Dijaga & Menjaga

“Keith,” panggil Lavender sedikit memaksa, nafasnya masih terasa tersendat.

“Gak usah banyak omong dulu. Kita obatin dulu lukanya.” tukas Kei sambil membantu Lavender duduk di sofa ruang tamunya.

Saat Kei membalikkan badan hendak mengambil kotak P3K, Bundanya datang. “Eh, eh. Ini kenapa, Dek? Temennya kenapa?” ucap sang Bunda khawatir kemudian menghampiri Kei dan Lavender.

Kei kemudian melirik Lavender, mengedipkan kedua matanya seakan memberi sinyal supaya tak mengatakan yang sebenarnya pada sang Bunda. Lavender awalnya geleng-geleng, tapi raut wajah Kei membuatnya tak tega.

“Halo, Tante. Saya Lavender. Maaf, malem-malem ke rumah dalam keadaan kaya gini. Ini, saya habis kecelakaan, Tan. Kebetulan ketemu Bang Morgan, terus dibawa kesini. Maaf, Tante, saya ngerepotin.”

“Kalo gitu saya pamit pulang dulu. Makasih, Tante. Kei, makasih, ya?” tambah Lavender kemudian berusaha mati-matian untuk berdiri.

Shhhh!” Lavender meringis kemudian kembali terduduk ke sofa, saking sakitnya, ia tak kuat menahan lebih lama.

Eh, udah gak papa. Mending disini aja, diobatin sama Kei, ya, Nak? Gak papa, jangan pulang dulu. Nginep disini dulu juga gak papa, nanti izin sama orang tuanya, ya, kalo sudah enakan?” ucap Bunda Kei sambil mengusap-usap pundak Lavender.

“Adek, nungguin apa? Sana ambilin P3Knya!!!!” tambah sang Bunda kemudian.

Tak butuh waktu lama, Kei kini kembali dengan kotak P3K, handuk kecil, dan air hangat. “Bun, tadi Bunda belum selesai kan di belakang? Bunda lanjutin aja, Laven biar Adek yang bantuin. Adek bisa kok.” ucap Kei. “Bener, ya? Adek gak boleh nakal, nanti malah sakit semua temennya.” balas sang Bunda meragukan Kei. “Enggak, Buuunnn. Janji!” sahut Kei sambil mengangkat peace sign-nya. Kemudian Bunda pun kembali ke dapur, meninggalkan Lavender dan Kei berdua.

Bukannya segera menuangkan obat merah ke kapas lalu mengobati Lavender, Kei justru menatap Lavender lamat-lamat. Ada sesuatu yang harus Kei tahu, mengapa dua orang ini bisa bertengkar di depan rumahnya. “Kenapa, sih, Lavender?” tanyanya kemudian mulai membuka kotak P3K. “Sakit, Kei.” alih-alih menjawab pertanyaan Kei, Lavender malah mengeluh sakit. Kei kembali menatap Lavender, memperhatikan lebam demi lebam yang tercetak di wajah Lavender. Kei meringis melihat semua kerusakan itu. “Sakit banget tuh pasti.” gumamnya sendirian. “Kompres air anget dulu aja kalo gitu, biru-biru gitu soalnya.” tambahnya kemudian.

Lavender memperhatikan tiap gerak-gerik Kei, mulai dari melipat handuk, memasukkannya ke dalam baskom berisi air hangat, memerasnya, hingga kini Kei mengompres luka-lukanya secara perlahan. “Shhhh!” keluh Lavender sambil meringis sambil menahan tangan Kei. “Pelan-pelan, Cantik.” katanya sambil tersenyum pahit ke arah Kei. “Makannya, jangan menye-menye. Segala berantem.” tukas Kei kemudian melanjutkan kegiatannya mengompres luka Lavender.

“Perut gue juga pada biru kayanya.” ucap Lavender saat melihat Kei menyiapkan obat merah untuk penanganan luka selanjutnya. “Terus gue harus apa?” tanya Kei kemudian mengoleskan kapas dengan obat merah itu ke arah luka Lavender yang mengeluarkan darah. “Kei,” panggil Lavender. Betapa kagetnya Kei saat melihat ekspresi memohon Lavender. Ugh, apa lagi kali ini? batin Kei. “Yaudah-yaudah iya! Gak usah kaya gitu mukanya!” Kei akhirnya pasrah.

“Keith,” “Apa?” sahut Kei sambil menempelkan hansaplas pada pelipis Lavender. “Kenapa milih gue?” tanya Lavender buat Kei kebingungan. “Maksudnya?” “Ya, milih gue buat masuk rumah terus diobatin sama lo. Kenapa bukan Dave?” “Gue gak milih siapa-siapa. Cuma gue berusaha bertindak objektif aja, gue gak mau munafik. Capek bohongin diri sendiri mulu.” balasan Kei membuat Lavender mengembangkan senyumnya.

“Kenapa nanya-nanya? Kepo amat.”

“Lucu. Selalu lucu.” sahut Lavender sambil mencubit hidung mungil Kei. “Padahal tetep ngejawab dari tadi.” lanjut Lavender.

“Lagian lu berdua kenapa, sih? Ngerebutin gue?” tanya Kei percaya diri. “Ya, siapa lagi?” balas Lavender gamblang membuat Kei reflek menekan kompresannya di luka Lavender. “Akh, Kei. Sakiiitt.” protes Lavender sambil memalingkan wajah. “Maaf, maaf. Aduh, sorry. Gue reflek.” “Gak papa, udah. Makasih, ya?” balas Lavender kemudian mengarahkan tangan Kei ke bawah untuk ia genggam.

“Perutnya.. perutnya belum?” ucap Kei linglung. Katanya tadi perut Lavender membiru dan ia memohon minta diobati, tapi sekarang ia sendiri yang menghentikan kegiatan Kei. “Gak usah, ini udah lebih lebih lebih dari cukup kok. Makasih banyak, Cantik.” balas Lavender kemudian mengusak kepala Kei gemas.

“Jangan gituuu. Ntar lu gak sembuh-sembuh, gimana? Sini, sekalian aja gue obatin,” “Gue niat ngobatin beneran kok, bukan modus.” tambah Kei mengundang gelak tawa Lavender. “Gak usah, Kei. Beneran gak sesakit itu kok yang di perut. Nanti gue obatin sendiri kalo udah di rumah. Gue gak papa, sumpah. Sini peluk, kalo gak percaya.” balas Lavender kemudian tersenyum mirik.

Kei awalnya menatap Lavender sengit, hingga akhirnya tatapannya melemah kemudian ia membawa Lavender ke dekapan mungilnya.

Tentu saja Lavender kaget. Ia tak mengira Kei benar-benar melakukannya. “Jangan berantem karena gue lagi. Lain kali rebutin hal yang lebih berguna, ya?” ucap Kei sambil mengusap-usap lembut punggung lebar Lavender.

“Gak ada yang lebih berharga dari pada lo sekarang, Keith Senja.” gumam Lavender, pelan sekali.

“Gimana? Gue gak denger.” tanya Kei.

“Gak, gue cuma mau minta maaf. Selain udah bikin keributan gak jelas, gue juga jadi ngerepotin lo, martabak yang udah gue beli juga udah ancur gara-gara kelempar tadi pas habis ditonjok Dave. Maaf.” ucap Lavender semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Kei.

Kei tersenyum dalam pelukan itu, “Cup, cup. Bayi besar, gak usah sedih. Gue gak minta apa-apa kok, soal lu mau nyeriusin gue juga kayanya gue perlu omongin sekarang.” katanya, kemudian membawa wajah Lavender menjauh dari ceruk lehernya.

Lavender menunduk, ia rasa perasaannya akan bertepuk sebelah tangan. Sepertinya Kei akan menolaknya. “Maaf, gue kecepatan. Harusnya gue gak kelewatan gini, lo mau no—” “Kita jalaninnya pelan-pelan aja, ya? Gue gak bakal kemana-mana, Lavender. Gue disini. Jangan buru-buru dapetin gue. Mau sekarang, besok, bulan depan, tahun depan pun gue bakal berusaha jaga hati buat lu doang. Kasih gue kesempatan, ya? Kita nikmatin prosesnya bareng-bareng. Okey?” sela Kei membuat Lavender melongo.

Lavender pun mengangguk antusias kemudian menarik Kei kembali ke pelukannya.

“Makasih, Peri Cantiknya Aku.”

Terlalu nyaman dalam hangatnya tubuh masing-masing, keduanya sampai tak menyadari presensi Morgan di depan pintu sedari tadi.

“Dasar, Anak Baru Gede.” ucap Morgan geleng-geleng kepala kemudian tanpa babibu menyelonong masuk ke kamarnya.