Bagian entah keberapa;

Dua malam berlalu tapi tidak dengan urusan perasaan Jibran. Perasaan tentang ' i can't deal with that thing ' masih menyeruak dalam dirinya. Masih belum juga Jibran tau tentang fakta 17 tahun yang lalu.

Suara ketukan pintu memecah kegiatan monolognya, “Dek, ini Ayah, boleh masuk nggak?” suara yang terdengar di sebrang sana. Jibran bangkit dari zona nyamannya lalu membukakan pintu buat Ayah tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, hanya gesture yang ditunjukkannya menandakan Ayah boleh masuk.

“Kenapa Yah?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Udah siap belum dek? Ayah bahkan belum sempat minta maaf sama kamu loh..” balas Ayah tanpa basa-basi juga.

“Ji gak tau kapan Ji siapnya. Sebelumnya Ji mau tanya, Ayah pernah gak kepikiran gimana rasanya jadi Ji?

Ayah memang belum cerita tapi sisanya Ji menerka sendiri kok, udah kebaca sama Ji.

Lagi, Ayah pernah gak kepikiran gimana sedihnya Ji waktu tau bunda gak ada? pernah gak ayah kepikiran gimana rasanya punya bunda tapi hidup tanpa bunda dan ternyata semuanya cuma kebohongan, 17 tahun yah, 17 tahun”

Ayah berjalan mendekat, berniat ingin berbagi kehangatan dengan anak bungsunya “Ayah boleh peluk nggak?” tanyanya.

“Ayah, Ji minta maaf. Ayah bisa keluar gak? semakin Ayah mau ungkap semua semakin Ji menyalahkan diri Ji sendiri. Ji butuh waktu lebih lama” sela Jibran bahkan sebelum Ayah merengkuh daksanya.

Tanpa pengulangan dari Jibran, Ayah langsung keluar. Berusaha mengerti keadaan dan perasaan Jibran.

“Ji mau keluar, cari angin. Jangan cari Ji, Ji pergi sendiri cuma sebentar, nanti Ji pasti pulang” sambarnya setelah menutup pintu kamarnya dan melengos begitu saja keluar rumah.