Ikhlas, Lepas, Mendarah.

Ketika pesan terakhir dari Lorenzo berujung gantung, Ella menunggu.

“Loren, kamu langsung berangkat kah?” “Loren, let's meet as if it's our last chance.” “Although it is. Ayo ketemu.” Kalimat-kalimat yang sama terus berputar dan menggentayangi Ella.

Ella memutuskan keluar rumah untuk mencari udara segar. Pikirnya, udara tak akan protes ketika ia bernafas dengan mengeluarkan rasa sakit. Sakitnya membukit tak terbendung. Udara pasti biarkan rasa itu terhembus begitu saja, terbawa pada ruang dan waktu yang berbeda, pergi jauh.

Ketika ia kembali ke rumah, asanya terduduk di badukan depan. Tersenyum pilu, menatapnya lesu memancarkan manik penuh harap.

“Ah, kemeja navy lengan pendek, celana baggy berwarna cream selutut, dan waistbag itu. Apa harus datang dengan style yang membuatku lemah seperti itu?” batin Ella bergemuruh.

“Hi,” sapa Lorenzo.

Ella terdiam, justru ia berniat tak menggubris kehadiran Lorenzo. Hampir saja ia memasuki rumah, Lorenzo menahannya.

“Talk to me first.” pinta Lorenzo.

“I can't.”

“La, aku mau pergi. Didn't you want me to say goodbye first?”

“Aku mau.” balasnya. “And then?” tanya Lorenzo.

“Aku gak bisa, Loren. Seeing your face makes me wanna hold you without letting you go. And that'll be hurting me even more.”

“Aku masuk, ya?” tambah Ella.

Lorenzo pasrah, he let his love go. Atau justru kebalikan? Ella is the one who let her love go?

Ketika Ella sudah setengah berjalan dan Lorenzo sudah setengah siap untuk berangkat. Ella membuka urungan niat, ia berputar arah, berjalan kembali ke halaman depan, berharap Lorennya masih setia disana.

Berharap apa kamu, Ella?

Lorenzo masih disana. He's still there. Sudah setengah badannya masuk ke dalam mobil, hampir memakai sabuk pengaman, namun niat menekan starter mobil terurungkan. Ella memanggilnya.

“Loren,”

Yang dipanggil bereaksi secepat kilat, memutarbalik tubuhnya seraya meminta jawaban. “Ya?”

Beradu tatap seakan tak akan ada pemenang, sangat lama.

“I wanna hug you tight.” pinta Ella. Kemudian Loren dengan sigap membuka sabuk pengamannya, berjalan menuju Ella.

And then they hugged. So tight, I can feel the warmth, mixed with the hurts.

Semakin erat peluk karena tak tau kapan akan bertemu dengan asanya lagi. Saling mengelus punggung, berisyarat “it's okay, it's okay”. Tak ada yang akan baik saja, keduanya berpura-pura kuat tapi malah menjadi bodoh.

” I love you.” bisik Ella, peluknya semakin erat.

Lorenzo terdiam, hanya tersenyum pada punggung kesayangannya.

Kemudian peluk seerat akar menopang pohonnya itu terlepas. “I gotta go, La. Follow me?”

“Enggak, Loren. Aku disini.”

“Fine then. Take a good care of yourself, don't think too much. Semesta merestui kita, La,” katanya.

“Lewat doa.” tambahnya.

Lorenzo kembali memasuki mobilnya, memakai seluruh kelengkapannya, menyalakan mobilnya. Sudah bersiap menginjak pedal gas, Ella berucap lagi, “Love you,” gumamnya lirih sambil tersenyum.

Lorenzo membaca gerak bibirnya dan membalas, “Love you too,” dengan senyum tak kalah manis.

Lorenzo pergi.

And then, they let it go.

They let it go.

Let It Go .