tuanmudalee

cw // kiss, a little bit 🔞

Sesampainya di rumah Lavender, sang empunya langsung menarik tangan Kei tergesa menuju kamar tidurnya. Bahkan Kei tak diberi waktu untuk sekedar bicara dengan sang Bunda.

Mampus gue, mampus! Batin Kei.

Terdapat sedikit penyesalan dalam diri Kei karena bertindak “tak biasa” hari ini. Ia tak tahu jika Lavender akan meresponnya seperti ini. Kei merutuki dirinya sendiri sampai-sampai ia tak sadar jika kini dirinya sudah berada di dalam kamar si kapten, Lavender.

“Ka-kapten,”

Alih-alih menjawab, Lavender menolehkan kepalanya, ia berjalan ke arah Kei yang berada di belakangnya, membuat Kei melangkah mundur hingga punggungnya bertemu dengan pintu berbahan kayu jati itu.

“Hmm?” yang keluar dari ranum Lavender.

“I thought this is what you want and waiting for?” bisik Lavender tepat di depan telinga Kei. Nafas Lavender terdengar jelas di telinga Kei, membuat empunya memejamkan mata erat-erat. Lavender-nya ini... meresahkan.

Tanpa menunggu respon dari Kei, Lavender berjalan lebih dulu ke arah kasurnya, mendudukkan diri kemudian menyamankan posisi dengan kedua tangan ke arah belakang menumpu berat badannya.

“Sini.” perintahnya sambil matanya mengisyaratkan Kei untuk duduk di pangkuannya.

Kei mengerti.

Jangan pernah lupa bahwa ucapan Lavender bagai sihir buat Kei, Kei dengan senang hati menuruti semuanya.

Kei kemudian mendudukkan diri di pangkuan Lavender perlahan. Ia tak berani menyentuhkan pantatnya di paha Lavender—seperti orang duduk pada umumnya. Lavender sendiri merasa jika posisi duduk Kei sekarang sangatlah kaku.

Lavender menyeringai. Satu tangannya ia bawa untuk bertengger di pinggang kecil yang biasanya ia rengkuh dimanapun ia berada. Pinggang kecil yang selalu memenuhi ruang pada lingkaran lengan kekarnya.

“Chill, Barbie Doll.” ucap Lavender menenangkan Kei dengan mengusap-usapkan tangannya di pinggang kecil Kei.

Kei sedikit terperanjat saat mendapati afeksi seperti itu.

“Santai. Duduk kaya biasanya kamu duduk, Sayang.” ucap Lavender lagi. Tanpa memberhentikan kegiatan usap-usapnya pada pinggang Kei.

“L-laven...” cicit Kei.

“You know what, Barbie Doll? When you're talking to someone, you must've look them into their eyes. Am I right?“

Kei meneguk ludahnya kasar. Ucap demi ucap yang Lavender lontarkan seakan mengintimidasinya.

Kei pun memberanikan diri menatap yang lebih tua beberapa bulan di depannya, “Laven...” panggilnya lagi.

“Mau apa, Cantik? Bilang.”

Kei menjatuhkan kepalanya lagi. Menduduk dalam saat Lavender bertanya seperti itu. Bukannya dia yang mau ngapa-ngapain? batin Kei.

“Bu-bukannya.. kamu yang mau.. itu.. sesuatu..?” ucap Kei terputus-putus.

Lavender lagi-lagi menyeringai. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Kei yang masih setia menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“I do control myself, Cantik. Kalo gak ditahan, dari kapan lalu juga kamu udah aku makan habis.”

Kei memejamkan matanya, lagi.

“Bilang. Kamu mau apa, hmm?” tanya Lavender sekali lagi.

Kei menarik dan membuang nafasnya dalam diam.

“K-kiss me...”

“Where should I kiss you, Barbie Doll?”

Kei menatap Lavender, mengubah ekspresi wajahnya, kemudian hanyut dalam rengkuhan Lavender sepenuhnya.

Kei berbisik di telinga yang lebih tua dengan nada yang dibuat amat sensual, “Kiss me all over my body.” katanya kemudian mengecup cuping telinga Lavender kilat.

“Errghh.. Keith Senja!”

Mendengar geraman Lavender membuat Kei semakin tertantang. Kei yang tadi malu-malu sudah hilang entah dibawa siapa.

Lavender pun melingkarkan kedua lengannya pada pinggang Kei, menarik Kei mendekat sehingga tak ada lagi jarak sejengkal pun di antara mereka. Badan keduanya saling menempel, dada keduanya saling bertemu, bahkan hidung keduanya bertabrakan.

“Kamu yang minta, ya.” ucap Lavender.

Adegan yang Kei tunggu pun terjadi. Lavender menciumnya, tepat di bibirnya. Lavender bahkan melumat juga mengerjaikan bibir berbentuk hati itu.

“Eumhhh..”

Kei mengeluarkan lenguhannya ketika tangan Lavender beralih mengusap pantatnya.

“Haaahh! Lavender, udwh!” pinta Kei sambil meremat pundak yang lebih tua. Ia kehabisan nafas. Atau sebenarnya karena ia malu karena ciumannya amatiran padahal Lavender menciumnya dengan amat lihai?

Kei lagi-lagi menundukkan kepalanya saat Lavender melepaskan lumatan itu. Jembatan saliva yang terhubung di antara bibir Kei dan Lavender berhasil menciptakan rona merah pada wajah imut Keith Senja.

“Kamu yang minta, Sayang.” ucap Lavender kemudian mengambil tangan Kei untuk ia kecupi dengan sayang. Ia kecup setiap inchi-nya seakan besok tak dapat ia lakukan lagi.

Kei mengangguk sebagai respon.

“Enak?” tanya Lavender.

Kei mengangguk lagi.

“Ini bibirnya cuma bisa buat ciuman apa gimana? Manggut-manggut doang kepalanya, bibirnya gak mau ngomong.”

“Enak...

....Mau lagi.”

Dengan itu, runtuhlah dinding penahan Lavender selama ini. Badan Kei dijatuhkannya sehingga kini Kei berada di bawah kukungannya. Kedua lengan kekarnya memenjara tubuh mungil milik Kei.

“Aku gak mau berhenti lagi, ya.” ucap Lavender.

Kei mengangguk kecil.

“Kecuali kamu yang minta berhenti.”

Lavender kembali melumat bibir berwarna merah muda dan mengkilap itu. Menyesapnya di bagian atas dan bawah, memasukkan benda tak bertulang miliknya saat yang dibawahnya mengeluarkan suara surganya, “Mmhhh.”

Lavender berhenti sebentar. Sekedar berhenti untuk menatap si cantik di bawahnya. Tangan yang ia buat tumpuan agar tak menindih Kei pun ia arahkan untuk menyusuri titik demi titik yang ada di wajah sempurna milik Kei.

Mulai dari dahi, ia usap kemudian ia kecup. Kemudian kedua mata dengan netra kecokelatan juga diberi perlakuan sama, hidung bangirnya, kedua pipi gembilnya, hingga kembali lagi ke bibir yang beberapa waktu ini menjadi candunya.

“Do something, Ven.” pinta Kei sambil memejamkan matanya.

Lavender pun memberanikan diri membuka dua kancing teratas kemeja Kei. Menarik kemeja itu ke satu arah sehingga membuat salah satu sisi bahu Kei terlihat. Liurnya hampir menetes saat tulang selangka dan mulusnya kulit tubuh Kei terpampang jelas di depan matanya.

Lavender pun tenggelam di sana.

Lavender menjelajahi leher jenjang Kei, mengecupinya perlahan. Ia tak bermaksud meninggalkan apapun disana. Tapi saat ia sampai pada bahu dan tulang selangka itu, dapat Kei dengar deruan nafas yang semakin kencang dan gesekan gigi dengan kulit yang juga dapat Kei rasakan samar-samar.

Sluurp!

“Aah!“

Kei terperanjat saat Lavender menyesap kulit pada bagian tulang selangkanya kuat-kuat. Kei dapat langsung membayangkan seberapa berwarnanya bagian itu nantinya.

“Aku lagi ngasih tanda buat apapun yang jadi milik aku.” ucap Lavender sambil tetap gencar mengecupi tulang selangka Kei yang terekspos.

“Aaaahh... Lavender...”

Kei tanpa sadar pun meringkuk. Sensasi menggelitik sedang menghampiri tubuhnya setiap Lavender menyesap di bagian yang sama berulang kali.

Lavender yang sedari tadi asik dengan dunianya sendiri pun menghentikan kegiatannya. Ia mendongak. Ingin memastikan keadaan kesayangannya yang oh, ternyata... sudah berantakan. Hehe.

Lavender kembali duduk. Ia menuntun Kei yang masih setia memejamkan matanya lemas agar duduk di pangkuannya lagi.

“Hey, Cantik.” panggil Lavender sambil menyisirkan rambut Kei yang menutupi matanya.

“Eung?” Kei menatap bingung. Oh, udah? batinnya.

“Maaf, ya? Am I going too far? Did I make you feel uncomfortable? Bilang, Sayang.”

“Harusnya aku yang minta maaf.. Maaf aku masih amatiran, aku gak bisa jago kaya kamu, aku juga suka banyak gerak. Ih, malu.” balas Kei sambil menutupi wajah mungilnya dengan kedua tangannya.

Lavender mengambil tangan Kei yang menutupi wajahnya, mengusapnya sayang, kemudian mengecupi punggung tangan itu.

“Semua orang juga gitu awalnya.” katanya menenangkan Kei.

“Makannya sering-sering latihan sama aku, ya? Biar jago.” ucap Lavender menggoda Kei.

“Lavender!!!!!!”

“Tapi enak 'kan? Suka 'kan?”

Kei mengangguk malu, “Humm.. Enak..” cicitnya.

“Makasih, Kapten, udah nurutin permintaan aku yang aneh-aneh.” tambah Kei.

“Ini gak aneh-aneh, Cantik. Wajar aja kalo kamu minta. Lagian sama-sama mau, gak ada salahnya dong?”

Kei tersenyum, “Hehehe, I love youuuu.”

“I love you more than anything. Selain Bunda, kamu orang kedua yang selalu aku doain, aku khawatirin, aku jagain sepenuh hati, aku sayang-sayangin supaya jangan sampe ada yang bikin sakit hati pokoknya. I love you, Cantik.*

“Lavender,” panggil Kei.

“Hmm, Sayang?”

“TERUS INI MERAH-MERAHNYA DITUTUPIN PAKE APA COBA?!?!?” protes Kei sambil melotot.

Lavender tertawa seakan tak berdosa, padahal semua itu karena mulut nakalnya.

“Nginep aja, ya? Aku telfon Tante, nanti aku izinin kamu nginep dulu semalem.”

Kei kebingungan. Ia tak bawa persiapan apa-apa. Baju, charger hp, alat mandi, dan lain-lain.

“Pake baju aku dulu, Sayang. Merah-merahnya dipikirin nanti, oke?”

Kei kemudian mengganti kemejanya dengan longsleeve super besar berwarna putih milik Lavender sambil terus memikirkan bagaimana cara menutupi kemerahan yang telah menyebar di sekitar leher hingga tulang selangkanya.

— fin.

Kei menghela nafas saat mendengar bel istirahat kedua berbunyi. Selama pelajaran, ia dan Lavender tak bertegur sapa sama sekali. Padahal mereka satu kelas tapi untuk mengajak ke kantin saat istirahat kedua saja Lavender lebih memilih gunakan aplikasi pesan dari pada bicara langsung dengan yang bersangkutan.

Dapat Kei lihat Lavender keluar lebih dulu—dengan wajah datarnya yang super menyeramkan. Membuat bulu kuduk Kei berdiri karena memikirkan apa yang akan Lavender lakukan padanya di kantin. Kei takut.

Ternyata kantin di jam istirahat kedua ini sepi sekali. Semesta seperti tahu kalau Kei dan Lavender sedang tak baik-baik saja. Kei pun berjalan ke arah Lavender yang kini tengah duduk di bangku panjang favoritnya. Jantung Kei rasanya seperti berlomba karena saking cepatnya berdetak.

“Ka-kapten..” cicitnya pelaaan sekali.

Lavender pun mendongak, mendapati pujaan hatinya tengah gugup—terlihat dari gelagatnya, Kei sedikit bergetar sekarang. Membuat Lavender tak tega, hatinya ikut hancur melihat Kei-nya seperti ini.

“Duduk.” ucap Lavender. Apa yang keluar dari mulut Lavender bagaikan perintah yang harus ditaati, Kei langsung duduk dalam hitungan detik.

“Aku minta maaf..” yang Kei ucapkan. Ia tak tahu harus ucapkan apa selain maaf, maaf, dan maaf. Semua memang salahnya. Salahnya karena tak cermat, salahnya karena meremehkan hal seperti ini, dan salahnya karena membuat Lavender hampir hilang percaya padanya.

Alih-alih menjawab, Lavender malah menyodorkan Tupperware berwarna hijau. Lengkap dengan tas juga sendok garpu di dalamnya. “Makan dulu.” katanya kemudian.

“B-buat kamu aja. Aku ud—”

“Makan, Keith. Kamu belum makan, aku tau.” sela Lavender bagai sihir bagi Kei. Lagi-lagi Kei menuruti semua yang Lavender katakan. Ia pun membuka Tupperware itu kemudian melahap makanan yang ada di dalamnya sedikit demi sedikit.

“Itu, dari Bunda.” ucap Lavender. Pandangannya acuh, melihat ke arah yang lain. Kei sedih melihat Lavender jadi seperti ini karena dirinya.

Pada suapannya yang ke sekian ini, Kei terisak pelan. Makanan yang seharusnya terasa nikmat, rasanya hambar. Semuanya terasa hambar karena Lavender marah padanya. Indra perasa memang tak bisa dibohongi. Sendok berisi nasi dan lauk yang siap dimasukkan ke mulut pun tertahan, mengambang pada pegangan tangan Kei begitu saja.

Lavender sontak menolehkan kepalanya saat mendengar isakan itu. Ia kira ia salah dengar, tapi betapa terkejutnya ia saat melihat si cantiknya tengah mengunyah sambil menangis. Hati Lavender mencelos. Bodoh, bodoh sekali, ia biarkan kesayangannya menangis.

Lavender pejamkan matanya sebentar. Menetralkan emosinya yang hampir menerobos ambang kemarahan.

Hiks

Hiks

Isakan Kei terdengar semakin jelas.

“Hey..” panggil Lavender sambil berpindah posisi tepat ke sebelah Kei.

“Sayang, jangan nangis.” pinta Lavender sambil mengenggam tangan Kei yang bebas.

“A-aku minta maaf. Aku tau—hiks—aku salah, tapi lihat—hiks—kamu acuh ke aku kaya gini bikin aku—hiks—sakit hati sendiri. Maaf, aku egois—hiks—kekanakan juga.”

“Sayang, udah ya? Aku gak bisa peluk kamu soalnya ini masih di sekolah. Kalo kamu nangis terus kaya gini, hati aku yang sakit, Sayang. Maaf, aku minta maaf.” balas Lavender, malah balik ucapkan maaf.

Kei menggelengkan kepalanya.

“Kamu gak salah, Kei. Aku yang salah, aku yang salah karena marah-marah ke kamu. Hal yang wajar buat manusia lupa sama sesuatu, hal yang wajar juga kalo misal kamu gak hafal yang mana aku yang mana Raven. It's okay, Sayang. Bukan salah kamu.” ucap Lavender sebisa mungkin menenangkan Kei.

“Eung?” Kei mendongak, memasang wajah bingung dengan bibirnya yang masih mencebik lucu.

“Dihabisin ya, Sayang, makanannya? Itu Bunda yang masak. Gak usah mikirin aku marah atau gak karena sebenernya aku gak bakalan bisa marah sama kamu. Aku minta maaf karena udah kasar ke kamu.”

“Sebenernya aku cemburu.” tambah Lavender dengan suaranya yang teramat kecil.

Kei reflek menolehkan kepalanya ke arah Lavender.

“Beneran???” tanya Kei antusias. Wajahnya tak lagi murung, tapi sisa air matanya masih membekas di pipi gembilnya.

“Apa?” ucap Lavender pura-pura tak tahu.

“Kamu cemburu?”

“Laveeenn,”

“Kapteeen, ih! Jawaabb.” panggil Kei yang kedua kali, sambil menggoyang-goyangkan bahu Lavender.

“Laven—”

“Iya, cemburu. Puas?” sela Lavender, membuat Kei tersenyum puas.

Kei kemudian menatap Lavender, “Aku sayangnya cuma sama kamu. Ravender ya Ravender, kamu ya kamu, dan aku maunya cuma kamu. Lavender Chantiagio, aku maunya dia. Bukan yang lain. Jadi, jangan khawatir kalo aku aneh-aneh, ya?” katanya.

Lavender kemudian mengangguk.

Kei menyodorkan jari kelingkingnya, “Pinky promise?” ucapnya dengan nada menggemaskan. Lavender pun tautkan kelingkingnya dengan milik Kei. “Baikan?” tanyanya. “Baikan!” balas Kei kemudian Lavender mengusak rambutnya.

Tenang, Lavender. Kei cuma punyamu. Hal-hal seperti ini tolong dijadikan pengalaman saja, Kei cuma manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan dan kamu juga manusia biasa yang harus bisa memaafkan kesalahannya itu.

“Hey.” sapa Lavender dari belakang saat ia sampai di tempat Kei menunggu.

“Udaaahh?” tanya Kei dengan tingkah gemasnya, seperti biasa.

Lavender menukik senyumnya kemudian mengangguk.

“Ayo, masuk. Panas bangeet, nanti kamu menciut lagi.” ledek Lavender.

“Dih, gue gigit juga luuu!”

“Waduh, khodamnya keluar.” ledek Lavender lagi, kini ia langsung masuk ke mobil tanpa menunggu Kei. Dasar penggoda.


Saat sudah keluar dari sekolah, Lavender memberanikan diri untuk membicarakan yang sempat tertunda tadi pagi.

“Cantik,” panggilnya.

“Hmm?”

“Cantiiik?”

“Apaaa?”

“Kei Cantiiik?”

“Apaaaa, Sayang?”

Lavender tersenyum lebar, “Gitu dong dari tadi.” katanya.

“Apa? Mau ngomong apa?”

“Soal yang tadi pagi..”

“Iya, kenapa yang tadi pagi?”

“Yang aku gak jadi ngobrol itu loh, gara-gara aku dipanggil Coach.”

“Soal kamu yang adik tirinya Dave?”

Balasan Kei itu membuat Lavender terbelalak. Dari mana dia tau, kan belum sempat ngobrol?

“C-Can?” panggil Lavender terbata. Sebetulnya ia hanya takut jika Kei kecewa padanya. Mau bagaimanapun, harusnya ia beri tahu Kei soal ini.

“Iya. Aku dikasih tau Dave tadi. Pas banget waktu kamu ngechat bilang maaf gak jadi ngobrol, itu.” jawab Kei santai.

“Kamu.. gak marah?”

“Kamu mau aku marah?”

“Enggak!” Lavender menggelengkan kepalanya kuat.

“Ngapain juga aku marah, Ven. Yaudah, sih, kalo emang kalian sodaraan. Aku harus gimana? Takdirnya harus aku ubah gitu biar kalian gak sodaraan? Gak bisa, kan?”

“Gak ada yang harus dipermasalahin juga.” tambah Kei.

“Ven? Kok diem?” panggil Kei saat tak kunjung mendapati respon dari Lavender.

“Aku lagi speechless...”

Kei tertawa, “Kenapa coba?” tanyanya. “Aku ngerasa bersalah, tau. Aku kira kamu bakal marah besar sama aku. Hal kaya gini juga harusnya kamu tahu, kan?”

Kei lagi-lagi tertawa, “Gak ada yang salah, Sayang. Ngapain juga aku marah BESAR?” ucapnya sambil menunjukkan gestur kata besar dengan tangannya.

“Aku keduluan Dave ya berarti?” tanya Lavender kelewat polos.

“Aku minta maaf, ya?”

“Loh, kok malah kamu yang minta maaf?” Lavender panik.

“Ya... soalnya aku tau duluan, padahal kan aku lagi nunggu penjelasan dari kamu. Kamu juga udah niat mau ngasih tau aku.”

“Aku boleh cium, gak?” tanya Lavender gamblang. Kei kemudian mengangguk.

Cup

Lavender layangkan kecup kilat. Mengingat ia sedang menyetir.

“Everything will always be okay, Cantik. As long as you're here with me. Aku bangga punya kamu. Kamu lebih dari sekedar pengertian, kamu selalu ngasih tau aku apapun, sekecil apapun itu halnya, bikin aku tenang banget. Makasih, ya?”

Tangan Kei dibawa Lavender untuk ia kecupi berkali-kali.

“Makasih kembali, Lavender. Selama sama kamu juga aku selalu tenang, there's nothing to worry about.”

“Jangan diciumin mulu tangannya aku. Fokus ke jalan, ih sumpah ya!” tukas Kei. Atmosfer yang awalnya romantis seketika seperti berubah 360°.

Aah, memang hubungan anak muda ada-ada saja riak gelombangnya. Kei si paling bisa mengerti memang cocok dipadu-padankan dengan Lavender si paling penjaga perasaan.

cw // kiss

Sesaat setelah sesi makan bersama selesai, Kei dan kawan-kawan memilih melanjutkan kegiatan mereka dengan bermain. Dari UNO card, remi, ular tangga, sampai Truth or Dare sudah mereka lakukan. Saking asiknya bermain pun, mereka kelupaan jika waktu tengah menunjukkan hampir 12 malam.

Mereka ini.. bukan tipe-tipe remaja yang sebelum jam 10 harus pulang. Lihat saja buktinya? Mereka masih asik ngobrol, ngegibah, bahkan sesekali ketiduran sebentar.

Satu persatu teman mulai pamit pulang, mengingat waktu sudah terlalu malam. Seperti biasa, yang pertama kali pamit pasti Raian. Kei awalnya khawatir karena Raian sendirian, tapi semenjak ada Yoel, Raian jadi sering ditebengin sama dia. Aman lah.

Hingga kini tersisa Riga, Dave, Kei dan Lavender saja. Jangan tanyakan dimana Bundanya Kei karena beliau pasti sudah terlelap sekarang. Sedangkan Morgan, Abangnya Kei, entah sudah kelayapan sampai mana.

“Lo gak balik juga, Rig?” tanya Lavender sambil mengusap-usap lutut seseorang yang tengah nyaman duduk di pangkuannya. Siapa lagi kalau bukan Kei? Sesaat setelah sang Bunda dan Abangnya meninggalkan tempat, Lavender langsung beraksi tanpa rasa takut dan tahu malu. Lavender menyembunyikan wajahnya di punggung mungil Kei, menghirup wangi yang menguar dari rambut lebat Kei, dan menhujani pipi gembil Kei dengan kecupan kupu-kupu. Ia terus menggoda Kei sampai akhirnya Kei pasrah dan memilih duduk di pangkuannya. Tanpa menyadari jika ada seseorang yang sebenarnya tengah terbakar api kekesalan disana.

“Biar apa kalo gue balik sekarang? Lo mau buat aneh-aneh, ya?”

Lavender hanya memekik.

“Auriga, mau gue kasih sentuhan kecil di kepala, gak?” sahut Kei sarkas.

“Ampun. Ini loh, udah mau pulang.”

“Dia tuh kalo pulang gak langsung pulang, Can, sebenernya.” tukas Lavender.

“Elo juga kali. Gak usah cari-cari kesalahan gue.” protes Riga kemudian memakai jaket kulitnya, hendak meninggalkan kediaman Kei sekarang juga.

“Eum.. kalo gitu, gue pamit duluan dah.” ucap seseorang yang sedari tadi tak terlalu banyak berbicara. Itu Dave.

“Oh, pulang sekarang?” Kei basa-basi. Dave kemudian balas dengan anggukan.

“Nitip salam ke Bunda lo, ya. Maaf gue gak pamitan langsung.”

“Gak papa. Lagian udah tidur juga si Bunda.”

Dave terlihat terburu-buru saat memakai hoodie dan merogoh saku celananya—mencari kunci motornya. Entah kenapa, hati Dave terasa mencelos setiap kali melihat betapa nyamannya Kei terduduk di pangkuan adik tirinya itu. Ada sesuatu dalam diri Dave yang membuatnya seakan tak terima dengan sikap “show off” yang mereka berdua tunjukkan itu.

Sebelum keluar dari rumah Kei sepenuhnya, langkah Dave terhenti saat sebuah suara menginterupsi pendengarannya.

“Lo dicari Bunda. Mampir. Kalo ada waktu.” Ucap Lavender segan. Terdengar ada tekanan di setiap kata yang ia ucapakan.

Dave kemudian balas dengan anggukan kemudian pergi meninggalkan rumah Kei.

“Gue balik. Jangan zinah, lo berdua. Awas aja.” peringat Riga kemudian ia juga menyusul Dave, meniggalkan rumah Kei.

Lavender memantau dua pemuda yang baru saja keluar dari rumah Kei dengan seksama. Sampai tak sadar jika si cantik yang berada di pangkuannya itu tengah kebingungan.

“Kenapa, Cantik?” tanya Lavender karena merasa Kei terlalu banyak bergerak, menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, menunggu penjelasan dari Lavender.

“Apa maksudnya?”

“Dicari Bunda? Maksudnya Dave dicari sama Bundanya kamu? Kalian sedeket itu? Sejak kapan? Tapi kelihatannya kalian rival level hard, tuh?”

“Apa sih, ini aku doang yang gak tau?”

Pertanyaan Kei yang bertubi-tubi itu malah membuat Lavender gemas. Kei tak sadar jika bibirnya mengerucut dan pipinya menggembung.

“Aku jelasin besok, boleh? Ini udah malem banget, Can. Udah waktunya tidur.”

“Tapi..”

“Gak usah gusar gitu mukanya. Gak ada yang lagi aku sembunyiin dari kamu, Sayang. Sumpah.” katanya menenangkan Kei.

“Aku pulang dulu, ya, kalo gitu? Kita ketemu lagi besok. Oke, Cantik?” tambah Lavender.

“Hati-hati.” ucap Kei kemudian dengan setengah keberanian yang terkumpul, ia mengecup bibir Lavender kilat.

Saat Lavender hendak membalas, Kei justru menjauhkan wajahnya. “Jangan. Jangan dibales. Aku belum siap bangeeet. Maaf, itu tadi kelepasan..” cicitnya, suaranya memelan di ujung kalimat.

Kei takut-takut. Ia takut Lavender tak terima dengan sikap kekanakannya itu. Namun, yang Kei terima malah usakan ringan di rambutnya. “Gemes banget ini pacar siapa, siihhh? Hmmm?” goda Lavender sambil mencubit-cubit pipi Kei.

“Pacarnya kamuuuu. Udah sana pulang, habis itu bobo. Katanya udah malem, kan? Dah, sana-sana.” usir Kei membuat Lavender tertawa semakin kencang.

“Love you, Cantik. Pulang dulu, ya.”

Dapat Kei lihat Lavender memasuki mobil dengan aman. Lavender kemudian melajukan mobil dan meninggalkan rumahnya.

cw // kiss (on the forehead)

Setelah merasa dirinya siap dengan segala barang yang akan ia bawa ke rumah Kei, Lavender pun berangkat. Mengendarai mobilnya dengan cukup arogan. Maklum, baru dapet SIM.

Sejujurnya Lavender takut. Ia takut Kei tak menerimanya atau bahkan lebih parahnya Kei tak mau untuk sekedar membukakan pintu untuknya. Ada secuil penyeselan dalam diri Lavender. “Sok-sok an surprise, sih.” gumamnya sendirian di dalam mobil.

Sebelum benar-benar sampai di depan rumah Kei, Lavender berkali-kali memeriksa keadaannya. Membetulkan rambutnya. Memastikan semuanya tertata dengan rapi dan sempurna. Kini mobilnya pun berhenti di depan rumah Kei, sebelum turun pun ia kembali menghadap ke center mirror untuk sekedar membenahi helai rambut yang terlepas dari tatanannya.

“Percaya diri dong, Lavender.” ucapnya sambil menuruni mobil, kemudian mengambil barang di kursi belakang. Ia siap bertemu dengan si cantik yang sedang bertambah umur hari ini.

Sesaat setelah Lavender sampai di depan pintu rumah Kei, ia langsung disapa oleh Bundanya Kei, langsung dipersilakan masuk. Namun saat ia masuk, ia dapat melihat raut terkejut terpampang di wajah Bundanya Kei. “Woah!” ucap sang Bunsa sambil tak henti memandangi Lavender.

“Hehehe. Siang, Tante.” sapa Lavender kemudian. Bundanya Kei tak banyak bertanya karena sudah tahu pasti tujuan Lavender datang kesini untuk apa.

“Bentar, ya, Kei dari tadi masih di kamar, tuh. Gak tau ngapain.” ucap sang Bunda.

“Boleh Laven samperin, Tante?” tanya Lavender gamblang.

“Boleh, Ganteng. Sekalian Tante minta tolong bilangin ke Kei, suruh cepet mandi. Kayanya belum mandi, tuh, anaknya.”

“Siap. Lavender tinggal dulu, Tante. Kalo butuh bantuan langsung panggil aja, Tan.” ucap Lavender sambil acungkan jempolnya.


Tok, tok

“Iya, Bunda. Nanti adek mandiii!” seru Kei dari dalam kamar saat mendengar pintu kamarnya kembali diketuk.

“Cantik, ini aku.” ucap Lavender tanpa basa-basi.

Kei melotot saat mendengar suara yang beberapa bulan ini selalu mengisi hari-harinya.

“Ngapain dia kesini?!” keluhnya sambil mengusak wajah kasar. Ia kemudian berdiri dengan sempoyongan, tak ada tenaga untuk beraktifitas, jujur saja.

Ceklek

Kei membuka pintu tanpa melihat wajah Lavender. Kebiasaan Kei. Selalu melihat kakinya dulu dari pada wajahnya.

“Apa?” tanya Kei tanpa melihat wajah pacarnya. Bahkan ia tak awali percakapan dengan sapaan atau pelukan atau apapun yang biasa orang pacaran lakukan. Ia malah keluarkan kata apa. Membuat Lavender semakin yakin jika si cantiknya ini sedang merajuk.

“Selamat ulang tahun, Cantikku.”

“Semoga panjang umur, sehat selalu, rejekinya sekeluarga selalu lancar, segala urusannya juga dilancarkan, tambah rajin belajar, tambah rajin beribadah dan berdoa, tambah say—”

“Stop, Lavender! Kamu tuh gak sad—HAH?!?!”

Ia yang menyela tapi ia juga yang terkejut. Kei menyela ucapan Lavender karena ia merasa Lavender harus lebih dulu minta maaf karena sempat “mengabaikan” nya dari kemarin malam. Kei sudah uring-uringan begini tapi dengan santainya Lavender bertingkah seolah tak terjadi apa-apa. Tapi karena saat menyela matanya tertuju pada wajah Lavender, Kei justru dibuat terkejut setengah mati. Membuat ucapannya juga tersela.

“Lavender, ini.. kamu...” katanya, masih terbata-bata saking terkejutnya.

“Selamat ulang tahun ya, Sayangku. Ini hadiahnya diterima dulu..” ucapnya sambil memberikan satu kotak berukuran cukup besar. “.. Maaf gak bisa kasih yang mahal. Itu hadiah yang pertama, ini hadiah keduanya.” lanjutnya sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Suka, gak?” tanyanya sambil kembali menata rambutnya yang sebenarnya tak berantakan.

“Lavender..”

“Kemarin aku seharian di salon, Sayang. Capek bangeeeet. Ini bleaching sampe level 10, kata orangnya. Terus aku sengaja bales kamu sekalian pagi-pagi aja, biar surprise!” jelas Lavender kemudian memeluk Kei eraaat sekali.

“Lavender, kamu gak perlu sampe segininya tau.”

“Tapi kamu suka, kan?”

“Ya, gimana gak suka? The part of you that I love the most is when you have a blonde hair...”

Ya. Lavender mewarnai rambutnya, lagi. Membuatnya menjadi full blonde. Seperti saat sebelum ia bersama Kei. Lavender tahu jika kelemahan Kei adalah rambut blondenya, maka ia dengan sangat sengaja mengubah warna rambutnya di hari spesial Kei ini.

“Kamu... ganteng banget, Kapten.” ucap Kei sambil terus memandangi wajah Lavender. Jarinya bergerak bebas di atas wajah tampan itu. Menyusuri dagu, rahang, hidung, mata, dahi, hingga rambut Lavender yang kini tak selebat sebelumnya. Lavender mullet sudah hilang, sekarang yang ada hanya Lavender undercut.

“Cuma buat kamu, Cantik.”

“Makasih banyak. Maaf, aku kekanakan pake segala marah ke kamu. Aku cuma sedih aja, disaat yang lain pada ngucapin, kamu kemana? Mana chat aku dari semalem gak dibales, bikin aku jadi makin mikir yang aneh-aneh.” ucap Kei sambil mencebikkan bibirnya.

“Cup, cup. Sayangnya aku, Cantiknya aku, Keicannya aku. Aku minta maaf, ya? Janji besok gak gini lagi, deh. Aku juga ketar-ketir, Sayang, waktu liat chat kamu balesnya ketus gitu. Takut kamu gak mau ketemu aku.” balas Lavender.

“Sekali lagi. Selamat ulang tahun, Keith Senja-nya Aku. I love you to the moon and back, Cantik. Even word couldn't describe how much I love you. Makasih, ya, udah mau selalu ada di samping aku. Sehat-sehat, ya, Sayang? Biar bisa sama-sama terus. Amin.” tambah Lavender kemudian mengecupi dahi Kei berkali-kali.

“Amin. Kamu juga sehat-sehat, ya? Aku sayang bangeeet sama kamu.”

“Udah, ah. Aku gak mau cium-cium kamu. Kamu bau, belum mandi. Ewh!” ejek Lavender sambil menjauhkan badannya dari Kei.

“LAVENDER!!!”

“Ampuuun! Tadi aku disuruh Tante bilang ke kamu, soalnya kamu belum mandiiii.”


“Adekkkk!” panggil Morgan dari lantai bawah.

“Turun dulu, Dek!”

Kei dan Lavender pun turun bersama. Kei kembali dikejutkan dengan kehadiran teman-temannya.

“Yaelah, masih pagi udah pacaran.” ledek Riga, bermaksud menggoda dua pemuda yang turun bersama itu.

“Kei, siniiiii.” panggil Raian memecah kecanggungan di tengah ruangan itu.

“Ini, apaan? Kok.. kesini semua?” tanya Kei kelewat polos.

“Aku yang nyuruh.” sahut Lavender kemudian menghampiri kerumunan orang yang tengah duduk melingkar itu.

“Dih????”

“Biar rame-rame, Can, ulang tahunnya. Lagian sama Tante dibolehin kok. Ya kan, Tan?” kemudian dibalas dengan anggukan dan senyuman oleh Bundanya Kei.

“Ayo, langsung diambil aja makanannya. Nunggu apa lagi?” ucap Bundanya Kei.

Kemudian Raian, Yoel, Riga, Lavender, juga Morgan mengambil makanan yang sudah tersedia secara bergantian.

Saat mereka hendak makan, terdapat satu orang yang datang terlambat. Orang itu masuk ke rumah Kei sambil menggaruk tengkuknya—ia malu-malu. Dapat Kei lihat, terdapat kotak yang bisa Kei asumsikan jika itu hadiah untuknya.

“Lah iniii. Nak Dave kok baru dateng? Ayo sini-sini masuk.” ajak Bundanya Kei kemudian Dave ikut bergabung di dalam lingkaran kecil yang mereka buat.

Lagi, ulang tahunnya kali ini benar-benar membuatnya tak habis pikir. Ia dikejutkan dengan banyak hal dalam waktu kurang dari satu jam. Termasuk kehadiran Dave yang sebetulnya sama sekali tidak ia harapkan.

Kei kemudian menatap Lavender, menuntut penjelasan, matanya seakan bertanya ini kamu juga yang ngajak?. Lavender pun mengangguk kemudian tersenyum simpul.

Sebelum mengambil makanan, Dave berjalan ke arah Kei. Benar saja, ia memberikan kotak berwarna cokelat pada Kei, “Selamat ulang tahun, Kei.” ucapnya singkat. Ia kemudian melenggang pergi.

Canggung yang melanda membuatnya tak sanggup berlama-lama di hadapan Kei, entah apa yang Dave rasakan, tapi jika bisa dideskripsikan dengan kalimat, Dave rasa Dave tengah rasakan sesak di dadanya. Entah, entah sesak untuk apa.

Kei terdiam sebentar, matanya mengikuti setiap pergerakan Dave saat melenggang begitu saja dari hadapannya. Kei kemudian mengangkat bahunya, berusaha acuh dengan keadaan.

Sampai ia merasa handphone yang terletak di pahanya bergetar, membuat senyum di wajah cantiknya mengembang.

Masih ingat soal pengakuan? Masih ingat soal penolakan? Masih ingat soal dua yang putari kota berduaan?

Tak lama dari insiden Kei dan Dave di sebuah cafe, hubungan Kei dan Lavender semakin terlihat kemajuannya. Kei terlihat lebih terbuka, sedangkan Lavender terlihat sangat senang karena kini ia dapat mengajak kei kemanapun, berdua saja.

Buat yang mau baca narasi Kei confess ke Dave, bisa langsung buka di moment aku. Ceritanya lengkap kok. Disini aku cuma nerusin aja. Jadi, aku nulis yang belum sempet aku jelasin doang.


Many more months after

“Dulu aku hampir mau nyerah, tapi sam—” ucap lavender terpotong saat Kei tiba-tiba membawanya dalam dekap. “Aku tau. Sama Rai dicegah, kan? Aku terima kasih banget sama Rai, kalo gitu.” ucap Kei sambil memainkan rambut lebat Lavender.

“Dapetin kamu susah banget, Can.” sahut Lavender. Ia sama sekali tak protes padahal kepalanya sedang ditenggelamkan di antara perpotongan ketiak milik Kei. Bucin.

“Maaf, ya? Aku-nya bodoh juga, sih. Ngapain juga masih ngarepin Dave.” ucap Kei. “Tapi untung aku salah kirim chat ke kamu. Kalo gak ya.. kita gak bisa kaya sekarang.” tambahnya.

“Bahagia gak sekarang sama aku?” tanya Lavender kemudian menyamankan posisinya, telungkup hampir menindih separuh badan mungil Kei.

“Gak butuh waktu lama buat sadar seberapa berharganya kamu di hidup aku. Gak perlu waktu lama buat mikir soal seberapa besar rasa sayang kamu buat aku. Gak perlu waktu lama juga buat bales semua perlakuan baik kamu ke aku. You are an angel, Lavender. Makasih banyak udah dateng ke hidup aku.” balas Kei.

“Kalo bukan kamu juga aku gak bakalan kaya gini, Cantik. Aku rela punya dua kepribadian demi bisa ngejar kamu. Cuma sama kamu aku nunjukkin sisi yang gak bakal bisa dilihat sama orang lain.”

“Gak bisa dilihat bahkan selamanya?” tanya Kei. Lavender kemudian menumpukan kepalanya pada satu lengannya yang tertekuk, “Bahkan selamanya, Cantikku. Cuma kamu. Coba kamu cari, nemu gak kira-kira kesamaan antara aku waktu lagi gak sama kamu dan aku waktu lagi sama kamu.” ucapnya setelah itu.

“Makasih, Kapten, karena udah gak nyerah.” ucap Kei.

“Makasih juga karena mau milih aku, percaya sama aku, bahkan jadi pacar aku sekarang. Sayang banget sama cantikku satu ini.” balas Lavender kemudian menghujani wajah imut Kei dengan kecupan kupu-kupu.

Ada satu yang keduanya sering lupa. Fakta bahwa mereka dipertemukan secara tak sengaja, tak akan pernah hilang sekalipun di telan waktu. Kei yang memilih menyerah dari Dave ternyata dikuatkan oleh Lavender yang justru hampir menyerah dari Kei sendiri.

Setelah bel pulang sekolah dibunyikan, Kei langsung beranjak dari tempat duduknya. Menghampiri Lavender yang masih berbincang ringan soal turnamen hari lalu.

“Tuh, udah ditungguin.” ucap salah satu temen membuat Lavender mau tak mau menyudahi perbincangan itu.

“Tumben cepet beberesnya? Biasanya aku duluan yang nyamperin.” ucap Lavender kemudian berjalan sambil menggandeng tangan Kei. Mereka meninggalkan ruang kelas bersama.

“Pengen makan sesuatu gak?” tanya Lavender sesaat setelah melihat di depan sekolah ramai sekali anak-anak yang mengantri jajanan. “Pengen McFlurry, bolehhh?” tanyanya antusias, matanya membola menunjukkan jika ia sangat ingin McFlurry itu. “Boleh, Cantik. Nanti mampir, ya.” sahut Lavender kemudian keduanya berjalan lagi menuju parkiran motor.


Sesaat setelah memesan McFlurry, Lavender dan Kei melanjutkan perjalanan. Mereka memutuskan untuk dibawa pulang saja.

Angin sepoi-sepoi menerpa kulit wajah Kei, rambutnya yang cukup panjang membuatnya hampir melahap rambut dari pada McFlurry yang sudah berada di ujung sendok. “Mendung, nih. Anginnya kenceng banget.” ucap Kei. Lavender hanya mengangguk.

“Laven, kenapa?” tanya Kei saat melihat raut wajah Lavender yang sedikit muram lewat kaca spion. “Hah? Gak papa, Sayang.” “Dimakan, gih. Keburu cair, tuh.” tambahnya kemudian. “Kamu mau disuapin gak?” Lavender kemudian mengarahkan tangannya yang bebas untuk mengusap lutut Kei, “Buat Keican aja, aku udah kenyang.” ucapnya. Kei pun mengangguk.

“Laven, kalo ada apa-apa cerita, ya?” pinta Kei karena ia merasa Lavender sedikit berbeda. Ditambah, helaan nafas Lavender membuat Kei semakin yakin jika Lavender pasti menyimpan sesuatu sendirian sekarang.

“Can, kita muter-muter dulu, mau?” tanya Lavender dibalas anggukan semangat oleh Kei.

Yang harusnya jarak rumah Kei tak sampai 10 menit, kini menjadi 20 menit lebih. Mengingat Lavender yang membawa keduanya memutari kota yang daerahnya cukup jauh dari rumah keduanya.

“Kei Cantik,” panggil Lavender.

“Iya, Kapten?” “Eh, agak pelan, Ven. Aku mau buang sampah.” tambah Kei setelah melihat ada tong sampah di dekat situ, kemudian menunjukkan plastik bekas McFlurry-nya.

“Oke. Udah.” ucap Kei setelah melempar plastik bekas McFlurry itu ke dalam tong. “Mau ngomong apa tadi?” tambahnya.

“Hmm,” “Kei,” “Kei Cantik, sayang sama aku, gak?” tanya Lavender retoris. “Sayang dong? Kalo gak sayang gak mungkin aku mau jadi pacar kamu.” sahut Kei.

“Beneran sesayang itu sama aku?” tanya Lavender lagi.

“Kapten, denger, ya. Mungkin rasa sayang aku gak sebesar rasa sayang kamu ke aku, tapi aku lagi berusaha kok. Aku juga mau bisa sayang ke kamu kaya kamu sayang ke aku. Aku mau bisa setulus kamu. Makannya, ini aku lagi usaha. Selama aku berproses, kamu jangan kemana-mana, ya? Disini aja, temenin aku.” ucap Kei panjang lebar.

“Ada yang ganggu pikiran kamu, ya?” tambah Kei membuat Lavender tersenyum simpul, Kei bisa melihat itu dari kaca spion.

“Aku sebenernya percaya 100 bahkan 1000% sama kamu. Buat sekarang, aku juga yakin sama diri aku sendiri. Yakin kalo kamu juga sayang sama aku. Meskipun aku gak tau sekarang kamu sayang sama aku kaya gimana, tapi aku gak pernah ragu sama kamu semenjak kamu bilang siap nungguin aku sampe kapanpun itu.”

“Terus yang bikin Kapten kaya gini, apa?” sahut Kei.

“Dave. Dave tadi ngungkit soal kalian yang di cafe itu.” ucap Lavender sambil melirik Kei dari kaca spion.

“Maaf. Maaf, aku sempet ragu. Ragu sama keputusan aku buat ambil langkah sejauh ini sama kamu. Ada perasaan takut kalo ternyata kamu masih tertinggal di belakang dan yang lagi sama aku sekarang ini cuma fatamorgana. Maaf, Keith.” tambahnya kemudian meraih dan menggenggam tangan Kei sekenanya.

“Maunya aku tahan karena aku percaya kalo kamu juga sayang sama aku, tapi gak tau, gak bisa aja rasanya. Maaf, ya? Padahal udah jelas kalo kamu lagi berusaha.” katanya lagi.

Kei kemudian tersenyum setelah mendengar penuturan Lavender.

“Kapten, kita baru mulai. Perasaan takut, khawatir, ragu itu wajar banget. Tapi jangan lupa buat ngelawan mereka, ya? Aku temenin..” ucap Kei kemudian melingkarkan kedua tangannya di pinggang Lavender. “..Jangan jadiin mereka kelemahan buat hubungan ini. Kita bisa kok, pelan-pelan belajar memahami satu sama lain.” lanjutnya.

“Lavender, aku yang sekarang lagi sama kamu bukan cuma fatamorgana. Ini aku. Aku yang sayang kamu, aku yang kamu ajak nonton basket setiap pulang sekolah, aku yang nangis dan minta ditemenin jalan-jalan sama kamu malem itu, aku yang kamu kasih dua buket besar habis itu kamu tinggal turnamen. Itu semua aku yang sama kaya aku yang sekarang. Jadi, jangan dengerin kata orang lain, ya? Percaya sama diri kamu, kaya waktu pertama kali.” tambah Kei kemudian menjulurkan jari kelingkingnya di depan wajah Lavender.

“Janji?” katanya.

Lavender tersenyum dan mengangguk semangat. Menatap Kei dari kaca spion kemudian membalas juluran kelingking Kei, ia tautkan dua kelingking yang ukurannya agak jauh berbeda itu. “Janji, Cantik. Aku janji.” ucapnya.

“I love you, Kapten.” kemudian Kei membawa tangan kiri Lavender untuk ia kecup punggung tangannya.

“I love you more.” sahut Lavender kemudian balas mengecup punggung tangan Kei juga.

Bagai bunga yang baru mekar, hubungan dua pemuda yang kini berada di atas vespa itu sedang dilanda gelombang kecil. Tapi, gelombang kecil itu tak berarti apa-apa karena keduanya mau bersama-sama berusaha. Semua ini bukan hanya soal perasaan saja, tapi soal waktu juga.

cw // kiss

Sesaat setelah Lavender dan Kei sampai di sekolah, Kei dengan sabar menunggu hingga tim basket Lavender menaiki bis yang akan mereka gunakan untuk ke tempat tujuan turnamen.

Setiap beberapa menit, Kei selalu bertanya tentang keadaan Lavender, obat-obatan yang harus Lavender bawa, dan tentang barang-barang yang tak boleh ketinggalan selama Lavender berada dalam perjalanan turnamen. Lavender tentu tak henti mengulas senyum diperhatikan seperti itu oleh si pujaan hati.

“Lo kaya Bunda, deh. Cerewet.” ucap Lavender sambil mencubit pipi Kei gemas.

“Aduuhhh!” protes Kei sambil menjauhkan wajahnya membuat cubitan Lavender terlepas. “Asal lu tau. Ini bukan cerewet..” “Tapi sayang dan perhatian?” sela Lavender membuat Kei memutar bola matanya ke atas. “Yaaa.. gitu?” sahut Kei. “Lu jangan sekali-kali nganggep Bunda lu cerewet, ya! Itu beliau perhatian soalnya, gak mau lu kenapa-napa.” tambahnya kemudian Lavender balas dengan gestur hormat sebagai maksud jika ia paham.

“Jam berapa, deh, berangkatnya?” tanya Kei setelah melihat teman-teman tim Lavender mulai ramai berjalan ke arah titik kumpul.

“Habis gini, kayanya.” kemudian Kei mengangguk.

“Terus, yang maksud lu pembuktian apa?” tanya Kei lagi, namun yang ini sedikit mengecewakan karena pertanyaannya bertepatan dengan Lavender yang tiba-tiba dipanggil, ia diminta berkumpul untuk briefing oleh Coach-nya.

“Coach!”

“Bentar, ya!”

“Lavender ke kelas dulu! Bentaarrrr!”

Teriak Lavender sambil menelungkupkan kedua tangannya di sebelah kanan dan kiri mulutnya. Kemudian ia izin pada Kei juga untuk pergi ke kelas sebentar. “Bentar, ya, Cantik.” ucapnya kemudian berlari kecil meninggalkan Kei. “Jangan kemana-mana.” pinta Lavender saat ia menolehkan kepalanya ke belakang, kemudian lanjut berlari kecil menuju arah kelasnya. Kelas Kei juga.

Tak sampai 10 menit, Lavender kembali dengan 2 orang di belakangnya—orang yang Kei tidak tahu siapa. Kei juga dapat melihat dengan jelas bahwa Lavender membawa banyak sekali barang-barang di pelukannya.

“Apaan, nih?” tanya Kei kelewat polos. Sungguh ia tak tahu harus merespon apa.

Setelah itu, teman yang dibawa Lavender pun satu persatu memberikan bawaan mereka pada Kei.

“Nama gue Riga. Gak penting, sih. Tapi semoga langgeng, ya, sama Gio.” ucap salah satu pemuda yang kini tengah berada di hadapan Kei, memberikan satu buket bunga matahari.

Kei bingung seribu persen, kemudian “Laven?” yang keluar dari mulutnya. Menuntut penjelasan yang sejelas-jelasnya dari Lavender, tentang apa maksud dari semua ini.

“Terima dulu aja, ya?” pinta Lavender dengan nada terburu-buru, karena ia sudah ditunggu oleh sang Coach di titik kumpul. Akhirnya Kei pun menerima buket bunga yang dibawa Riga. Kemudian, tak sampai satu menit berlalu. Teman Lavender yang satunya berdiri di hadapan Kei juga.

“Yoel.” katanya cuek kemudian langsung memberikan satu buket berisi cokelat. Kali ini, Kei sampai melongo dibuatnya. Buketnya memiliki ukuran yang sangat besar.

“Sa-salam kenal. Gue Keith, panggil Kei aja gak papa.” sahut Kei, melirik dua orang yang baru saja memperkenalkan diri, kemudian menerima buket yang dibawa oleh Yoel. “Makasih, Yoel. Makasih, Riga.” tambahnya.

“LAVENDER!” “YOEL!” “AURIGA!” panggil si Coach membuat ketiga pemuda itu sedikit gelagapan karena diburu waktu. Karena merasa urusannya sudah selesai, Yoel dan Riga beranjak dari sana lebih dulu.

Kini tersisa Lavender dan Kei saja. Lavender dapat melihat raut wajah Kei yang dipenuhi dengan kebingungan. “Apa ini maksudnya?” tanya Kei kemudian.

Lavender kemudian mendekat, mengusak rambut Kei sambil menatapnya dengan perasaan berbunga-bunga. “Diterima, ya? Mungkin gak seberapa dan gak seromantis yang lain, tapi gue harap pembuktian di dalemnya bisa bikin lo semakin sadar kalo gue bakal selalu di sini, di samping lo..” ucap Lavender sambil mengusap lembut pipi gembil Kei. “..Maaf juga kalo terkesan terlalu buru-buru. Bukannya gue gak bisa ngikutin alur lo, tapi gue rasa waktu yang paling tepat buat ngebuktiin semuanya itu ketika gue bisa berbuat secepat yang gue bisa. Perasaannya udah ada, tinggal pembuktiannya aja yang lagi nunggu gilirannya dan gue rasa sekarang waktunya.” tambah Lavender.

Kei bingung setengah mati. Kei mungkin tahu soal “pembuktian” apa yang Lavender maksud, tapi Kei tak tahu bagaimana untuk menanggapi kejadian yang sangat tiba-tiba ini. Ia sedikit takut mengambil langkah karena tak mau membuat siapapun kecewa, termasuk dirinya sendiri.

“Lavender..” panggil Kei pelan.

“Cantik,” “Gue berangkat dulu, ya?” “Lo bisa lihat gue duduk di kursi paling belakang, nanti gue dadah dadah ke lo. Oke, ya?” ucap Lavender tanpa jeda.

Kei mau tak mau pun mengangguk, membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua pasti baik-baik saja.

“Laven,” panggil Kei lagi, membuat langkah Lavender berhenti. “Hmm?” sahutnya.

Cup

Kei mengecup pipi Lavender kemudian tersenyum malu, “Semangat, Kapten.” katanya kemudian mengusap lengan kekar Lavender dengan penuh percaya diri.

Lavender terhuyung, “EHHH!” Kei kaget. “Jangan pingsan dulu, belum mulai turnamennya!” ucapnya kemudian membantu Lavender berdiri dengan benar seperti pertama kali.

“Udah, sana berangkat.” kemudian Kei ikut berjalan mengikuti Lavender hingga ke titik kumpul tim basket yang akan berangkat turnamen pada hari ini.

Sebelum menaiki bis, Lavender menoleh lagi ke belakang. Ke arah Kei. Ia tersenyum sebentar kemudian mengayunkan tangannya. “I love you.” yang bisa Kei asumsikan berdasarkan pergerakan bibir Lavender yang dilihatnya.

Kei tersenyum lebih lebar, membalas pamit Lavender dengan ayunan tangan mungilnya dengan semangat.

“I love you too.” bisiknya kemudian.

Ia tak tahu apakah Lavender menyadari itu, ia juga tak tahu apakah Lavender melihatnya membalas perkataannya. Ia tak begitu peduli, sebenarnya. Karena yang terpenting sekarang hanyalah perasaan keduanya yang tengah berbunga-bunga, perasaan yang sebelumnya tak pernah ada, kini ada dan uniknya.. berada di tengah-tengah perpisahan singkat mereka.

Jam dinding menunjukkan pukul 08.00, tak heran sinar jika matahari menyerobos jendela kamar Kei tanpa permisi. Sinarnya yang begitu terang membangunkan salah satu pemuda yang tengah berada dalam satu kasur itu.

“Argh! Sialan, sakit banget!” keluh Lavender saat reflek ingin mendudukkan dirinya, agaknya ia lupa kalau ia habis terluka parah. Akhirnya Lavender pun kembali merebahkan tubuhnya. Berhubung posisinya sedikit miring, ia pun memutuskan untuk menumpu berat tubuhnya pada siku kemudian menatap seseorang yang masih terlelap di sebelahnya. Lavender tersenyum salah tingkah, “Gemes banget kalo tidur.” katanya sambil tangan satunya menahan agar tak meremat-remat pipi gembil Kei. “Tahan, tahan.” gumamnya, suaranya kecil sekali.

“Kalo gue singkirin rambutnya dia kebangun gak, ya? Kasihan, kena mata.” tanya Lavender pada dirinya sendiri. Tangannya sedari tadi ragu-ragu untuk menyingkirkan rambut yang mengenai mata Kei.

“Ah, bodo. Dari pada nanti pas bangun malah kecolok matanya.” katanya lagi, kemudian menyisirkan rambut yang menganggu itu ke belakang telinga pemiliknya.

“Cantik banget, Keith. Coba lo tau kalo gue suka sama lo dari pertama kenaikan kelas 11. Gue suka godain lo, suka ngeledekin lo, tapi lo sadar gak gue juga berusaha buat terus bantuin lo, ada di samping lo tiap kali lo butuh sesuatu? Gue—” “Hmm, gue tauuu.” ucapan Lavender disela tiba-tiba. Saat Lavender mendengar balasan Kei, ia malu setengah mati. Ternyata ia tak bicara sendirian dari tadi.

“H-hah? Gimana?” sahut Lavender berusaha terlihat cool padahal sebenarnya percuma. “Hoaammm!” “Erghhhh!” Kei terus bergumam sambil meregangkan otot-otot pagi harinya, hitung-hitung mengumpulkan nyawanya. “Masih sakit gak? Yang mana yang sakit?” tanya Kei mengalihkan pertanyaan Lavender. “Masih. Perutnya.” sahut Lavender.

“Adekkkk!”

“Turun sini. Temennya diajak yaaaa,”

“Bunda udah masak nihhh.”

Teriak sang Bunda dari lantai bawah. Kei pun bangun, mengambil pakaian yang sekiranya hangat kemudian mengajak Lavender turun ke bawah. “Ayo. Sarapan dulu.” katanya sambil menjulurkan tangannya bermaksud membantu Lavender bangun.

“Keith,” panggil Lavender. “Bisa gak?” “Kei, dari sini, dong. Kejauhan kalo dari situ.” pinta Lavender karena posisi Kei kini di sebelah kiri sedangkan Lavender sebelah kanan. Lavender ingin Kei pindah ke sebelah kanan juga agar memudahkannya meraih juluran tangan Kei. “Dasar jompo.” ledek Kei kemudian berpindah posisi.

“Dah, nih. Ayo berdiri. Masa harus gue gotong?” ucap Kei setelah berpindah posisi, sesuai dengan kemauan Lavender. Lavender pun bangun dari posisinya perlahan. Kedua kakinya sudah menapak pada ubin kamar Kei sekarang, badannya pun juga sudah terduduk sempurna, tinggal berdiri saja.

“Lavender!”

Kei protes.

Karena alih-alih berdiri, Lavender justru menarik Kei sehingga kini Kei duduk menyamping di pangkuannya. Gerakan tiba-tiba itu membuat Kei reflek memukul pundak Lavender cukup keras. “Argh.. Sakit, Kei..” keluh Lavender. “Eh, eh. Aduh. Ya, kaaannn. Lu sih! Jangan aneh-aneh makannya!” tukas Kei sambil berusaha meloloskan diri dari kukungan lengan Lavender di pinggangnya.

“Keith, berhenti gerak. Bisa?” ucap Lavender membuat Kei seketika menghentikan kegiatannya. “B-bisa,” mata Kei pun seperti orang komat-kamit sekarang, menatap kesana kemari. “Maaf...” tambahnya. “Laven, tapi udah dipanggil sama Bunda. Ayo makan dulu. Yaaa?” ucap Kei. Lavender yang mendengar itu kini malah mendusalkan kepalanya di pundak Kei, ia ingin pelukannya dibalas juga. “Sekali bayi tetep bayi,” ledek Kei kemudian membuka kedua tangannya, ia balas pelukan Lavender. “Bayi gede.”

“Udah kan? Sekarang kita turun.” ajak Kei kemudian berdiri dari pangkuan Lavender.

“Gue sayang banget sama lo, Keith.” ucap Lavender gamblang.

Kei kemudian tersenyum sehangat sinar matahari. Kamar Kei pun berani bersaksi jika senyum itu bisa Lavender rasakan kehangatannya.

Tanpa babibu, Kei mengangguk, menggandeng, serta menuntun Lavender pelan-pelan menuju lantai bawah.

Rasa sayang Kei untuk Lavender, biar ia simpan dulu sementara waktu dalam pikiran dan hatinya sendiri. Jika sudah waktunya diutarakan, pasti Kei utarakan.

“Keith,” panggil Lavender sedikit memaksa, nafasnya masih terasa tersendat.

“Gak usah banyak omong dulu. Kita obatin dulu lukanya.” tukas Kei sambil membantu Lavender duduk di sofa ruang tamunya.

Saat Kei membalikkan badan hendak mengambil kotak P3K, Bundanya datang. “Eh, eh. Ini kenapa, Dek? Temennya kenapa?” ucap sang Bunda khawatir kemudian menghampiri Kei dan Lavender.

Kei kemudian melirik Lavender, mengedipkan kedua matanya seakan memberi sinyal supaya tak mengatakan yang sebenarnya pada sang Bunda. Lavender awalnya geleng-geleng, tapi raut wajah Kei membuatnya tak tega.

“Halo, Tante. Saya Lavender. Maaf, malem-malem ke rumah dalam keadaan kaya gini. Ini, saya habis kecelakaan, Tan. Kebetulan ketemu Bang Morgan, terus dibawa kesini. Maaf, Tante, saya ngerepotin.”

“Kalo gitu saya pamit pulang dulu. Makasih, Tante. Kei, makasih, ya?” tambah Lavender kemudian berusaha mati-matian untuk berdiri.

“Shhhh!” Lavender meringis kemudian kembali terduduk ke sofa, saking sakitnya, ia tak kuat menahan lebih lama.

“Eh, udah gak papa. Mending disini aja, diobatin sama Kei, ya, Nak? Gak papa, jangan pulang dulu. Nginep disini dulu juga gak papa, nanti izin sama orang tuanya, ya, kalo sudah enakan?” ucap Bunda Kei sambil mengusap-usap pundak Lavender.

“Adek, nungguin apa? Sana ambilin P3Knya!!!!” tambah sang Bunda kemudian.

Tak butuh waktu lama, Kei kini kembali dengan kotak P3K, handuk kecil, dan air hangat. “Bun, tadi Bunda belum selesai kan di belakang? Bunda lanjutin aja, Laven biar Adek yang bantuin. Adek bisa kok.” ucap Kei. “Bener, ya? Adek gak boleh nakal, nanti malah sakit semua temennya.” balas sang Bunda meragukan Kei. “Enggak, Buuunnn. Janji!” sahut Kei sambil mengangkat peace sign-nya. Kemudian Bunda pun kembali ke dapur, meninggalkan Lavender dan Kei berdua.

Bukannya segera menuangkan obat merah ke kapas lalu mengobati Lavender, Kei justru menatap Lavender lamat-lamat. Ada sesuatu yang harus Kei tahu, mengapa dua orang ini bisa bertengkar di depan rumahnya. “Kenapa, sih, Lavender?” tanyanya kemudian mulai membuka kotak P3K. “Sakit, Kei.” alih-alih menjawab pertanyaan Kei, Lavender malah mengeluh sakit. Kei kembali menatap Lavender, memperhatikan lebam demi lebam yang tercetak di wajah Lavender. Kei meringis melihat semua kerusakan itu. “Sakit banget tuh pasti.” gumamnya sendirian. “Kompres air anget dulu aja kalo gitu, biru-biru gitu soalnya.” tambahnya kemudian.

Lavender memperhatikan tiap gerak-gerik Kei, mulai dari melipat handuk, memasukkannya ke dalam baskom berisi air hangat, memerasnya, hingga kini Kei mengompres luka-lukanya secara perlahan. “Shhhh!” keluh Lavender sambil meringis sambil menahan tangan Kei. “Pelan-pelan, Cantik.” katanya sambil tersenyum pahit ke arah Kei. “Makannya, jangan menye-menye. Segala berantem.” tukas Kei kemudian melanjutkan kegiatannya mengompres luka Lavender.

“Perut gue juga pada biru kayanya.” ucap Lavender saat melihat Kei menyiapkan obat merah untuk penanganan luka selanjutnya. “Terus gue harus apa?” tanya Kei kemudian mengoleskan kapas dengan obat merah itu ke arah luka Lavender yang mengeluarkan darah. “Kei,” panggil Lavender. Betapa kagetnya Kei saat melihat ekspresi memohon Lavender. Ugh, apa lagi kali ini? batin Kei. “Yaudah-yaudah iya! Gak usah kaya gitu mukanya!” Kei akhirnya pasrah.

“Keith,” “Apa?” sahut Kei sambil menempelkan hansaplas pada pelipis Lavender. “Kenapa milih gue?” tanya Lavender buat Kei kebingungan. “Maksudnya?” “Ya, milih gue buat masuk rumah terus diobatin sama lo. Kenapa bukan Dave?” “Gue gak milih siapa-siapa. Cuma gue berusaha bertindak objektif aja, gue gak mau munafik. Capek bohongin diri sendiri mulu.” balasan Kei membuat Lavender mengembangkan senyumnya.

“Kenapa nanya-nanya? Kepo amat.”

“Lucu. Selalu lucu.” sahut Lavender sambil mencubit hidung mungil Kei. “Padahal tetep ngejawab dari tadi.” lanjut Lavender.

“Lagian lu berdua kenapa, sih? Ngerebutin gue?” tanya Kei percaya diri. “Ya, siapa lagi?” balas Lavender gamblang membuat Kei reflek menekan kompresannya di luka Lavender. “Akh, Kei. Sakiiitt.” protes Lavender sambil memalingkan wajah. “Maaf, maaf. Aduh, sorry. Gue reflek.” “Gak papa, udah. Makasih, ya?” balas Lavender kemudian mengarahkan tangan Kei ke bawah untuk ia genggam.

“Perutnya.. perutnya belum?” ucap Kei linglung. Katanya tadi perut Lavender membiru dan ia memohon minta diobati, tapi sekarang ia sendiri yang menghentikan kegiatan Kei. “Gak usah, ini udah lebih lebih lebih dari cukup kok. Makasih banyak, Cantik.” balas Lavender kemudian mengusak kepala Kei gemas.

“Jangan gituuu. Ntar lu gak sembuh-sembuh, gimana? Sini, sekalian aja gue obatin,” “Gue niat ngobatin beneran kok, bukan modus.” tambah Kei mengundang gelak tawa Lavender. “Gak usah, Kei. Beneran gak sesakit itu kok yang di perut. Nanti gue obatin sendiri kalo udah di rumah. Gue gak papa, sumpah. Sini peluk, kalo gak percaya.” balas Lavender kemudian tersenyum mirik.

Kei awalnya menatap Lavender sengit, hingga akhirnya tatapannya melemah kemudian ia membawa Lavender ke dekapan mungilnya.

Tentu saja Lavender kaget. Ia tak mengira Kei benar-benar melakukannya. “Jangan berantem karena gue lagi. Lain kali rebutin hal yang lebih berguna, ya?” ucap Kei sambil mengusap-usap lembut punggung lebar Lavender.

“Gak ada yang lebih berharga dari pada lo sekarang, Keith Senja.” gumam Lavender, pelan sekali.

“Gimana? Gue gak denger.” tanya Kei.

“Gak, gue cuma mau minta maaf. Selain udah bikin keributan gak jelas, gue juga jadi ngerepotin lo, martabak yang udah gue beli juga udah ancur gara-gara kelempar tadi pas habis ditonjok Dave. Maaf.” ucap Lavender semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Kei.

Kei tersenyum dalam pelukan itu, “Cup, cup. Bayi besar, gak usah sedih. Gue gak minta apa-apa kok, soal lu mau nyeriusin gue juga kayanya gue perlu omongin sekarang.” katanya, kemudian membawa wajah Lavender menjauh dari ceruk lehernya.

Lavender menunduk, ia rasa perasaannya akan bertepuk sebelah tangan. Sepertinya Kei akan menolaknya. “Maaf, gue kecepatan. Harusnya gue gak kelewatan gini, lo mau no—” “Kita jalaninnya pelan-pelan aja, ya? Gue gak bakal kemana-mana, Lavender. Gue disini. Jangan buru-buru dapetin gue. Mau sekarang, besok, bulan depan, tahun depan pun gue bakal berusaha jaga hati buat lu doang. Kasih gue kesempatan, ya? Kita nikmatin prosesnya bareng-bareng. Okey?” sela Kei membuat Lavender melongo.

Lavender pun mengangguk antusias kemudian menarik Kei kembali ke pelukannya.

“Makasih, Peri Cantiknya Aku.”

Terlalu nyaman dalam hangatnya tubuh masing-masing, keduanya sampai tak menyadari presensi Morgan di depan pintu sedari tadi.

“Dasar, Anak Baru Gede.” ucap Morgan geleng-geleng kepala kemudian tanpa babibu menyelonong masuk ke kamarnya.