Coincidence/Destiny?
“Baik. Pelajaran hari ini sampai segitu dulu. Silakan kalian buat refleksi yang berisi kesimpulan Pengantar Ilmu Komunikasi dari semester 1 hingga saat ini. Deadline satu minggu. Dikumpulkan dalam bentuk PPT yang menarik..
.. terima kasih.”
Ucap Pak Febri—dosen Pengantar Ilmu Komunikasi. Fyi, Pak Febri itu dosen muda yang jadi primadona satu kampus. Rumahnya memang di gedung FIK, tapi yang naksir sampai gedung FT, FISIP, FEB juga ada. Resiko punya paras tampan.
Ketika mahasiswa di kelas tersebut satu-persatu meninggalkan kelas,
“Ven, Heaven” panggil Pak Febri.
Heaven yang awalnya sedang membereskan bolpen dan buku-bukunya pun mendongak. “Saya. Kenapa, Pak?” sahutnya.
“Tolong bawakan laptop saya ke ruangan ya? Nanti taruh di meja saja. Saya mau ke depan sebentar menemui anak saya.” pinta Pak Febri.
“Oh.. iya, Pak.”
Heaven pun cepat-cepat mengemasi barangnya kemudian beranjak untuk membawa laptop Pak Febri ke ruangan, sesuai yang diperintahkan.
Jarak dari kelas B ke ruangan Pak Febri tak seberapa jauh, palingan 30 meter. Sudah biasa juga bagi Heaven untuk ke ruangan itu mengingat Heaven adalah asdos pengabdi Pak Febri. Makannya Pak Febri juga tak segan meminta tolong pada Heaven, keduanya memang terkenal sebagai dosen-mahasiswa yang akur.
;
Asik bersenandung dan menyiulkan at my worst by pink sweats..
Brakkk!
.. Tiba-tiba seseorang menabrakkan diri dengan cukup kencang.
“Aduh!”
Selain kesakitan, Heaven reflek terbelalak ketika melihat laptop yang ia dekap terkena tumpahan minuman dari seseorang yang menabraknya barusan.
“Anjing.”
“Oops sorry..”
Ucap Farrel.
Yes, it's definitely him. The one who you guys are waiting for.
Farrel baru saja selesai menemui Papanya yang katanya membutuhkan charger laptop, makannya Farrel kembali dengan nutriboost di tangannya.
“Lu lagi, lu lagi,”
“Minggir.” tukas Heaven kemudian melenggang pergi dari hadapan Farrel.
Bukan karena ia enggan menyapa dengan ramah, tapi setelah 1 tahun tak saling bertegur sapa membuat Heaven sulit mengendalikan degup jantungnya—terlebih ketika berpapasan dengan oknumnya langsung, yaitu Farrel.
Tatapan lembut yang selalu Farrel lemparkan untuk Heaven membuat Heaven seakan tak mau lagi melihat itu, lututnya seketika lemas dan alat geraknya seperti akan berhenti bekerja saat itu juga. Sangat tidak disarankan untuk kehidupan sehari-harinya. Melihat Farrel bagai melihat bahaya sekarang.
“Lo kira gue nyerah ya, Ven?” gumamnya masih setia berdiri di tempat itu sambil melihat punggung Heaven yang perlahan menghilang dari sana.
“Sorry tapi nyatanya gue masih disini. Gak nyerah sama sekali.”
“Sorry gue jadi pecundang satu tahun terakhir ini, tunggu gue bentar lagi ya?” monolognya lagi, kini sambil berjalan menjauh dari tempat itu.
Sambil menimbang-menimbang apa yang akan ia lakukan agar mendapatkan perhatian Heaven lagi, terbersit di pikirannya,
“Atau ternyata lo yang bakal dateng tanpa harus gue kejar lagi? Gue berdoa semoga lo bahagianya sama gue aja, jangan sama yang lain. And I hope it'll coming true as soon as possible.“