Untitled
Coba yang belum baca narasi part 276, baca duluu. Ini ada penggalan kalimat terakhir dari narasi part 276, isinya bakal nyambung sama narasi ini.🥰
Haksa dipenuhi kegelisahan semenjak mengetahui bahwa ternyata sang bunda membawa tamu lain untuk makan bersama.
Haksa sangat menyayangkan mengapa sang bunda terus-terusan menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah ia berikan? Orang itu satu-satunya penyebab Haksa tak bisa menjemput kesayangannya, Naya, padahal sudah sepakat berangkat bersama. Haksa membenci semua orang, katanya.
Tanpa aba dan tanda, sang bunda memperkenalkan orang itu pada Haksa. Dengan mudahnya mengatakan bahwa mereka akan bertunangan dan menyuruhnya untuk melakukan pendekatan sesegera mungkin. Apa-apaan? tentu saja itu yang ada di benak Haksa. Perjodohan dengan embel-embel makan bersama? Bagaimana perasaan Naya nanti? Haksa sungguh tak bisa menyakiti Naya lebih dari ini.
Alasan Haksa mengajak Naya untuk kabur saja adalah itu. Haksa mau menjaga perasaan Naya semampu yang ia bisa. Naya terlalu banyak menopang beban dunia, Haksa ingin untuk jangan lagi.
Part 276 : You right, Nay. Sekarang kita berdua, tapi setelah masuk kita gak tau bakal jadi sepecah apalagi hubungan kita., batin Haksa sambil berjalan pasrah mengikuti Naya.
Flashback ON!
Setelah memasuki rumah Haksa, Naya melihat senyum merekah menyambutnya, teman-teman Haksa berjejeran, hingga matanya sampai pada tujuan akhir yaitu Bunda Haksa sendiri. “Pagi tante..” sapanya sambil menganggukkan kepala.
Yang disapa hanya membalas dengan senyuman, ya bisa dibilang senyum kecut. Tak lama dari itu, Naya mulai asik menimbrung obrolan Haksa dan teman-temannya yang lain. Tentu disana ada Zavi, Azka, dan kawan-kawan. Hingga akhirnya sekeliling ruangan dipenuhi rasa kebingungan, Bunda Haksa memanggil seseorang. Ternyata yang dipanggil ada di dapur sedari tadi.
“Ta, tolong bawain sisanya ke meja ya sayang, bantuin tante nata.” pinta sang bunda.
Ta? batin Naya. Sudah mulai terbersit pikiran-pikiran buruk namun dengan legowo ia menyingkirkan semua itu.
“Ta siapa, bang?” akhirnya ada yang bertanya, itu Venus.
“Tau dah, ntar lo pada liat sendiri aja.” balas Haksa tanpa ekspresi, seakan sudah terlampau malas.
“Jangan lemes-lemes gitu aca ih.” sahut Naya.
“Tuh, jingin limis-limis giti ici ih, turutin dong.” sela Azka dengan nada mengejek.
Kemudian seseorang yang eksistensinya membuat orang-orang bingung akhirnya muncul.
“Weh udah pada kumpul? Rame banget ternyata,” “Naya juga dateng? Haii!” katanya.
“Elo?” balas Naya keheranan.
“Loh cantik kenal sama dia?” tanya Bunda Haksa kemudian yang ditanya angguk-angguk.
“Kenalin ya A' Azka, A' Zavi, A' Venus, A' Rey, A' Kaje, ini Zenitha, calon tunangannya Haksa.” ucap Bunda Haksa lagi.
“Bun, elah, udah dong?” sela Haksa.
“Kan katanya Aa udah sepakat?” balas sang bunda sambil sesekali mencuri pandang pada Naya.
Zavi dkk kebingungan dong? Kelimanya menatap Haksa, menuntut penjelasan kurang lebih seperti ini “Maksud? Ada Naya loh disini?”
Yang dituntut penjelasannya hanya diam saja, pasrah.
“Kok malah diem-dieman, yuk makan yuk.” sela Zenitha.
Makan bersama berjalan dengan semestinya, lancar namun berliku. Tergambar kan seperti apa kira-kira keadaannya? Hingga akhirnya semua sudah selesai dengan makanannya masing-masing. Zenitha kembali membantu Bunda Haksa untuk membersihkan meja bahkan mencuci piring.
Di sisi lain, Naya reflek berdiri dari kursinya dan mulai memungut piring-piring bekas makanan yang dipakai oleh teman-teman Haksa. Namun terhenti ketika maniknya terkunci dengan tatapan Zenitha, “Berdua ya beres-beresnya?” tanya Naya.
Namun Bunda Haksa menyela, “Gak usah, Naya. Biar tante sama Zenitha aja yang beres-beres. Zenitha sudah biasa bantu mamanya juga. Orang kaya mah mana bisa?” katanya.
“Ibun...” panggil Haksa dengan mata tertutup, ia sedang menahan amarahnya.
(sumpah sedih banget yang ini)
Akhirnya dengan tatapan nanar, Naya kembali duduk dan menyatukan piring-piring itu untuk diberikan pada Zenitha. Ia tidak percaya perasaannya kembali disigar oleh kesakitan lagi kali ini. Pasti ia sesak sekarang, ingin sekali segera pulang.
Selang beberapa waktu, mereka memutuskan untuk sekedar bermain uno, bernyanyi bersama, dan bersendagurau.
Hingga pada akhirnya, “Nay, apa kabar?” tanya Zenitha, membuat situasi di sekelilingnya meredup.
“Great, Zenitha. Thanks, hbu?”
“Zenitha?” tanyanya.
“Nama lo kan?”
“Oh iya, me too btw,”
“Naya, gak balik nak? Udah mau malem nih,” tanya Bunda Haksa dari kejauhan.
“Oh iya tante sebentar lagi,” balas Naya.
“Ayo pulang, Nay, aku anter.” sahut Haksa. Haksa sudah berdiri dan akan mengambil jaket dan kunci mobilnya namun lagi-lagi ia dibuat murka.
“A' mau kemana? Kan ada Zenitha, Naya kan bisa pulang sendiri.” ucap sang bunda.
“Bun, jangan bikin Aa marah?”
“Aa,”
“Aduh ok ok, Aa diem di rumah. Terserah Ibun,” Ia kembali duduk dan melempar tatapan sedihnya ke arah Naya, ia membuat Nayanya dijatuhkan berkali-kali hari ini. Sayang, maaf,.
“Aku bisa pulang sendiri kok, Ca. Aku pamit ya kalo gitu.”
“Gue anter.” sela Azka, lagi-lagi Azka.
“Gak usah, Zka. Aman gue.”
“Searah kok, tenang.” katanya.
Akhirnya semua pun ikut berpamitan pada sang tuan rumah, hari mulai gelap dan teman-teman Haksa akan menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk kembali ke Bandung.
“Tante Ayu, makasih banyak yaa,” kata Azka.
“Tante makasihhhh,” kata Venus.
Dan makasih-makasih lainnya bersahutan dari mulut teman-teman Haksa, hingga yang terakhir Naya.
Sambil menyalimi tangan Bunda Haksa, “Makasih tante Rahayu ajakannya, Naya pamit pulang hehe.” kemudian dijawab, “Iya sama-sama. Besok jangan balik lagi ya, Haksa udah punya Zenitha soalnya.”
“IBUN!” sela Haksa, nadanya meninggi, sangat tinggi.
“Oh iya tante, pasti. Naya minta maaf ya tante. Naya permisi.” sahut Naya lagi.
Kemudian ia pulang.