tuanmudalee

It's been a while, right? Gue disini sekarang, bersama adek-adek gue; Jibran, Ansel, dan Rachel. 4 tahun dan gue gak nyangka gue berdiri bukan sebagai pemain bola terkenal tapi sebagai CEO handal (sombong dikit gak papa) sekarang.

Kayaknya banyak banget yang harus gue ceritain ke kalian ya? Aahh gue bingung harus mulai darimana, kehidupan gue kalo dipikir-pikir aesthetic juga.

Flashback ON

Empat tahun yang lalu, setelah kejadian Ayah kecelakaan, Ayah gak apa-apa kok, Ayah sehat tapi dengan keadaan lumpuh seumur hidup. Ayah sempat stress dan kami yang mendampingi Ayah selalu berusaha mendukung Ayah sekuat yang kami bisa tapi kayaknya Ayah terlalu lelah berduel dengan semesta dan memilih mengakhiri hidupnya; Tak ada lagi Candra buat gue dan Jibran, meskipun Surya gue sudah kembali tapi siapa yang mau menyinari tiap malam gue di malam-malam yang akan datang setelah ini? Ayah itu orang hebat, apapun yang Ayah mau – Ayah dapat tapi sayang kemauannya yang terakhir kali adalah untuk mengakhiri hidupnya sendiri.

Maka dari itu gue sekarang disini kerja sekeras dan sehebat Ayah, supaya orang lain bisa menemukan figur Ayah di dalam tubuh yang berbeda. Gue gantikan Ayah melanjutkan perusahannya, dibantu adek-adek gue.

Flashback Off

JJ Comp diganti jadi JJ Bro N Co, Tau gak sekarang Jibran ngapain? Jadi selebgram tau dia, banyak endorsean dan siapa sangka dia itu jago nyanyi. Anak perusahaan JJ Bro juga dihandle Jibran sesekali. Kalo Ansel sekarang bolak-balik Jerman-Indo, Ansel pengusaha sukses sekarang, perusahaannya di Jerman gak kalah tinggi sama gedung-gedung pencakar langit di Hawai!

Kalo Rachel, tugasnya cuma temani Bunda. Kami bertiga sebagai kakak Rachel dan lelaki yang baik, berwibawa, dan bijaksana gak ngebolehin Rachel untuk kerja-kerja dulu, lagian kita udah mampu buat biayain apapun yang keluarga ini butuh kok.

TMI, kadang kami tinggal seatap kalo lagi ada waktu luang, kumpul-kumpul ringan sambil cerita kayak 'how was your day?' gitu-gitu deh.

“Gak ada yang harus disesali selama Ayah sudah gak lagi disini; hidup berjalan sebagaimana mestinya dan Tuhan sudah merencanakan kemana kaki ini harus dibawa. Semua ini pelajaran dan kalo kita gak melewati luka darimana kita bisa jadi dewasa? JIAKH YA GAK”, ucap Javiero.

— Bunda kaget waktu Jav tiba-tiba ada di rumah sakit, dengan tampilan yang sedikit acak-acakan dan nafas yang terengah-engah. “Loh Kak? kamu kok pulang? turnamenmu gimana?” tanya Bunda ikut tergesa-gesa.

“Gak apa-apa bun, masih ada pemain cadangan, lagian Ayah lebih penting” serunya, namun tak lama tatapannya berpindah menatap seseorang di samping Bunda, Jibran. Jibran hanya menunduk setelahnya, tatapan kakaknya mengisyaratkan kemarahan dan tersirat kebencian disana.

“Lo, ikut gue, gue mau ngomong sama lo” ucap Javiero.

“Loh kemana? Kak kamu jangan marah-marah loh sama adekmu, bukan salah adekmu” sela Bunda.

Javiero melengos saja tanpa membalas Bunda, diikuti Jibran di belakangnya. — “Kenapa?” tanya Jibran, “Sorry, kalo lo mau pukul gue gak papa pukul aja” sambungnya. Sebenarnya tangan Javiero sudah terangkat saat itu juga tapi tertahan karena lagi-lagi teringat Ayah, Ayah, Ayah.

Javiero memejamkan mata sekilas guna meredakan emosinya, sambil sesekali mengambil-membuang nafas. “Gue gak kayak gitu. Gue cuma mau ceritain aja semuanya ke lo, gak ada penolakan dek. Kalo denger dari Ayah atau Bunda gak bisa, lo bisa denger dari gue”, ucap Jav seakan tanpa boleh disela.

— “Jadi semuanya kayak gitu. Gue tau ini sulit buat lo tapi lo juga harus liat sisi positif dari semua kejadian ini.

Lagian permasalahan gak akan selesai kalo gak ada komunikasi. Jujur gue sedikit kecewa sama lo tapi gue gak bisa ngerasain gimana rasanya jadi lo, jadi ayo kita sama-sama perbaiki semuanya, bareng. Ada gue, dek, dan jangan lagi ngerasa semesta gak butuhin lo” ucap Javiero.

Sorry kak, bener kan gue bilang, gue belum bisa sekuat lo dan ini semua buktinya”

“Gak apa-apa. Setiap orang yang mau jadi versi lebih baik dari dirinya juga butuh proses kali,

By the way, ada satu rahasia lagi yang belum lo tau.. “Apa?” potong Jibran, “Lulus SMA handle perusahaan Ayah yuk?” ucap Javiero dengan mudahnya.

“Waras lo?”, tanya Jibran sambil memegang dahi kakaknya sekalian memeriksa siapa tau kakaknya masih mabuk bekas perjalanan luar kota.

“Serius anjir, ini tuh amanat tau namanya. Ayah sendiri kok yang suruh”

Gak ada di dunia ini istilah bertengkar yang lama buat Javiero dan Jibran. Dunia serasa selalu milik berdua, sedikit bertengkar banyak candaannya.

Kalo kata Payung Teduh, sedikit cemas banyak rindunya. Kayak gitu deh mereka.

Bagian entah keberapa;

Dua malam berlalu tapi tidak dengan urusan perasaan Jibran. Perasaan tentang ' i can't deal with that thing ' masih menyeruak dalam dirinya. Masih belum juga Jibran tau tentang fakta 17 tahun yang lalu.

Suara ketukan pintu memecah kegiatan monolognya, “Dek, ini Ayah, boleh masuk nggak?” suara yang terdengar di sebrang sana. Jibran bangkit dari zona nyamannya lalu membukakan pintu buat Ayah tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, hanya gesture yang ditunjukkannya menandakan Ayah boleh masuk.

“Kenapa Yah?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Udah siap belum dek? Ayah bahkan belum sempat minta maaf sama kamu loh..” balas Ayah tanpa basa-basi juga.

“Ji gak tau kapan Ji siapnya. Sebelumnya Ji mau tanya, Ayah pernah gak kepikiran gimana rasanya jadi Ji?

Ayah memang belum cerita tapi sisanya Ji menerka sendiri kok, udah kebaca sama Ji.

Lagi, Ayah pernah gak kepikiran gimana sedihnya Ji waktu tau bunda gak ada? pernah gak ayah kepikiran gimana rasanya punya bunda tapi hidup tanpa bunda dan ternyata semuanya cuma kebohongan, 17 tahun yah, 17 tahun”

Ayah berjalan mendekat, berniat ingin berbagi kehangatan dengan anak bungsunya “Ayah boleh peluk nggak?” tanyanya.

“Ayah, Ji minta maaf. Ayah bisa keluar gak? semakin Ayah mau ungkap semua semakin Ji menyalahkan diri Ji sendiri. Ji butuh waktu lebih lama” sela Jibran bahkan sebelum Ayah merengkuh daksanya.

Tanpa pengulangan dari Jibran, Ayah langsung keluar. Berusaha mengerti keadaan dan perasaan Jibran.

“Ji mau keluar, cari angin. Jangan cari Ji, Ji pergi sendiri cuma sebentar, nanti Ji pasti pulang” sambarnya setelah menutup pintu kamarnya dan melengos begitu saja keluar rumah.

Jibran, ayo bangun!

Lagi, sudah hampir satu minggu Jibran masih berbaring di atas bantalan empuk rumah sakit. Belum ada tanda pergerakan apapun, bahkan pergerakan jari seperti yang di film-film pun gak ada. Namun satu hal yang harus disyukuri, Jibran sekarang sudah dipindahkan ke ruang paviliun biasa, bukan di ICU lagi.

Hari ini hari Jumat, biasanya Jibran pergi beli pangsit mie ayam bareng Ayah atau mungkin lagi nongkrong di mdc sama Rachel? Ayah setia nunggu Jibran bahkan sampai dibelikan pangsit mie ayam, siapa tau karena bau pangsit di dekatnya jadi Jibran bisa terbangun.

Tepat hari ini juga, Jav berangkat turnamen ke luar kota. Fyi, selain aktif di organisasi kayak OSIS, Jav juga jago olahraga. Jav jago banget futsal, sudah langganan juga jadi salah satu siswa yang terpilih untuk ikut turnamen futsal di luar kota. Jadi, yang nungguin Ji hari ini cuma Ayah, sesekali digantiin sama Bunda.

“Bangun dong dek, apa gak capek merem terus” ucap Ayah. Disambung dengan Bunda yang menyapukan jemarinya, menyusuri helai demi helai rambut milik Jibran.

“Maafin bunda dek, ayo bangun, bunda mau ceritain semuanya sama adek. Kakak udah tau, emangnya adek gak kepo juga?” ucap Bunda sedikit melantur.

✨✨✨✨✨✨

Ternyata Tuhan mengabulkan lontaran kalimat ayah dan bunda yang sedikit melantur itu lewat pergerakan badan Jibran. Tuhan dan semesta sangatlah baik dalam menjaga Jibran sampai ayah dan bunda merasa tidak pantas memiliki Jibran. Jibran buka mata perlahan, tak ada yang harus dikejutkan. “Ayah? ngapain disini?” ucapnya pelan. Ayah dan bunda masih kayak orang komat-kamit, gak percaya Jibran sudah sadar bahkan anaknya itu malah langsung mengucap sesuatu.

“Dok, dokter!!!” teriak Ayah, “anak saya dok tolong di cek, bener sudah baikan kah?” ucapnya tergesa-gesa.

Dokter datang dan langsung memeriksa Jibran dengan stetoskopnya, katanya, “Puji Tuhan pak, Jibran sudah membaik. Anak kuat memang, keadaanmu jauh lebih stabil dari yang sebelumnya, nak! bagus! Jam makan siang habis gini ya pak, bu, nak Jibran boleh langsung makan ya setelah ini,

Saya tinggal dulu pak, bu”

“Terimakasih banyak dok” jawab Bunda antusias campur terharu campur bahagia, campur-campur aduk.

“Ini siapa, yah?” sela Jibran tiba-tiba.

“Ini bunda, nak.. Bunda Karin, gak kenal bunda ya?” sahut Bunda.

i

i

i

Everything's okay.

Setelah proses transfusi yang dilakukan Ayah, Dokter dan rekan-rekannya pun langsung menindaklanjuti Jibran. Menyelamatkan layaknya ribuan nyawa yang sedang bersandar pada satu daksa.

Ayah tengah diinfus sekarang, masih terkulai lemas, tapi tidak selemas itu. Beliau itu Ayah Tito, maka beliau kuat.

“Yah, jangan banyak gerak duluuu Jav disini gak kemana-mana”

“Ah ayah capek tiduran pengen main ps sama anak-anak ayah lagi” rajuk Ayah.

“Mas... kamu ini loh”

“Iya-iya bun, jangan marah-marah toh”

“Suami takut istri” pekik Jav pelan.

“Apa Jav?”

“Gak ayah beliin cilok lagi kamu, awas yaaa” sambung Ayah.

Sempat-sempatnya bercanda di tengah kondisinya yang kayak gitu, bener kan kata aku? Kuat bahkan baja pun tertandingi.

“Bun gelisah banget, jangan gitu dong mukanya” goda Ayah.

“Jibran gimana ya mas, khawatir banget aku”

“Habis makan kita berdoa bareng yuk bun, yah? Rencana Tuhan itu yang paling indah & kita sama-sama gak tau apa rencanaNya hari ini, besok, dan di masa depan, jadi mending kita satuin doa-doa yang terbaik buat Jibran ya?” sahut Javiero.

“Ohiya yah, ayo ceritain semua ya sehabis ayah udah gak diinfus lagi!!” tambahnya.

“SIAP KAKAK!”

“Mas, ini di rumah sakit kamu kok teriak-teriak, ya Tuhan” sela Bunda.

Another side

Di sisi lain, Bunda dan Javiero masih terduduk di ruang tunggu, saling berbagi kehangatan yang didambakan selama belasan tahun menghilang.

“Kak” panggil Bunda tiba-tiba.

“Apa bun?”

“Maafin bunda ya? Lama banget ya? Gimana rasanya? Ribuan pertanyaan di benak Bunda, Bunda sampai takut untuk utarakannya ke kamu”

“Lama, banget, Bunda... Jav bahkan gak pernah ngira ternyata kayak gini? Jav berharap ini semua jadi akhir, Jav gak mau pisah sama Bunda lagi. Apalagi soal Ayah, gimana bisa Ayah kuat banget nahan pura-pura gak bisa ngomong selama belasan tahun? Kalian dendam banget ya sama Om Bryan?”

“Aduh, kalo membunuh orang gak dosa sudah Bunda bunuh naas orang itu”

“Kok gitu bun?”

“Cerita sekarang nih? gak nunggu ayah dan adekmu dulu?”

“Pengen banget tau sekarang, tapi tunggu Ayah aja deh kayaknya bun? transfusi butuh waktu berapa lama deh?”

“Sehabis transfusi biasanya gak boleh langsung beraktifitas, kak. Apalagi darah yang diambil kan banyak. Mungkin besok atau lusa aja ya?”

“Yawes bun. Aarrghh kangen banget sama bunda” sambung Jav sedikit menggeram.

Bunda Karin cuma ngelus kepala anak sulungnya, harus bahagia dan terluka di waktu yang sama bukan hal yang mudah buat siapapun yang merasakannya, kan?

It wasn't the end, not yet.

Bryan sudah dibawa orang aparat kepolisian untuk diamankan, gimana keadaan yang lainnya? tentu saja campur aduk.

Jav yang ingin secepatnya menuntut penjelasan dari Ayah dan Ji yang masih terpaku di tempatnya karena lengannya seperti mati rasa.

“Jav, bisa nyetir mobil kan? tolong siapkan mobil ayah, adekmu harus cepet dibawa ke rumah sakit” pinta Ayah.

“Saya aja om yang bawa mobilnya, kayaknya Jav masih shock” sela Ansel.

“Oh iya.. tolong ya dek, makasih ya”

✨✨✨✨✨✨

Di rumah sakit, Jibran langsung dibawa ke ruang operasi sebab ada peluru yang tertanam di lengannya sekarang.

Soal aku bilang Jibran kuat, memang kuat kan? selama perjalanan ke rumah sakit jibran terus membuka mata, seolah gak terjadi apa-apa. Dia beneran kuat.

Ayah Tito sedari tadi cuma bisa mondar-mandir, diiringi rasa menyesal yang membelenggu perasaannya sekarang. Kenapa kok harus anakku? pertanyaan yang berulang kali muncul di benak Ayah anak dua itu. Javiero yang juga masih terdiam dan Ansel yang sedang menelfon orang sewaannya untuk segera menuntaskan Bryan.

Tak lupa Ayah menelfon sang istri, Bunda Karin. Sekedar memberi kabar tentang keadaan anak-anaknya dan kabar tentang lokasi dimana ia berada sekarang.

“Halo bun, aku udah di rs, kalo mau kesini hati-hati ya” ucap Ayah yang lagi telfonan sama Bunda.

✨✨✨✨✨✨

“B-bunda...?” sapa Javiero ragu begitu sosok bunda berdiri di hadapannya.

Tak butuh waktu lama, Bunda langsung memeluk erat anak sulungnya dibarengi mengucap beribu kata maaf.

“Adekmu gimana, kak? bunda takut...” tak terasa buliran air mata menetes dari mata indah Bunda.

“Javiero gak tau bunda, cuma Tuhan yang bisa kita andelin sekarang”