Ketika Rigel mengetahui dimana keberadaan Jovanka, Rigel tersontak. Tanda kutip, tersontak dalam diam. Makannya ia dengan cepat berkata “gue kesana ya?”, tiga kata itu sebetulnya menjadi latar belakang dari kekhawatiran dan rasa simpati dari dalam diri seorang Yerikho Rigel. Ngapain Jov disana jam segini? Batinnya.
- - -
Tin!
Jovanka sedikit tergerak ketika mendengar klakson mobil dengan jarak dekat merasuki gendang telinganya.
Jendela mobil terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rigel dengan wajahnya yang biasa-biasa saja seperti biasanya. “Masuk,” katanya.
“Gue nunggu taxi.” balas Jovanka.
“Ayo pulang, gue anter.”
“Emang rumah lo searah sama gue?”
“Jangan banyak omong.” sela Rigel sambil membukakan pintu kursi penumpang yang akan Jovanka tempati. Act of service nih love language nya.
Jakarta rimbun, langit gelap namun kendaraan, lampu jalan, dan gedung tinggi masih juga belum terlelap.
Keresahan angin malam menerpa relung Jovanka, resahnya semakin menggeliat, ingin diluapkan.
“Lo beneran metal banget ya orangnya?” gumam Rigel, memecah atmosfir mati di dalam mobil.
“Kenapa?”
“Ya.. Lo ngapain di Nostra semalem ini?”
Fyi, Nostra is a club. Place where people looking for happiness, different level of happiness actually. As we all know, biasanya anak muda pergi ke club buat apa. Something might be just happened.
“Gabut.” balas Jovanka.
“Besok-besok kalo gabut bilang sama gue, gue ajak ke angkringan. Lebih asik.”
“Peduli-peduli banget?” sindir Jovanka.
“Lo tuh cewe, Jovanka,” “Mind to share it with me?” tambah Rigel.
“Share what?” “Gel, jangan jadi penganut toxic masculinity. Gue cewe dan gue di club jam segini bukan berarti gue melakukan yang aneh-aneh.”
“Gue gak bilang lo melakukan yang aneh-aneh,” “It's just..“
Rigel terhenti.
“Lo khawatir sama gue?” tanya Jovanka.
“I am.” jawab Rigel bulat dan memikat.
“Gue mimpi buruk,” ungkap Jovanka.
“Lanjutin aja,” kata Rigel sambil terfokus pada GPS yang menunjukkan arah rumah Jovanka.
“It's like something bad will happen. I'm afraid. So I got here. Nostra.”
“Is it that bad?” tanya Rigel.
“As you can see,” balas Jovanka.
“Besok-besok ngomong sama gue, gue ajak kemanapun. Asal jangan Nostra.”
“Should I say thanks or maybe something like perhatian banget???”
“Hahaha better you say thanks.”
- -
“Udah sampe.”
“Makasih banyak, Gel rambut!” sahut Jovanka sambil berusaha meraih rambut Rigel. Sebetulnya tak sampai, tapi Rigel merendahkan posisinya, supaya tergapai oleh Jovanka.
“Jangan lupa cara nulis nama gue yang tadi gue tanya, kirim ASAP. Awas lo!” tambah Jovanka.
“Bawel,”
Kakinya sudah sisa 5 jengkal dari tanah, namun tangannya tertahan dari dalam sana. Rigel mencekalnya.
“Jov,” panggilnya.
“Apaan?”
“Lo cantik hari ini. Jangan takut buat ngelawan dunia. Mimpi buruk wajar kalo muncul, tapi jangan lupa kalo buruknya bakal pergi sendiri nanti, berganti sama yang lebih rapi. Asal lo lawan.” kata Rigel.
Jovanka tersipu, kupu yang memenuhi perutnya sudah berubah jadi gajah rupanya. Berat untuk melepas genggaman tangan Rigel tapi tak tahan juga bila berlama-lama.
Tangannya dilepas, “Sana masuk, gue mau pulang.” pinta Rigel.
Ternyata yang tadi cuma kiasan, sifat aslinya memang begini, tak bisa dirubah.