Belajar bagian satu + Bertemu yang ke-satu

Cahaya temaram, sinar matahari pas berada di atas kepala. Panasnya begitu menyengat membuat yang di bumi meluap sambat. Masalahnya bukan pada matahari saja rupanya, tetapi pada Jovanka seorang. Ternyata yang merasa tersengat bukan hanya pada kulit di tubuhnya, tapi juga emosinya. Akankah ia mampu bertingkah biasa saja ketika Rigel berada di hadapannya?

Sesuai janji, hari ini adalah hari pertama Jovanka memulai kegiatan tutoringnya bersama dengan 'yang katanya songong' itu. Pertemuan mereka di kelas 12 IPS 3 menimbulkan gemuruh dalam diri Jovanka. Jujur dirinya enggan, tapi mengingat kata seorang Rigel tentang usaha orang tuanya dalam mempertahankan prestasi belajar anaknya. Jovanka memantapkan diri untuk menemui 'tutornya'.

Tok tok

“Masuk aja langsung.” sahut Rigel dari dalam kelas.

Ketika kaki Jovanka menapakkan diri pada lantai ruang kelas itu, atmosfir ruangan menjadi tak terdeskripsikan seketika. Tatapan Rigel semengerikan ini ternyata? Salah satu pertanyaan yang timbul di benaknya.

“Salam kenal. Rigel.” sapanya singkat.

“Stop liatin gue kek gitu.” sahut Jovanka.

“Besok-besok tepat waktu ya, waktu gue bukan cuma buat tutorin lo.”

“Gue telat?”

“Pake nanya? The schedule is 11.50 dan sekarang jam 12.05, how do you say that?” balas Rigel.

“Yaudah maaf,”

“Duduk. Kita langsung belajar.”

“Belajar apa?”

Nihon go wo benkyoushimasu (日本ご を べんきょうします).” kata Rigel, yang artinya belajar bahasa Jepang.

“Aduh gue gak ngerti.” rajuk Jovanka.

“Buka paket jepang, kita mulai dari bab 1.”

“Lo bisa hiragana katakana, kan?” tambah Rigel.

Yang ditanya hanya geleng kepala. “Terus tujuan lo masuk Bahasa ini apa?” “Karena gue ngira Bahasa bakal jadi yang paling gampang?” sahut Jovanka. “Ngaco, di Bahasa lo belajar lebih dari 3 Bahasa. Gak ada yang gampang.”

“Hafalin hiragana, huruf 'a' (あ) sampe 'wo' (を). Contoh aja dulu dari buku paket, abis tu nulisnya baru dilatih.”

Setelah diberi perintah seperti itu, Jovanka menurut saja. Seorang gadis dengan kelakukan metal yang biasanya kurang kerjaan, kini menuruti perintah seorang siswa sepantarannya, guru tutornya.

Huruf 'a' (あ) hingga mi (み) telah dilewati. Sampailah pada huruf 'mu' (む), Jovanka terhenti. Menatap Rigel memberi isyarat bahwa dirinya kesusahan menulis huruf yang ini.

“Sampe mana?” tanya Rigel.

“Mu nulisnya gimana?”. Kemudian Rigel mendekat, mendudukkan diri di sebelah Jovanka dan menyamakan eksistensinya dengan posisi Jovanka.

“Mulai dari sini.” katanya, sambil menuntun gores demi gores dari huruf 'mu' (む) yang Jovanka pertanyakan. “Clear kan?” tambah Rigel.

Dentuman bunyi jarum jam terus berdengung memenuhi indera pendengaran dua insan di dalam ruangan itu. Waktu terus berjalan begitu pula proses belajar Jovanka. Setelah bertanya tentang huruf 'mu', Jovanka segera menyelesaikannya seperti yang diperintahkan Rigel.

Huruf 'a' (あ) sampai 'wo' (を) tuntas dalam satu waktu, dengan bantuan Rigel yang terus-terusan mengacak semua huruf saat sesi tebak-tebakan berlangsung.

“Gue udah boleh pulang belum? Capek, Hiragana ruwet.” pinta Jovanka.

“Besok jangan telat.” balas Rigel, singkat, namun terlihat siratan isyarat untuk menyuruh Jovanka pulang. Energinya yang juga sudah terkuras habis membuat ia segera ingin menghamburkan diri pada bantalan empuk di kamarnya.

Ketika Jovanka meninggalkan ruang kelas dan menyisakan Rigel sendirian di kelas, Rigal bergumam, “Padahal aslinya mah bisa, dasarnya dia aja males.”