan kita tetep jadi jalan juga akhirnya,”

“Setel lagu gih,” pinta Haksa.

“Okeeeeyy,”

TBC LAGI BOZ

i

Previous part : “Iya ayo berangkat.” balas seseorang di sampingnya. Naya reflek menoleh karena suara yang terdengar tidak sesuai dugaannya. “LOH KOK?”


Setelah mendapati bahwa yang duduk di sampingnya sedari tadi bukanlah Zizi, Naya kaget. Dengan terus-menerus mempertanyakan bagaimana bisa?

“Aku salah mobil?” tanyanya memecah keheningan yang sedari tadi betah berada di antara keduanya.

“Enggak.” jawab seseorang itu.

“Terus?” tanya Naya lagi.

Let's talk about this, Nay. Aku beli tiket dulu ya?”

“Beli tiket kemana, Haksa?”

Yap. Terimakasih kalian sudah menebak dengan benar. Orang di sampingnya ialah Haksa, bukan Zizi. Soal bagaimana kronologinya mari kita bahas nanti—kembali ke laptop.

“Katanya mau ditemenin ke Surabaya?”

“Aku mintanya ditemenin sama Zizi?”

“Kamu salah minta sama dia. Kamu lupa dia cepu?”

Oh shit, batin Naya, iya juga.

“Jadi? Ke Surabayanya jadi nggak?”

Take me wherever you want to aja, Sa.”

“Bilang Sayang, ayo jalan, gitu. Baru aku gas.”

“Buset? Aku turun aja kali ya?”

“Bercandaaa, dah ay—”

“Sayang, ayo jalan.” sela Naya.

Haksapun cosplay menjadi lobster rebus sekarang. Dia yang minta, dia yang salah tingkah. Naya menemukan sisi Haksa yang terlihat semakin innocent sekarang.


“Nay, kemana aja boleh?”

“Iya, Sa.”

“Ancol?”

“Hayuuu!” “Tapi sebenernya aku pengen yang rada jauh-jauh sih,” tambah Naya.

“Aku juga, bosen disini-sini mulu. Pengen ke gunung tapi persiapan kita gak cukup dan aku gak berani bawa kamu nanti kenapa-napa.”

“Aku dibawa kamu kira aku tas ransel.”

“Lebih kecil dari itu malah,”

“YEEE BAHLUL!”

“Kita ini putus atau enggak sih?” tanya Naya.

“Udah berkali-kali aku bilang, aku gak pernah mau putus sama kamu.” Bohong, Haksa bohong. Sebelum Naya mengirim pesan berisi Let's end all of this, sebetulnya Haksa sudah akan lebih dulu mengiriminya yang sama. Ingat kan?

“Ngomong.”

“Emang aku lagi ngomong, kalo mencintai kamu mah disimpen dalem hati aja.”

“Tai kuda lalalalala.”

TBC GENK.

i

Coba yang belum baca narasi part 276, baca duluu. Ini ada penggalan kalimat terakhir dari narasi part 276, isinya bakal nyambung sama narasi ini.🥰

Haksa dipenuhi kegelisahan semenjak mengetahui bahwa ternyata sang bunda membawa tamu lain untuk makan bersama.

Haksa sangat menyayangkan mengapa sang bunda terus-terusan menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah ia berikan? Orang itu satu-satunya penyebab Haksa tak bisa menjemput kesayangannya, Naya, padahal sudah sepakat berangkat bersama. Haksa membenci semua orang, katanya.

Tanpa aba dan tanda, sang bunda memperkenalkan orang itu pada Haksa. Dengan mudahnya mengatakan bahwa mereka akan bertunangan dan menyuruhnya untuk melakukan pendekatan sesegera mungkin. Apa-apaan? tentu saja itu yang ada di benak Haksa. Perjodohan dengan embel-embel makan bersama? Bagaimana perasaan Naya nanti? Haksa sungguh tak bisa menyakiti Naya lebih dari ini.

Alasan Haksa mengajak Naya untuk kabur saja adalah itu. Haksa mau menjaga perasaan Naya semampu yang ia bisa. Naya terlalu banyak menopang beban dunia, Haksa ingin untuk jangan lagi.


Part 276 : You right, Nay. Sekarang kita berdua, tapi setelah masuk kita gak tau bakal jadi sepecah apalagi hubungan kita., batin Haksa sambil berjalan pasrah mengikuti Naya.

Flashback ON!

Setelah memasuki rumah Haksa, Naya melihat senyum merekah menyambutnya, teman-teman Haksa berjejeran, hingga matanya sampai pada tujuan akhir yaitu Bunda Haksa sendiri. “Pagi tante..” sapanya sambil menganggukkan kepala.

Yang disapa hanya membalas dengan senyuman, ya bisa dibilang senyum kecut. Tak lama dari itu, Naya mulai asik menimbrung obrolan Haksa dan teman-temannya yang lain. Tentu disana ada Zavi, Azka, dan kawan-kawan. Hingga akhirnya sekeliling ruangan dipenuhi rasa kebingungan, Bunda Haksa memanggil seseorang. Ternyata yang dipanggil ada di dapur sedari tadi.

“Ta, tolong bawain sisanya ke meja ya sayang, bantuin tante nata.” pinta sang bunda.

Ta? batin Naya. Sudah mulai terbersit pikiran-pikiran buruk namun dengan legowo ia menyingkirkan semua itu.

“Ta siapa, bang?” akhirnya ada yang bertanya, itu Venus.

“Tau dah, ntar lo pada liat sendiri aja.” balas Haksa tanpa ekspresi, seakan sudah terlampau malas.

“Jangan lemes-lemes gitu aca ih.” sahut Naya.

“Tuh, jingin limis-limis giti ici ih, turutin dong.” sela Azka dengan nada mengejek.

Kemudian seseorang yang eksistensinya membuat orang-orang bingung akhirnya muncul.

“Weh udah pada kumpul? Rame banget ternyata,” “Naya juga dateng? Haii!” katanya.

“Elo?” balas Naya keheranan.

“Loh cantik kenal sama dia?” tanya Bunda Haksa kemudian yang ditanya angguk-angguk.

“Kenalin ya A' Azka, A' Zavi, A' Venus, A' Rey, A' Kaje, ini Zenitha, calon tunangannya Haksa.” ucap Bunda Haksa lagi.

“Bun, elah, udah dong?” sela Haksa.

“Kan katanya Aa udah sepakat?” balas sang bunda sambil sesekali mencuri pandang pada Naya.

Zavi dkk kebingungan dong? Kelimanya menatap Haksa, menuntut penjelasan kurang lebih seperti ini “Maksud? Ada Naya loh disini?”

Yang dituntut penjelasannya hanya diam saja, pasrah.

“Kok malah diem-dieman, yuk makan yuk.” sela Zenitha.

Makan bersama berjalan dengan semestinya, lancar namun berliku. Tergambar kan seperti apa kira-kira keadaannya? Hingga akhirnya semua sudah selesai dengan makanannya masing-masing. Zenitha kembali membantu Bunda Haksa untuk membersihkan meja bahkan mencuci piring.

Di sisi lain, Naya reflek berdiri dari kursinya dan mulai memungut piring-piring bekas makanan yang dipakai oleh teman-teman Haksa. Namun terhenti ketika maniknya terkunci dengan tatapan Zenitha, “Berdua ya beres-beresnya?” tanya Naya.

Namun Bunda Haksa menyela, “Gak usah, Naya. Biar tante sama Zenitha aja yang beres-beres. Zenitha sudah biasa bantu mamanya juga. Orang kaya mah mana bisa?” katanya.

“Ibun...” panggil Haksa dengan mata tertutup, ia sedang menahan amarahnya.

(sumpah sedih banget yang ini)

Akhirnya dengan tatapan nanar, Naya kembali duduk dan menyatukan piring-piring itu untuk diberikan pada Zenitha. Ia tidak percaya perasaannya kembali disigar oleh kesakitan lagi kali ini. Pasti ia sesak sekarang, ingin sekali segera pulang.

Selang beberapa waktu, mereka memutuskan untuk sekedar bermain uno, bernyanyi bersama, dan bersendagurau.

Hingga pada akhirnya, “Nay, apa kabar?” tanya Zenitha, membuat situasi di sekelilingnya meredup.

Great, Zenitha. Thanks, hbu?”

“Zenitha?” tanyanya.

“Nama lo kan?”

“Oh iya, me too btw,”

“Naya, gak balik nak? Udah mau malem nih,” tanya Bunda Haksa dari kejauhan.

“Oh iya tante sebentar lagi,” balas Naya.

“Ayo pulang, Nay, aku anter.” sahut Haksa. Haksa sudah berdiri dan akan mengambil jaket dan kunci mobilnya namun lagi-lagi ia dibuat murka.

“A' mau kemana? Kan ada Zenitha, Naya kan bisa pulang sendiri.” ucap sang bunda.

“Bun, jangan bikin Aa marah?”

“Aa,”

“Aduh ok ok, Aa diem di rumah. Terserah Ibun,” Ia kembali duduk dan melempar tatapan sedihnya ke arah Naya, ia membuat Nayanya dijatuhkan berkali-kali hari ini. Sayang, maaf,.

“Aku bisa pulang sendiri kok, Ca. Aku pamit ya kalo gitu.”

“Gue anter.” sela Azka, lagi-lagi Azka.

“Gak usah, Zka. Aman gue.”

“Searah kok, tenang.” katanya.

Akhirnya semua pun ikut berpamitan pada sang tuan rumah, hari mulai gelap dan teman-teman Haksa akan menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk kembali ke Bandung.

“Tante Ayu, makasih banyak yaa,” kata Azka.

“Tante makasihhhh,” kata Venus.

Dan makasih-makasih lainnya bersahutan dari mulut teman-teman Haksa, hingga yang terakhir Naya.

Sambil menyalimi tangan Bunda Haksa, “Makasih tante Rahayu ajakannya, Naya pamit pulang hehe.” kemudian dijawab, “Iya sama-sama. Besok jangan balik lagi ya, Haksa udah punya Zenitha soalnya.”

“IBUN!” sela Haksa, nadanya meninggi, sangat tinggi.

“Oh iya tante, pasti. Naya minta maaf ya tante. Naya permisi.” sahut Naya lagi.

Kemudian ia pulang.

It turns worse.

POV Naya

Setelah mempersiapkan diri serapi mungkin, Naya berkaca sekali lagi. Berharap dan sedikit merapal doa dalam hati agar tak ada yang akan dikecewain lagi setelah ini. Jujur dirinya takut, tapi yang lalu biarlah berlalu kan? Agaknua Naya juga sepertinya sudah bisa membaca situasi apa yang akan terjadi setelah ini.

Sudah memakai sepatu, tinggal menunggu dijemput oleh kesayangannya, Haksa. Keduanya sudah sepakat untuk berangkat pukul 10 pagi, tapi hampir setengah 11 Haksa belum juga ada kabar.

Tepat pukul 11.35, notifikasi mengambang di lockscreen hp Naya, rupanya dari Haksa. Nay, maaf. Aku gak bisa jemput., isi pesannya. Naya sedih, jujur saja tapi yasudah ia masih punya tangan dan kaki yang berfungsi dengan baik, ia bisa berangkat sendiri.


Sesampainya di rumah Haksa, Naya mengintip dari luar dan ternyata rumahnya sudah ramai, banyak mobil berjejeran, rupanya yang datang untuk makan banyak kali ini?

Naya menghubungi Haksa kemudian Haksa menghampiri dan membukakan pagar untuknya. “Ca kenapa? Kok murung gitu?” tanya Naya setelah sudah sepenuhnya masuk ke dalam rumah Haksa.

“Kabur aja yuk, Nay?”

“Kok kabur?”

“Aku gak mau kamu masuk, Nay. It will be worse if we choose to stay.”

What happened, Haksa?” “Masuk dulu ya? Kan kita berdua, ada aku, ada kamu. Ya? Yuk?” tambah Naya.

You right, Nay. Sekarang kita berdua, tapi setelah masuk kita gak tau bakal jadi sepecah apalagi hubungan kita., batin Haksa sambil berjalan pasrah mengikuti Naya.

TW // mentioning suicidal, bipolar disorder

“Haksa pulang.” ucap Haksa setelah melepas sepatunya dan masuk ke dalam rumah.

Terdengar suara orang sedang memasak, berarti sang bunda ada di rumah sekarang.

Saat mendengar ada suara pintu terbuka, sang bunda pun celingukan ke arah pintu, ternyata anak lanangnya kembali pulang!

“Aa! Ibun kangen bangetttt!”

“Iya Ibun, Aa pulang.”

“Boleh peluk gak?”

“Masaknya dilanjut dulu, Bun. Nanti gosong,”

“Udah udah selesai. Ibun mau peluk.” sambil memeluk, sang bunda berucap, “Maafin Ibun, A',”

“Aa perlu ngomong sama Ibun.”

“Iya nang, ngomong apa?”

“Ibun mau sekarang? Gak capek?”

“Duduk dulu coba.” kata sang bunda sambil menepuk sofa dengan space kosong di sebelahnya.

“Aa ganti baju sama bersih-bersih sebentar.”

“Oh iya lupa Aa kan capek, apa mau besok aja?”

“Gak capek kok, Bun. Cuma Bandung Jakarta mah kecil,”

Setelah itu Haksa memasuki kamarnya kemudian mandi dan mengganti pakaiannya dengan setelan yang lebih santai.

“Sini anak Ibun paling ganteng, duduk.” pinta sang bunda ketika mendengar suara langkah kaki sedang mendekat.

“Wuahh segerr,” kata Haksa sambil merubuhkan diri ke sofa.

“Mau ngomong apa, nang?”

“Naya, Bun. Ngomongin Naya.” raut wajah sang bunda seketika berubah masam, diselingi ketakutan, takut bila anak laki-laki satu-satunya itu kabur lagi dari rumah.

“Iya.. gimana?”

“Kenapa Bun? Kenapa Ibun gak mau Aa sama Naya?”

Hening, hampir 3 menit. Hampir saja Haksa hendak beranjak karena menurutnya sang bunda tak akan memberi jawaban, namun akhirnya sang bunda buka suara.

“A', Naya itu penderita bipolar,”

“Iya terus kalo gitu masalahnya dimana? Aa gak pernah ngerasa Naya ngerepotin Aa, Bun. Justru Aa yang kerepotan kalo Aa pisah sama Naya.”

“Dia juga pasien Ibun di rumah sakit, A',”

“Iya Aa udah paham. Masalah utamanya, Bun. Aa butuh masalah utamanya,”

“Almarhum Ayahmu A'. Maaf Ibun terlalu lemah dan Ibun malu mengakui ini, Ibun gak suka kamu sama Naya karena penyakit yang Naya bawa selalu mengingatkan Ibun sama Almarhum Ayah. Ayah juga penderita bipolar kalo Aa lupa. Ayah juga ninggalin kita karena bunuh diri, bipolar yang diderita sama Ayah gak terkontrol sama sekali dan bodohnya Ibun gak menyadari hal itu,”

“Terus maksud Ibun apa?”

“A', Ibun gak mau kejadian yang sama menimpa Aa. Ibun gak mau Aa dalam bahaya. Orang bipolar itu unexpected A', Ibun cuma takut Aa kenapa-napa.”

“Ibun gak seharusnya bawa ketakutan Ibun itu ke masa sekarang, Bun. Ayah meninggal bukan salah Ibun, Aa, ataupun Dede. Ayah mengidap bipolar juga bukan salah Ibun, Aa, atau Dede. Semua udah ada yang rencanain, Bun. Ayah mungkin gak bisa lagi bertahan kala itu, Ayah mungkin gak punya pilihan, jadi Ayah milih untuk mengakhiri hidupnya sendiri tapi dengan kejadian itu, bukan berarti Ibun bisa beranggapan kalo semua pengidap bipolar sama kayak Ayah, Bun. Ibun gak bisa kayak gitu.”

“A' tapi sebagian besar kayak gitu,”

“Ibun gak bisa menilai kepribadian orang dari sebagian besar, rubah pola pemikiran Ibun yang kayak gitu, Bun. Ibun kan psikiater, Ibun harusnya yang ngebantu pasien Ibun untuk bangkit, untuk semangat lagi, dan untuk bertahan berjuang di dunia ini tapi Ibun sadar gak kalo perlakuan Ibun ke Naya kemarin malah bisa ngebuat dia down, bahkan mungkin bikin dia give up. Ibun gak sadar kan? Kalo dia nyerah sama dunia nasib Aa gimana, Bun? Ibun gak mikir sampe sana?”

Hening..

“Gimana Bun?”

“Maafin Ibun, A'.”

“Minta maafnya harusnya ke Naya, Bun, bukan ke Aa.”

“Jujur Ibun memang salah tapi Ibun masih berat nerima Naya, Ibun takut A.”

“Masih kurang ya, Bun?”

“Ibun udah nyiapin yang lebih baik buat Aa.”

“Apalagi Bun? Aa harus nurutin Ibun yang gimana lagi?”

“Dengerin dulu Ibun ngomong, A'.” “Ibun mau jodohin Aa sama anak temen Ibun.”

“Bun? Bercanda?”

“Enggak, Ibun serius, Aa udah kelulusan kan? Udah mau kuliah kan? Masih ada waktu lama buat pendekatan.”

“Aa nyesel pulang ke rumah.” ucap Haksa kemudian beranjak dari sofa tempat ia duduk.

“A', ini yang terbaik buat Aa,”

“Yang bener ini yang terbaik buat Ibun, iya kan? Bener?” “Oh ya satu lagi, Aa bakal kuliah management jangan usik Aa apalagi maksa Aa buat masuk kedokteran, Aa gak mau.”

Setelah itu Haksa membanting pintu kamarnya, meninggalkan sang bunda sendirian.

TW // mentioning death, little bit bullying, self harm

Setelah diminta Helen untuk bertemu, hari ini Naya sudah bersiap-siap di kamarnya. Bahkan mungkin ia sudah menyiapkan rentetan dialog yang berisi pertanyaan untuk menyudutkan lawannya.

Soal darimana Naya mendapatkan nomor Helen jangan lagi dipermasalahkan, apa yang seorang Nayanika Adriana tidak bisa? Tentu, tidak ada.

Soal Arzi juga, bagaimana Arzi masih mau-mau saja diajak oleh sang mantan? Kenapa dirinya masih belum sadar juga kalau dijadikan penengah di antara peristiwa bersejarah ini? Agaknya Arzi masih ingin lengket dengan sang mantan, Naya. Maka dari itu permintaan Naya selalu digubris olehnya.


Pukul 18.00 WIB.

“Yuk berangkat.” kata Naya setelah memasang sabuk pengamannya.

Bila dikatakan sering mengobrol, mereka justru sebaliknya. Naya hanya mengirimi Arzi pesan jika penting dan Arzi akan membalas seadanya saja. Sekalipun bertemu, contohnya seperti sekarang, mereka sedang berada dalam satu mobil tapi kalimat yang terdengar hanya sekedar yuk berangkat, iya ayo turun, begitu-begitu saja.


“Udah sampe Nay, turun sekarang?” tanya Arzi.

“Sebentar. Gue coba hubungin Zizi duluuu.” balasnya.

Halo, Zi? Udah di cafe belum? Gue udah sampe nih,“ “Oh yaudah gue masuk ya.

Dengan itu, Arzi dan Naya memasuki cafe tersebut. Sambil menoleh ke kanan juga kiri, Naya belum melihat kehadiran sosok yang sudah ditunggu-tunggu olehnya, Helen. Maka ia memutuskan untuk mengiriminya pesan terlebih dahulu.

Naya : “Gue udah di cafe, lo dimana?“ Helen : “Di parkiran,“ Naya : “Penanda meja gue pokonya ada Arzinya ya,

Arzi dan Zizi asik mengobrol sementara Naya melihat dari jauh ada dua perempuan yang mendekat menuju meja tempat ia duduk. Semakin dekat dan semakin dekat.

“Jadi ini cewe baru kamu?” ucap Helen tanpa aba.

“Loh? Len? Kok bisa disini?” itu Arzi.

“Halah gak usah basa bas—”

“Wets wets tunggu dulu dong. Chill, bawa santai dulu. Duduk dulu sok.” sela Naya kemudian Helen duduk dan seseorang di sebelahnya mengikuti.

“Kok bisa kebetulan banget lo ikut kesini?” tanya Naya memecah keheningan.

“Gue diajak dia nih, gue juga gak expect bakal ketemu lo?” balas perempuan itu.

“Ayo pulang, Mar. Kamu asik banget selama ini main di belakang aku ya? Main sama pelakor ini sampe malem, bukannya ngabarin aku.” ucap Helen sambil menarik tangan Arzi, mengajaknya pergi.

“Apasih, Len? Mana ada aku selingkuh? Orang aku baru kenal sama dia beberapa hari lalu.”

“Gak usah alesan lagi, Mar.”

“Tanya sama Naya, aku males ribut di tempat umum.”

Helen pun menoleh ke arah Naya, matanya menatap dalam, menuntut jawaban yang sebenarnya.

Well, actually. Gue gak tau harus nganggep lo bodoh, tolol, atau representasi yang sejenis itu. Lo terlalu buta sama cinta sampe lo gak bisa berpikir jernih ya? Atau mungkin lo terlalu terobsesi juga sampe lo berbuat jahat sama orang lain?”

“Maksud lo?”

“Ya sekarang lo pikir lagi aja. Mana bisa gue ngintilin Arzi sama cewe lain setiap hari kalo gak karena gue emang ada disana? Gimana bisa gue ngefotoin mereka sedeket itu kalo bukan karena gue juga ada disana?”

Hening.....

“Lo kira gue gak tau apa yang udah lo perbuat selama ini? Lo kira gue bakal diem aja setelah semua hal buruk nan menjijikkan yang udah lo lakuin ke gue?” ucap Naya.

Arzi tentu menatap kebingungan, Zizi menatap penuh kemenangan, sedangkan Helen dan perempuan di sampingnya menatap penuh kewaspadaan.

“Gue bisa sebutin satu-satu kalo lo mau, 1. Lo rebut Arzi dari gue, 2. Artinya lo rebut separuh kebahagiaan gue, 3. Lo ngejelekkin gue di belakang, 4. Lo yang ngirim berbagai teror gak jelas dan gak level itu ke rumah gue, khusus yang ini, lo kira gue bakalan apa? self-harm? Oh baby girl, poor you, gue gak selemah itu. Lo mau kirim uler pun gue gak ada takut-takutnya, 5. Lo yang sewa wartawan untuk sebarin berita nyeleneh tentang Mami gue dan juga gue. Gue akui beberapa memang bener tapi gak perlu lah gitu doang dimasukkin berita, alay tau gak? 6. Dan terakhir, gue beneran gak nyangka lo terlibat dalam hal kayak gini. I thought we were best friends, Jen. Makasih lo udah nemenin gue pizza-party waktu itu, kalo gak gue gak akan tau ternyata lo sebusuk ini di belakang gue. Lo juga bagian dari rencana gak jelas ini kan? Makasih sama notifikasi hp lo yang waktu itu nunjukkin chat dari Helen, yang dimana gue bisa dengan jelas baca semua itu. I witnesses it. Dari sekiam banyak perbuatan kalian mau ngelak apa lagi? Ayo coba ngomong, gue pengen denger.”


Flashback On!

Tepat hampir satu bulan yang lalu. Dimana Naya sedang suntuk dan berniat untuk clubbing, diputuskan oleh Arzi menjadi beban bagi dirinya waktu itu. Namun, sangat kebetulan Jeni adalah sahabatnya, tentu tugasnya mencegah dan mengingatkan Naya.

Akhirnya Jeni menghibur dan menemani Naya dengan datang ke rumahnya dan membawa beberapa kotak pizza. Tak lupa juga Jeni memberi wejangan-wejangan berupa semangat pada Naya agar sahabatnya itu tetap ceria dan menjadi dirinya yang apa adanya.

Namun, saat Jeni pergi ke toilet Naya melihat hal yang sangat mengejutkan dari notifikasi hp sahabatnya, Jeni. Hp yang menyala dengan bubble chat yang mengambang di lockscreen bertuliskan,

Helen : “Gue pengen main-main sama si Naya.” Helen : “Lo mau bertindak sendirian?” Helen : “Yakin lo? Emang lo bisa apa tanpa gue?”

Tentu saja Naya shock, apa iya sahabat satu-satunya itu ternyata juga bermain di belakangnya? Memang salahnya apa? Maka dengan itu, pemberantasan masalah yang rumpang ini dimulai.

Flashback off!


“Nay, maksud gue sebenernya gak gitu,” Jeni membuka suara. Ya, benar, itu Jeni sahabat karib Naya.

Wait, what? My brain can't process what's just happened.” sela Arzi masih kebingungan.

“Terus maksud lo apa, Jeni? Lo butuh apa dari gue? Lo mau apa?” “Kalo lo, Helen. Jangan diem aja woi, orang ngomong tatap matanya!” tambah Naya, nadanya meninggi.

I hate you, Nay. Fucking hate.” sahut Helen.

I know, now tell me why.”

I'll just straight to the point. Mami lo yang kegatelan itu, ngerebut bokap gue. Mami lo yang kegatelan itu selingkuh sama bokap gue. Nyokap gue sakit-sakitan, keluar-masuk RS dan Mami lo malah enak selingkuh sama bokap gue. Fuck it.”

The fuck? For real? Jadi Carlos gak jelas itu bokap lo? Terus hubungannya sama Jeni apa, ngapain dia ikut campur?”

“Setelah nyokap gue meninggal, bokap nikah sama mamanya Zenitha. Otomatis dia jadi adik tiri gue. Gue ngira semua selesai setelah bokap nikah lagi sama mamanya Zenitha tapi ternyata gak. Carlos malah makin menjadi, bahkan sampe ngilang berdua kan sama MAMI lo yang kegatelan itu?”

“Mulut lo butuh gue kasih pelajaran tapi buat sekarang gak penting, lanjut dulu.”

“Ya Zenitha marah lah? Lo pikir aja, Nyokapnya sayang banget sama Carlos tapi Carlosnya masih aja asik selingkuh sama nyokap lo. Zenitha kerja sama sama gue karena dia juga dendam ke nyokap lo.”

“Terus, menurut lo berdua, apa pantes lo ngebales perlakuan mami gue ke gue yang bahkan gak tau apa-apa? Kalo seandainya gue stres dan mati, lo berdua yang bakal gue datengin tiap malem, sumpah,” “Gue sama sekali gak tau apa-apa. Gue udah gak peduli sama kehidupan Mami. Kalian boleh marah sama gue tapi kalo kalian mau main dalem tolong jangan bawa-bawa gue.” tambahnya.

“Ada lagi? Jeni lo mau apa?”

Sorry, Nay,”

“Gue tanya lo mau apa,”

“Haksa Nay, gue mau Haksa. Gue sayang banget sama Haksa dari semenjak masih SMP.”

“Lol, lucu. Ambil dah ambil kalo lo mau. Sok, lo gak harus berlagak jahat gini buat rebut Haksa dari gue. Lo kira lo keliatan keren? Gak, asal lo tau, lo malah keliatan kek orang ngemis.”

“Lo punya semuanya, Nay. Gue iri.” sahut Jeni.

“Lebih lucu lagi kalo lo berdua iri sama gue. Gue ini punya apa sih? Gue ini siapa sih? Orang tua gak punya, kebahagiaan juga gak ada. Apa yang mau lo ambil dari gue hah? Rendahan banget lo berdua iri sama anak yatim, gue yang malu tau gak?”

“Helen helen, di chat lo berlagak sok keren dan paling jago ya? Ternyata disini lo kicep. Cukup tau deh gue. Pulang lo berdua sekarang.” “Oh iya, maafin Mami gue ya.”

“Lo belum jelasin soal Arzi, Nay.” sela Helen.

“Marziano, gue tanya sama lo deh. Perlu gak dijelasin lagi?”

Go home, Len.” balas Arzi. “Kita omongin nanti.” tambahnya.


“LO KEREN BANGET NAY, ANJING?!” itu Zizi.

“Keren pala lu benjol. Gue gelagapan tuh sebenernya.”

“Lo besok jadi hakim ajalah atau investigator, mengintimidasi banget aura lo pas lagi ngomong, pantes mereka kicep.”

“Kalo gak gitu mereka ngelunjak.”

So, aku ini bahagiamu ya? Sekarang masih gak?” sela Arzi dengan Nada menggoda.

“Apaan? Gue udah gak kenal lagi sama lo. Tadi kan sandiwara.” balas Naya. Arzi hanya menggaruk pelan bagian lehernya, salah tingkah, sedikit.

“Bentar. Nay, jadi aku disini dibuat perantara ya?” tanya Arzi.

“Hehe, peaceee,” “Tau gak gimana caranya gue bisa ngebujuk Helen?”

“Gimana?” tanya Arzi.

“Hari pertama gue ngajak lo main itu sebenernya gue udah janjian duluan sama Zizi. Ketemu di toko vinyl itu cuma sandiwara hahahaha. Gue gak bisa diem aja sementara gue udah tau busuknya Helen dan Jeni di belakang gue. Gue punya rencana sendiri. Sengaja gue bikin lo kenal dan lebih deket sama Zizi supaya bisa gue jadiin bahan buat ngomporin Helen. Waktu kita bertiga main, gue selalu fotoin lo berdua buat dikirim ke Helen, alhasil dia kepanasan, aduh lucu bangettt. Baru 3x kirim foto, dia udah ngajak ketemu. Yaudah dong, berarti rencana gue berhasil? Jadinya ya barusan itu. The end hahahahaha.”

You're too cool to be true.” balas Arzi sambil menganga, masih mencerna penjelasan Naya.

“Makasih udah mau jadi objek sekaligus perantara gue. Maaf kalo bikin hubungan lo sama Helen ancur.”

It's okay, emang udah seharusnya kek gitu.”

⚠️ TW // Anxiety, Panic Attack, Family Problem.⚠️

Setelah mendapati chat dari sang Ibu yang lama sekali hilang bagai lenyap ditelan bentala, Naya memutuskan untuk bertemu dengan sang Ibu.

Di tengah kekacauan dan kecemasan yang membanjiri emosinya, Naya memberanikan diri untuk kembali bertatap dengan sang Ibu.

Hari ini hari dimana mereka akan bertemu, Naya diantar oleh Haksa tentu saja. Selepas diminta bertemu oleh sang Ibu, Naya langsung menghubungi Haksa dan bercerita, akhirnya Haksa memilih untuk mengantar dan memantau Naya selama bertemu dengan sang Ibu, supaya Naya tetap merasa aman dan nyaman nantinya.

Haksa sudah sampai di depan rumah Naya, ia menghubungi kekasih mungilnya itu.

“Sayang, aku udah di depan yaa.”

“Iya Sa, tunggu sebentarrr.”

Kemudian yang ditunggu sudah masuk di mobil sekarang, dengan raut wajah yang tak tergambar emosi apapun disana. Datar saja.

“Hey, liat aku, Nay.” ucap Haksa sambil menangkup pipi perempuan kesayangannya. Yang dipinta pun menoleh.

“Hey, everything's is gonna be okay, you have me, I'm with you. Jangan takut ya, jangan cemas. Aku bakal tetep di mobil buat mantau kamu selama kamu ngobrol sama Mami. Nay, listen to me, aku mungkin gak bisa jadi penenang kamu sekarang tapi kamu harus inget juga kalo Mami itu juga ibu kandung kamu, mau gak mau akhirnya juga kamu bakal ketemu sama beliau. So, relax okay?” ucapnya sambil mengelus pipi kesayangannya dengan ibu jari, Haksa berusaha merengkuh kesedihan kesayangannya.

Give me a kiss first, Kak.” balas Naya.

Where should I throw the kiss? Forehead? Cheeks? Nose? Eyes? Lips? Or maybe chin?

Anywhere. Make it anywhere.”

Neck juga boleh berarti ya?”

“Ngelunjak ihhhh.”

“Iya-iya, sini-sini sayang mumumu sayangnya kakak, mwah mwah mwah mwah. Dah tuh banyak, relax yaa?”

“Heem thankyouuuu.”


Sesampai di depan restaurant tempat janjian Naya tak kunjung turun dari mobil Haksa.

1 detik.. 2 detik.. 3 detik, yang terdengar malah isak tangis.

“Sayangg, hey hey. Katanya janji mau relax? Naya aku disiniiii, look at me whenever you feel nervous, aku parkir gak jauh dari tempat kamu bakal duduk. Ya, okey?”

“Kamu percaya sama aku gak, Kak? Kamu yakin gak kalo aku bakal bisa?”

“Banget, aku percaya dan yakin banget. Nay, kamu bahkan udah bertahan sejauh ini sendirian loh, yang kayak gini harusnya kecilll lah buat kamu, kan kamu wonder women!!”

Fine, I'll go.”


“Selamat Pagi, Anak Mami. Mami kangen bangetttt.” ucap perempuan yang tiba-tiba berada di tempat duduk seberang tempat Naya duduk.

“Kamu makin cantik, Nak. Dan-”

To the point aja, saya gak bisa lama-lama, maaf.” balasnya ketus, sejujurnya dirinya takut.

“Mami cuma pengen ngobrol aja, pengen lihat wajah kamu dan actually I wanna hug you, can I?”

“Buat apa? Anda gak lihat mulai banyak kamera dan paparazzi di sekitar sini?”

“Mami gak peduli, Mami cuma maunya ketemu sama kamu.”

“Saya masih bingung tujuan utama anda apa tiba-tiba sekali mengajak saya bertemu, kalo gak jelas tujuannya kan bisa lewat chat saja. Gak perlu repot-repot kayak gini,”

“Saya balik, terimakasih.”

Namun saat hendak meninggalkan meja, Sania tiba-tiba menyela,

“Mami bela-belain balik ke Indonesia untuk ketemu kamu, Naya. Mami rela dihujat seluruh warga di media sosial demi bertemu sama kamu. Mami-”

Stop playing victim, would you? Saya gak pernah minta ditemui oleh anda, saya gak pernah minta anda merelakan waktu dan uang anda untuk hanya sekedar bertemu dengan saya. Lagian saya ini apa sih di mata anda? Saya ini siapa sih?”

“Kalo memang anda gak punya tujuan yang tulus untuk menemui saya ya tinggal jangan temui saya, sampai kapanpun. Saya baik-baik saja selama tanpa adanya anda, jadi jangan bertingkah seakan-akan saya mengemis perhatian dari anda. Saya permisi.”

Lagi, saat Naya akan berbalik, tangannya ditahan dan dipaksa untuk berbalik badan.

Plak!

“Oh wow? Bahkan anda berani menampar saya di depan banyak orang dan kamera ini? Memang karir anda sudah tidak ada harga dirinya ya? Sudah mati, karir anda malu dengan pemiliknya karena pemiliknya gak bisa menjaga sikap dan mengontrol emosi.”

“Jaga ucapanmu, Nayanika. Mami sudah berusaha sabar tapi ternyata kamu kurang ajar ya? Memang dari dulu kamu gak pernah tahu malu dan diuntung.”

“Gak ada yang minta dilahirkan ke dunia ini tapi saya berterimakasih karena anda sudah mengizinkan saya melihat dunia yang kejam dan penuh tipu muslihat ini,”

“Satu lagi, jangan berani-berani menampar saya. Jangan berani-berani menyentuh saya barang ujung jemari saja, saya gak akan diam saja. Anda gak pernah memikirkan saya dan dengan tiba-tiba anda datang hanya untuk menampar saya? Sekarang saya tanya, yang bisa disebut gak tau malu itu saya atau anda?”

Dengan itu, selesai. Naya beranjak pergi dari sana dengan tangan dan kaki gemetar juga mata yang mulai memanas. Belum lagi mungkin ia akan menghadapi berbagai macam pertanyaan dari wartawan yang sedari tadi berada di luar restaurant. Saat wartawan dan kamera mulai mendekat, Haksa melindungi dirinya.

“Bukan waktunya untuk wawancara, BUBAR.” katanya sambil merangkuk tubuh mungil Naya.

Kerumunan itu belum juga bubar, “Saya bilang bubar atau saya laporkan pihak keamanan di sekitar sini?” kemudian akhirnya kerumunan itu berkocar-kacir melindungi diri.