Lari!

“Dibilang kapan-kapan aja ngomongnya. Ngeyel amat?” protes Farrel setelah melihat sang adik memasuki kamarnya tanpa permisi.

“Gue bilang gue gak peduli. Gue maunya sekarang.” sahut sang adik sambil berjalan menuju kasur Farrel.

Saat Farrel hendak mematik rokoknya, korek yang ia gunakan tiba-tiba diambil paksa oleh Karrel.

Farrel berdecak kesal.

“Gue bilang jauhin rokok gak jelas lo. Gue mau ngomong..”

Farrel masih acuh.

”.. soal Heaven.” tambah Karrel.

Farrel pun reflek menolehkan kepalanya saat mendengar nama itu disebut.

“Baru dah lo kooperatif sekarang.” ucap Karrel.

“Buruan ngomong.”

Saat hendak membuka mulut, tiba-tiba satu pasukan lain memasuki kamar Farrel—itu Darrel, adiknya yang pertama.

“Ikut dong. Ngomongin apa?” tanyanya sambil menutup pintu kamar Farrel yang belum sempat tertutup.

“Duduk dulu, buruan.” pinta Karrel pada Darrel.

Darrel akhirnya menyamankan posisinya, menelungkupkan badannya dan menumpukan dagunya pada tangannya—siap mendengarkan apapun yang akan keluar dari mulut Kakak dan Adiknya.

“Jadi?” tanya Farrel.

Karrel menghela nafas sebentar.

“Lo tau kenapa kemarin gue tiba-tiba minta lo aja yang nganter Heaven balik?”

“Emang kemarin pada kemana?” sahut Darrel.

Clubbing.” balas Farrel dan Karrel bersamaan. Darrel terbelalak.

“Gak tau. Kenapa?” ujar Farrel.

Karrel kembali menghela nafas.

“Gue udah mupeng tambah mupeng lagi semalem. Mobil belum jalan sedikitpun tapi racauannya Heaven bikin gue kek, 'Ah biar dianter Abang aja lah'. Disitu posisinya gue kek takut waktu nyetir tiba-tiba apa karena Heaven gak bisa berhenti ngeracau,”

Farrel bingung, “Emang ngomongin apa dia? Aneh banget masa bikin lo makin pusing.” tanyanya.

“Ngomongin lo.”

“HAH?” sela Darrel.

Sedangkan Farrel hanya terbelalak.

“Dia ngomong 'Gue tuh sayang sama lu, Augie' ada 20 kali kayanya. Dia juga cerita awal mula ketemu sama lo, seakan-akan dia punya partner yang lagi diajak ngobrol gitu. Gue awalnya 'Augie siape anjirrr', tapi setelah lo dateng gue jadi tau. Itu lo,”

“Terus?” tanya Farrel lagi.

“Dia juga bilang kalo 'Maaf ya gue denial terus sama perasaan gue, gue cuma takut gue sakit hati lagi. Gue gak mau, Gie. Tapi gue sayang lu', gue pas denger kek.. ANJIIINGGGGG.” ucap Karrel.

Ketiganya terdiam sebentar.

“Ada lagi,” ucap Karrel.

“Dia bilang dia berharap supaya lo gak nyerah sama dia soalnya dia udah sayang sama lo semenjak kedua kali lo jemput dia di tengah hujan deres.” tambahnya.

Farrel melayang, pikirnya serasa tak berada di tempatnya lagi. Tatapnya hampa. Harus apa dia?

“Makannya gue bilang lo jangan nyerah, Bang.” ucap Karrel.

“Emang lo nyerah wak?” sahut Darrel.

Farrel mengangguk pasrah.

“Idih anak Papa kok nyerah sih???”

Tiba-tiba suara bass menginterupsi ketiganya—sang Papa kini ikut memasuki kamar Farrel.

“Pah?”

“Pintunya kebuka sedikit, Papa ngintip.” balas sang Papa sambil tersenyum unjuk gigi.

“Jangan nyerah lah, Bang. Sedikit lagi itu.” kata Darrel.

“Tapi dia ngomong gitu waktu dia mabuk, Dar.” sahut Farrel.

“Orang mabuk justru yang jujur-jujur loh, Bang.” sela sang Papa.

“Lo udah bilang ke dia kalo lo nyerah?” tanya Karrel.

“Udah..” balasnya, suaranya kian melemah.

“Lo udah tau jawaban dia apa pas lo bilang gitu?” sela Darrel.

Farrel yang awalnya menundukkan kepala dengan cepat menegakkan lagi kepalanya. “Belum!” katanya.

“Coba cek sekarang, Bang. Siapa tahu ada keajaiban.” sahut sang Papa sambil menyandarkan tubuh kekarnya di dinding. Senyum merekah seketika terpatri di wajah Farrel ketika melihat balasan dari sang pujaan hati yang hampir terhenti.

“Tapi...” sela Farrel. Ia masih ragu.

“AH GAK ADA TAPI-TAPIAN!” sahut Karrel, Darrel, dan sang Papa bersamaan.

“Lari samperin Heaven sekarang juga!” tukas sang Papa.

Farrel kemudian menatap mata orang-orang kesayangannya satu-persatu, ketiganya pun memberi sinyal berupa anggukan—tandanya Farrel harus pergi sekarang juga.