End.
Haksa dan Naya sudah dekat dengan rumah sekarang, rumah Haksa maksudnya. Sedari tadi Naya terus merengek supaya ia jangan langsung diantarkan ke rumah melainkan ke rumah Haksa dulu saja, akhirnya Haksapun menuruti kemauan sang 'kekasih'.
Sesampainya di rumah, Naya membantu Haksa membukakan pagar kemudian Haksa memarkirkan mobilnya di teras rumah.
Kedatangan mereka disambut hangat oleh sang Bunda, Rahayu. Namun rupanya Haksa tidak tahu, Haksa masih terus menundukkan kepala, enggan menatap sang Bunda, masih takut kejadian yang sama akan terulang kembali. Poor Haksa.
“Aaaa mantu Ibun udah sampe, ayo masukkkk.” sapa sang Bunda yang otomatis membuat Haksa menegakkan kepala, mantu siapa?, yap, ternyata sang Bunda sedang berbicara dengan kesayangannya, Naya.
“Ini apa? Cuma Aa aja ya yang gak tau?”
“Makannya masuk dulu.” balas sang Bunda sambil menggandeng tangan Naya, mengajak 'calon mantu' nya masuk dengan sedikit terburu-buru.
1000 tanda tanya yang ada di benak Haksa, begitu memasuki rumah ternyata ada partisipan lain disana, “Lah kok ada Rey? Ngapain pada disini dah?” tanyanya.
“Tuh, bawain itu,” balas Rey sambil melirik benda yang ada di meja, that's the engagement ring.
“Nay, ceritain ini ada apa..” pinta Haksa.
“Jadi gini loh, Sa. Tadi waktu aku ke toilet—....” “Gitu, paham belum?”
“Jadi? Ini serius gak sih?”
“A', Ibun mau peluk sebentar.” sela sang Bunda.
“Maafin Ibun ya. Ibun harus berterimakasih yang banyak sama Naya karena Naya yang menyadarkan Ibun kalo kebahagiaan Aa cuma bisa ditentukan sama Aa sendiri. Maaf ya Ibun misahin kalian terus-terusan, maaf juga Ibun malah maksa Aa buat tunangan sama Zenitha. Maafin Ibun ya.” ucap sang Bunda sambil mengusap punggung anak lanang satu-satunya itu.
Punggung sekuat baja yang selalu jadi pelindung Bunda dan Adiknya, punggung yang rela membendung kesakitan dunia, punggung yang tak pernah menjadi lemah sekalipun hati dan tubuhnya lengah. Haksa itu laki-laki, anak dari Bunda, dan Kakak untuk Adik yang hebat.
“Bun, makasih,” lirih Haksa, teramat lirih.
“A', bahagianya Aa udah di depan mata. Janji sama Ibun harus bahagia terus ya? Saling menjaga satu sama lain, jangan lupa selalu berkomunikasi juga. That's the most important point when you do have a relationship. Jangan renggang dan jangan lengah ya, A'?” balas sang Bunda sambil melepas peluk dan menuntun tangan Haksa untuk disatukan dengan tangan kesayangannya, Naya.
(Dangdut bat elahh)
“Tante Rahayu, makasih banyak..” ucap Naya.
“No need to say that, cantik. Bahagia selalu ya? Jangan lupa cincinnya dipake!” balas sang Bunda sambil mengedipkan sebelah matanya, kemudian pergi meninggalkan keduanya.
“Gue pulang dulu ya, jangan lupa terimakasih sama cewe gue alias Zizi.” sela Rey.
“Bisaan lo pentil patrick, Ade gue juga itu, berani-beraninya,”
“Oke sama-sama,” kemudian Rey keluar dari rumah itu meninggalkan dua sejoli yang sekarang sedang beradu tatap di tengah ruangan.
“Mainnya rahasia-rahasiaan ya kamu sekarang?” tanya Haksa memecah keheningan.
“Hehehe peace, kan biar surprise,”
“Love you, jangan kemana-mana lagi.” pinta Haksa mutlak, sambil memasangkan cincin pemberian sang Bunda ke jari manis Naya. “Looks beautiful on you, jangan dilepasssss.” pintanya sekali lagi.
“Peluukkkkk donggg,” sekarang giliran Naya yang meminta.
Pemirsa, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Percaya pada takdir bukan sebuah kemustahilan. Tentang hal perasaan, hanya diri kita yang bisa mengendalikan, hanya diri kita yang bisa menciptakan. Bahagia tumbuh dan semerbak ketika penikmatnya mampu mengatur skenario dengan sempurna.
Jangan dendam ketika daksa yang kita damba tak mampu tergenggam. Jangan letih ketika rasa yang biasanya kita selami tak mampu kita gapai lagi.
Mari merubah hal mencintai menjadi sebuah elegi, bukan elegi yang berduri dan mati tapi elegi yang tertaut dan senadi, elegi yang berkesan urgensi. Elegi yang membuat rasa biasa saja jadi sebuah selaksa.
Cerita dengan segala kesakitan dan kebahagiaan ini sudah memijakkan diri pada sebuah arti bernama akhir. Terimakasih sudah menemani tuan dan puan pemilik cerita yang kisahnya penuh lika dan liku ini, terimakasih sudah setia menunggu walau yang menulis hobi memenjara waktu.
— Antariksa, End. Written by Ve.