Unconditional

Setelah meninggalkan Haksa dengan alasan ke toilet, akhirnya Naya menemukan tempat yang cukup sepi dan nyaman untuk memijakkan kaki.

Naya bukan ke toilet, tentu saja. Naya kan mau menelefon bundanya Haksa alias Tante Rahayu. Sejujurnya ia masih tak mengetahui darimana Tante Rahayu mendapat nomornya tapi yasudahlah bisa dipikirkan nanti. Sekarang, apa yang harus ia ucapkan sebagai kalimat pembuka sewaktu telefon dengan bunda dari 'kesayangannya' itu?

“Ah tatak weh lah,” akhirnya dengan nekat Naya langsung menekan ikon telefon.

“Halo?”

“Siang Tante, ini Naya..”

“Kamu rupanya. Cepat bawa pulang anak saya, Naya. Jangan jadi perempuan bandel.”

“Tante, bisa kasih saya ruang untuk berbicara sebentar?”

“Saya gak menerima alasan klasik ya.”

“Sebelum itu, kalo boleh tau, Tante dapet nomer saya darimana?”

“Saya mau to the point aja, Naya.”

“Ah iya,” “Saya dan Haksa lagi di Cimory tante sekarang, di pun—”

“Yaampun, kamu bawa anak saya sampe kesana? Kamu ini perempuan macam apa?”

“Tante, saya belum selesai ngomong,” “Sebetulnya hari ini saya mau ke Surabaya ditemani Zizi, adeknya Haksa, tapi sewaktu saya sudah siap yang menjemput saya malah Haksa sendiri. Saya sudah ajak Haksa pulang, Tante. Saya sudah bujuk untuk jangan meneruskan perjalanan. Maaf kalo saya seakan-akan mau membawa kabur Haksa, tapi sumpah saya gak ada maksud gitu, Tante.”

“Mana mungkin kamu gak ada maksud gitu, buktinya aja kayak gini sekarang?”

“Tante gak bisa menyalahkan saya karena saya juga sama gak taunya seperti Tante, ini semua di luar kehendak saya.”

“Memang dasarnya kamu anak naka—”

“Maaf saya memotong pembicaraan Tante. Te, okay lah kalo memang Tante anggep saya nakal, perempuan gak bener, ini lah itu lah. Tapi jangan Tante marah kalo keadaan udah berbalik kayak gini, Haksa gak betah di rumah itu semua karena Tante sendiri. Haksa gak menuruti perintah Tante itu karena Tante sendiri,”

“Te, Haksa itu cuma manusia biasa. Haksa juga punya perasaan, yang kadang bisa kuat dan kadang bisa lemah dan perasaan Haksa gak bisa dicontrol sama siapapun termasuk saya dan Tante. Kalo aja Tante coba ngertiin apa keinginan Haksa, saya tanya, apa mungkin Haksa sampe kabur-kaburan kayak gini?”

“Te, saya juga gak mau ngerusak kepribadian seseorang. Saya cinta sama Haksa dan gak mungkin saya bawa kabur dia cuma gara-gara hal perasaan. Semuanya kemauan Haksa, Te. Haksa cuma berusaha cari ketenangan yang dia gak bisa dapet di rumah dan mungkin ini satu-satunya cara. Apa Tante gak pernah mikir sampe kesana?”

“Te, Haksa gak cinta sama Zenitha dan Haksa gak mau dipaksa. Intinya cuma itu, Haksa sudah berusaha menyampaikan ke Tante sesopan mungkin tapi dia gak dapet feedback sama sekali dari Tante, yang ada Tante malah mojokkin dia dengan persetujuan-persetujuan pertunangan yang bahkan di luar kemauan dan keputusan dia. Tante salah disitu, Te.”

“Kalo Tante mau Haksa bahagia caranya bukan kayak gini. Biarin Haksa cari kebahagiaan yang menurut dia cocok buat dirinya. Hal bahagia sama perasaan sama-sama gak bisa dipaksa, Tante. Kalopun Tante sudah melepaskan dan mengizinkan Haksa untuk cari kebahagiaannya sendiri tapi di sisi lain Tante gak mengizinkan saya yang menemani Haksa, gak masalah kok. Saya bisa pergi asal Tante izinkan Haksa. Jangan egois, Tante. Yang butuh bahagia gak hanya Tante tapi anak-anak Tante juga.”

“Sudah ya, Tante. Kasihan Haksa kalo saya ngomong lebih panjang lagi, dia udah nungguin. Siang Tante, terimakasih, semoga harinya luar biasa.”

Tut, sambungan terputus.

TBC EAAAAA