Bergerak Lebih Jauh

Jam dinding menunjukkan pukul 08.00, tak heran sinar jika matahari menyerobos jendela kamar Kei tanpa permisi. Sinarnya yang begitu terang membangunkan salah satu pemuda yang tengah berada dalam satu kasur itu.

Argh! Sialan, sakit banget!” keluh Lavender saat reflek ingin mendudukkan dirinya, agaknya ia lupa kalau ia habis terluka parah. Akhirnya Lavender pun kembali merebahkan tubuhnya. Berhubung posisinya sedikit miring, ia pun memutuskan untuk menumpu berat tubuhnya pada siku kemudian menatap seseorang yang masih terlelap di sebelahnya. Lavender tersenyum salah tingkah, “Gemes banget kalo tidur.” katanya sambil tangan satunya menahan agar tak meremat-remat pipi gembil Kei. “Tahan, tahan.” gumamnya, suaranya kecil sekali.

“Kalo gue singkirin rambutnya dia kebangun gak, ya? Kasihan, kena mata.” tanya Lavender pada dirinya sendiri. Tangannya sedari tadi ragu-ragu untuk menyingkirkan rambut yang mengenai mata Kei.

Ah, bodo. Dari pada nanti pas bangun malah kecolok matanya.” katanya lagi, kemudian menyisirkan rambut yang menganggu itu ke belakang telinga pemiliknya.

“Cantik banget, Keith. Coba lo tau kalo gue suka sama lo dari pertama kenaikan kelas 11. Gue suka godain lo, suka ngeledekin lo, tapi lo sadar gak gue juga berusaha buat terus bantuin lo, ada di samping lo tiap kali lo butuh sesuatu? Gue—” “Hmm, gue tauuu.” ucapan Lavender disela tiba-tiba. Saat Lavender mendengar balasan Kei, ia malu setengah mati. Ternyata ia tak bicara sendirian dari tadi.

H-hah? Gimana?” sahut Lavender berusaha terlihat cool padahal sebenarnya percuma. “Hoaammm!” “Erghhhh!” Kei terus bergumam sambil meregangkan otot-otot pagi harinya, hitung-hitung mengumpulkan nyawanya. “Masih sakit gak? Yang mana yang sakit?” tanya Kei mengalihkan pertanyaan Lavender. “Masih. Perutnya.” sahut Lavender.

“Adekkkk!”

“Turun sini. Temennya diajak yaaaa,”

“Bunda udah masak nihhh.”

Teriak sang Bunda dari lantai bawah. Kei pun bangun, mengambil pakaian yang sekiranya hangat kemudian mengajak Lavender turun ke bawah. “Ayo. Sarapan dulu.” katanya sambil menjulurkan tangannya bermaksud membantu Lavender bangun.

“Keith,” panggil Lavender. “Bisa gak?” “Kei, dari sini, dong. Kejauhan kalo dari situ.” pinta Lavender karena posisi Kei kini di sebelah kiri sedangkan Lavender sebelah kanan. Lavender ingin Kei pindah ke sebelah kanan juga agar memudahkannya meraih juluran tangan Kei. “Dasar jompo.” ledek Kei kemudian berpindah posisi.

Dah, nih. Ayo berdiri. Masa harus gue gotong?” ucap Kei setelah berpindah posisi, sesuai dengan kemauan Lavender. Lavender pun bangun dari posisinya perlahan. Kedua kakinya sudah menapak pada ubin kamar Kei sekarang, badannya pun juga sudah terduduk sempurna, tinggal berdiri saja.

“Lavender!”

Kei protes.

Karena alih-alih berdiri, Lavender justru menarik Kei sehingga kini Kei duduk menyamping di pangkuannya. Gerakan tiba-tiba itu membuat Kei reflek memukul pundak Lavender cukup keras. “Argh.. Sakit, Kei..” keluh Lavender. “Eh, eh. Aduh. Ya, kaaannn. Lu sih! Jangan aneh-aneh makannya!” tukas Kei sambil berusaha meloloskan diri dari kukungan lengan Lavender di pinggangnya.

“Keith, berhenti gerak. Bisa?” ucap Lavender membuat Kei seketika menghentikan kegiatannya. “B-bisa,” mata Kei pun seperti orang komat-kamit sekarang, menatap kesana kemari. “Maaf...” tambahnya. “Laven, tapi udah dipanggil sama Bunda. Ayo makan dulu. Yaaa?” ucap Kei. Lavender yang mendengar itu kini malah mendusalkan kepalanya di pundak Kei, ia ingin pelukannya dibalas juga. “Sekali bayi tetep bayi,” ledek Kei kemudian membuka kedua tangannya, ia balas pelukan Lavender. “Bayi gede.”

“Udah kan? Sekarang kita turun.” ajak Kei kemudian berdiri dari pangkuan Lavender.

“Gue sayang banget sama lo, Keith.” ucap Lavender gamblang.

Kei kemudian tersenyum sehangat sinar matahari. Kamar Kei pun berani bersaksi jika senyum itu bisa Lavender rasakan kehangatannya.

Tanpa babibu, Kei mengangguk, menggandeng, serta menuntun Lavender pelan-pelan menuju lantai bawah.

Rasa sayang Kei untuk Lavender, biar ia simpan dulu sementara waktu dalam pikiran dan hatinya sendiri. Jika sudah waktunya diutarakan, pasti Kei utarakan.