tuanmudalee

Titik awal pengkhianatan?

CW // kiss So many harsh words guys please be wise.🙏🏻

  • POV Arzi

Setelah gue mendapati chat dari Helenna yang selalu gak bisa gue tolak itu akhirnya gue bersiap untuk pergi ke rumahnya.

Dalam perjalanan, gue sambil mencoba menerka apa sebenernya model dari mimpi buruk yang dia bilang itu, mimpi buruk yang katanya mengusik dia, bener atau cuma akal-akalan dia? Aneh, setiap gue lagi mesra-mesraan sama Naya sebentar, dia selalu aja muncul untuk jadi penengah di antara gue dan Naya.

Jangan tanya kenapa gue selalu turutin Helenna. Gue tau gue berengsek, mungkin lebih dari itu. Ada alasannya kenapa gue gak bisa nolak Helenna.

Almarhumah mamanya yang dimana temen deket nyokap gue pernah kasih wasiat ke gue. Berupa janji untuk jagain anaknya yaitu Helenna.

Masalahnya sekarang adalah gue udah punya Naya dan gak bisa selamanya kayak gini, Helenna have crossed her limit, harus Naya yang selalu gue korbanin perasaannya.


Ceklek

Gue langsung masuk ke rumah Helen tanpa basa-basi dan langsung cari keberadaan dia. Memang terkesan gak sopan tapi rumah Helen udah kayak rumah gue sendiri.

“What's wrong?” dua kata pertama yang keluar dari mulut gue.

“Nothing, it's just I wanna cuddle with you.” jawabnya sambil menarik tangan gue, mengisyaratkan agar gue duduk di sebelahnya.

“Len, kalo lo cuma mau main-main, gue pergi.”

“Mau minum apa, Mar?” balasnya mengalihkan pembicaraan.

“Gak usah, to the point aja lo mau apa.”

“Oke jus jeruk ya.” selanya kemudian meninggalkan gue sendirian di sofa.


  • POV Helenna

“Kenapa lo gak mau notice gue lagi sih, Marziano?”

“Cantikan juga gue dari pada Naya pacar lo yang penyakitan itu.”

Itu monolog dari Helenna, ia diam-diam membicarakan Arzi dan Naya saat membuat minuman.

“Tunggu aja, bentar lagi juga lo luluh lagi sama gue, Mar.”


  • POV Arzi

“Nih, minum ya.” katanya sambil menyodorkan jus jeruk.

“Thanks.”

Kami berdua gak banyak bicara, hanya sekedar diam dan sesekali beradu tatap. Gue berusaha membaca apa sebenarnya yang bocah di depan gue ini inginkan, tapi ternyata gak bisa. Agaknya dia memang cuma bohong supaya bisa nempel-nempel sama gue.

Karena kebosanan yang melanda akhirnya gue memutuskan untuk mainin hp gue. Gue jelas banget lihat ada notifikasi spam chat dari Naya. Gue merasa makin berengsek sekarang.

“Hey, look at me.” kata perempuan di sebelah gue, sambil memegang dagu gue guna menolehkan kepala gue ke arahnya.

Gue cuma diem dan membalas dengan mengangkat satu alis gue yang mungkin bisa diartikan sebagai, “What?”

Cup

Detik itu juga gue langsung mendorong kasar tubuh Helenna, dalam hati gue bersumpah serapah. Bahkan Naya yang notabenenya pacar gue aja gak pernah sentuh bibir gue, bisa-bisanya orang ini..

“Helenna, what the fuck!“

“I know you need it, Marziano.” balasnya sambil berbisik pelan di telinga kanan gue.

“Len, jangan keterlaluan please. Gue udah terlalu berengsek dengan ninggalan Naya demi nemuin lo tapi lo malah nyalahguna-”

Gue dibuat kaget lagi, Helenna menyambar bibir gue lagi, dia memotong pembicaraan gue. Let's say I'm the most stupid man in this world. Bibir Helenna manis, gue.. gue mau lagi. Gue gak munafik tapi gue memang butuh ini. Gue butuh ini dari Naya but she can't give it to me, yet.

Helenna dengan gak sopannya mulai meminta akses untuk menjelajahi lebih lagi dan bodohnya gue turutin itu. Gue hanyut, gue.. rasa bersalah gue ke Naya direngkuh penuh sama rasa berengsek dan nafsu semata karena ciuman bangsat ini. Gue lupa kalau gue punya Naya.

Arzi lupa posisi hpnya sekarang sedang membuka roomchatnya dengan Naya, bahkan ia belum sempat membaca pesan-pesan dari kesayangannya itu.

School

  • POV Naya

Sehabis gue ajak Jeni untuk berangkat ke sekolah bareng gue langsung siap-siap karena kali ini Jeni yang bakal jemput gue dan gue harus selesai sebelum dia dateng.

Gue udah mengarahkan langkah gue untuk keluar dari kamar tapi ada satu hal yang ganjel dalam pikiran gue.

“Bentar, buku tulis matematika udah belum sih?”

Dan akhirnya gue kembali lagi masuk ke kamar untuk sekedar mengecek apa buku tulis keramat itu sudah terbawa atau belum. Halah hanya buku tulis, bisa beli lagi di koperasi. NO, BIG NO. Khusus matematika bukunya harus itu, disitu tersimpan banyak banget kamus harta karun yang kalo gue gak lihat artinya gue gak akan bisa. So, buku keramat itu is my life saver.


“Morning bestie, yuk langsung jalan.”

Di perjalanan kami gak ngomong terlalu banyak, kami berdua sama-sama tipe cewek yang irit ngomong ditambah sifat Jeni yang cuek tapi sekali ngomong blak-blakan membuat atmosfir di dalam mobil Jeni seakan mati.

“Lo gak mau cerita apa-apa gitu?” tanya Jeni yang pertama kali setelah saling diam sedari tadi.

“Emangnya gue harus cerita apa?”

“Arzi?”

“Nanti jatohnya malah gibah pagi-pagi kalo gue cerita beneran hahaha,”

Bagaimana enggak? Gue masih belum bisa lapang dada soal masalah Arzi yang seenaknya ninggalin gue di tempat gelato kemarin.

“Tapi gapapa deh gue cerita dikit nih ya.” sambung gue.

“Arzi nginep di rumah Helen kemarin, fyi aja sih.”

“Lo tau gak posisi dia dimana sekarang?”

“Harusnya udah di rumah sih soalnya pasti ada kuliah hari ini, kenapa emangnya?”

“Mau gue bikin ancur mukanya anjing.”

Lagi-lagi Jeni yang malah emosi lebih dulu, gue cuma bisa geleng-geleng kepala. Masih pagi buta dan dia udah ngeluarin kata-kata kebun binatangnya itu.

“Lo kok betah sih sama dia, Nay? Udah berapa kali dia kayak gini? Sorry banget tapi apa gak mau diakhirin aja?”

Gue juga maunya gitu sih, Jen. batin gue.

Gue gak bales pertanyaan Jeni, gue cuma diem, biarin aja, memang gak ada kalimat yang bisa jadi jawaban buat pertanyaan Jeni buat saat ini, gak tau kalau besok.


Kringgg

Bunyi bel panjang berbunyi itu artinya sekolah sudah selesai, waktunya pulang.

Gue dan Jeni jelas akan pulang berdua. Saat gue lagi asik ngobrol dan jalan menyusuri koridor menuju ke parkiran mobil, gue dikejutkan sama kehadiran seseorang.

“Good afternoon, Princess. Naik yuk?”

Dalam hati gue, anjing kok dia tiba-tiba disini?! mana cakep banget!. Siapa lagi kalau bukan Arzi? Cowok yang kemarin bikin gue kalang kabut sekarang ada di hadapan gue dengan perlakuan romantisnya itu, seperti biasa lah.

“Kak kok disini sih?” tanya gue setelah lamunan gue dibuyarkan dengan koyakkan ringan di bahu gue.

“Yaa, mau jemput kamu? Gak boleh?”

Bukan gue yang justru nyamperin Arzi duluan melainkan Jeni. Gue bisa tebak dia pasti lagi menyumpahserapahi Arzi.

“Gue paham lo ganteng dan mungkin lo tajir tapi jangan semena-mena mainin perasaan Naya. Gue gak tau kejadian kemarin udah terhitung yang keberapa kalinya but I'll make sure if you do dat again, liat aja.”

Setelah mengucapkan ancaman yang lirih namun masih dapat terdengar itu Jeni mundur selangkah kemudian pergi meninggalkan gue dan Arzi disana berdua.

“Temen kamu galak, udah ah ayo pulang.” ucap Arzi sambil menarik tangan gue, mengisyaratkan supaya gue segera masuk ke mobilnya.

Last goodbye.

Jerry, Nanda, Rega juga Aja tentunya sudah berada di bandara sekarang. Ini sudah pukul setengah empat sore yang dimana setengah jam lagi keberangkatan mereka ke Negeri Gingseng.

“Lempeng banget Pak mukanya, kenapa?” Aja yang berbicara, ditujukan untuk Jerry.

“Wis bilang Naura toh? deal kan? baik?” sahut Rega menyela.

Yang diajak bicara diam saja, deal apanya? Nauranya saja sedang marah, tidak ada kabar sejak dua minggu yang lalu. Bukan baik yang ada Jerry berasa meninggalkan suatu tanggung jawab kali ini, karena Naura dan dirinya belum juga berbaikan.

“Heh! diajak ngomong loh malah ngelamun.” ucap Aja sambil menepuk pundak Jerry.

“Baik kok,”

“Kok ragu gitu anjir jawabnya hahaha.” sahut Nanda kini ikut menimbrung.

“Kayaknya.” sambung Jerry.

Jarum jam terus berdenting dan waktu terus berjalan, hanya merapal doa yang bisa Jerry lakukan sekarang. Berharap supaya Naura baik-baik saja tentunya, semoga kesayangannya itu selalu bahagia. Karena entah bisa bertemu kembali atau tidak nantinya maka Jerry harap yang terbaik saja.

“Perhatian, para penumpang pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA328 tujuan Jakarta dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu A12.”

“Ah, panggilan sialan itu!” Batin Jerry. Tak munafik, Jerry masih berharap Naura muncul di hadapannya sekarang, hanya sekedar mengucapkan selamat tinggal, oh bukan selamat tinggal tapi sampai jumpa lagi, itu saja bisa membuatnya tenang. Satu, dua, tiga kali pikirnya pasrah, ya sudah lah, ini sudah jalannya. “See you when I see you, Naura.” dalam hatinya, sambil beranjak dari tempat duduk dan mulai menggeret kopernya.

Tbc.

- - - - - -

BELUM SELESAI LADIES AND GENTLEMAN.

- - - - - - -

“JERRY!”

Deg!

Jerry berhenti sebentar, batinnya, “suara itu, suara itu.”

“REK BENTAR DENGER SUARA MANGGIL NAMAKU GAK BARUSAN?” tanyanya pada temannya sedikit antusias.

“Hah? mana? ayo jalan lagi Jer cepetan ah!” balas Rega.

“JERRY TUNGGU!”

Seettt.. Keempatnya menoleh bersamaan, benar saja ada yang memanggil nama Jerry barusan dan ternyata ini orangnya.

Hah hah hah. Nafas menderu dari mulut Naura, terbata-bata karena berlarian. Ya, itu suara Naura.

Bug!

Bukan suara pukulan, itu suara pelukan. Naura memeluk Jerrynya sekarang. Bagaimana dengan yang lain? Disapa dengan senyum saja, betapa irinya mereka.

“Maafin aku.”

“Buat apa?”

“Nyuekin kamu. Maaf aku gak tau kamu bakal berangkat secepet ini,”

“Kalo aku minta jangan pergi, ah aku egois banget ya? Maaf.” tambahnya.

Naura berucap dengan posisi masih di dekapan Jerry, suaranya teredam karena dada bidang Jerry.

Jerry terus-terusan mengucapkan kata terimakasih pada Tuhan, doanya sungguh terkabul, bahkan Tuhan memberinya lebih. Naura ada di dekapannya sekarang.

“Kami bertiga duluan ya, Love Bird. Omongin dulu baik-baik tapi jangan lama-lama, bentar lagi nih bentar lagi.” ucap Nanda.

Tersisa Jerry dan Naura berdua saja sekarang. “Jangan nangis.” kata Jerry.

“Gak bisa, aku childish banget. Maafin aku.”

“Lepas dulu dong peluknya, aku kan masih disini, kalo orang lagi ngomong ditatap matanya, cantik.”

“Sekarang aja disininya, habis gini kan pergi.”

“Hei, lihat aku, Nau. 5 menit aja aku ngomong, kasih aku kesempatan ya? buat yang terakhir.”

Yang dipanggil mendongakkan kepala, tanpa melepas pelukan.

“Aku pergi dulu ya?”

Tes. Sudah terasa ada yang basah kah di pelupuk mata kalian sekarang? Sebab Naura sudah.

“Bahagia ya di Surabaya? Maaf aku belum bisa ungkapin banyak hal selama aku sama kamu but I've tried my best, Nau. Maaf aku belum bisa nemenin kamu lebih lama lagi disini,”

“Udah baca semua chat dari aku? Harusnya udah ya kalo kamu sampe nyamperin kesini. Makasih ya?”

“Jangan tanya makasih buat apa, jawabannya aku sendiri juga gak tau buat apa karena semua hal yang aku lakuin selama sama kamu itu hal yang harus banget disyukuri dan aku patut berterimakasih sama kamu. Aku sayang banget sama kamu, Nau. No, bukan sayang lagi I guess. But I love you Nau, so much. Gak berhenti aku ulang-ulang ini, kamu harus bahagi ya Nau disini. Even though we can't sharing thoughts like we used to do but I'm still here, Nau. Always.” ucap Jerry sambil menunjuk Naura di bagian dimana biasa orang menyebut itu hati.

“I love you too, Jer. I do. Really do.” ucap Naura dalam hatinya. Jangan marah padanya, ia hanya merasa tak pantas, Jerry harus menempuh hidupnya di negeri seberang, tanpa pikiran soal perasaan Naura. Biar saja perasaan ini jadi miliknya sendiri, yang penting ia sudah tahu kalau sesungguhnya Jerry bereaksi.

“Soal Calvin, aku juga minta maaf udah sembunyiin semuanya dari kamu. Aku gak pernah ada maksud apa-apa, aku cuma gak suka sama gimana cara koko dapet apa yang dia mau dengan mudah, sedangkan aku enggak. Aku juga mau dapet apa yang aku mau, termasuk mencintai dan menjaga kamu, Nau. Menjaga kamu sekaligus memastikan kamu baik-baik aja itu udah jadi kebahagiaan tersendiri buat aku dan aku gak mau kalo sampe koko ambil itu semua dari aku.”

“Jerry, aku bakal bahagia disini, buat kamu. Kamu juga harus bahagia ya? Aku gak tau kenapa Tuhan pisahin kita dengan cara kayak gini but I'm still happy karena kamu pergi buat diri kamu sendiri, buat banggain aku dan orang-orang yang kamu sayangi,”

“No, jangan bahagia buat aku. Bahagia buat diri kamu sendiri, cantik. You deserve it.” sela Jerry.

“Sampai ketemu lagi cantiknya aku. Be happy ya, jangan lupa selalu jaga kesehatan. Sukses terus ya, Nau.” ucap Jerry mungkin untuk yang terakhir, sambil melepas dekapan Naura disambung dengan sedikit mengusap pucuk kepala perempuan di depannya.

“Aku duluan. Good bye cantik.”

Yang diajak bicara diam saja, hanya menatap mata lawan bicaranya sambil terus-terusan meneteskan air mata. Tatapan yang seakan mengharap agar lelaki di depannya menetap.

“Jangan nangis lagi. Aku beneran pergi ya sekarang. Pulang gih, hati-hati ya.” ucap Jerry, mulai berjalan menjauh dari Naura dan melambaikan tangannya.

“JERRY! I LOVE YOU TOO!” ucap Naura berteriak, di tengah kerumunan orang. Ia melawan niatnya ternyata. Logikanya dikalahkan. Ia mengatakannya barusan.

Yang dipanggil menoleh sedikit, memasang senyum tipis, dan melambaikan tangannya lagi. Kemudian melanjutkan perjalanannya lagi.

“See you when I see you, cantik. I know we'll meet again soon. I love you, so much.” gumam Jerry sambil berjalan menghadap ke depan.

Bahagia yang tak lagi tergenggam (?)

“Mau ngomong apa jer?” tanya Naura to the point.

“Aah, ini loh,”

“Yaa, apa???”

“Kalo kamu ada yang mau diomongin gak?”

“Jer, kebiasaan deh. Kan yang mau ngomong kamu?”

“Kamu kenapa deh, Nau? gak enak badan? ato lagi dapet? jangan galak-galak aku takut.”

Sepuluh, dua puluh, tiga puluh detik keduanya terdiam. Maksud kedatangan Jerry kesini adalah untuk menceritakan kabar yang entah bahagia atau tidak didengar oleh Naura, soal ia akan berangkat ke Korea. Lagi, semua malah berujung berantakan, Jerry pulang dengan rasa ketidaklegaan yang masih menyelimuti.

“Jer,” yang dipanggil menolehkan kepala.

“Kamu gak percaya ya sama aku?”

“Maksudnya?”

“Kamu anggep aku apa sih selama bertahun-tahun ini kita temenan?”

“Emangnya kenapa? kok tiba-tiba nanya gitu?” jawabnya sambil tak lupa menunjukkan senyum bulan sabit kepunyaannya.

“Kamu kenapa gak pernah cerita kalo kamu punya kakak? Calvin yang pernah ada di tweet kamu itu bukan kakak kelas kamu kan? tapi kakak kandung kamu, iya kan?

Emangnya susah ya jer untuk sekedar cerita kek “eh aku punya kakak loh” or something like that? Apa yang lagi berusaha kamu sembunyiin dari aku?

I know it's your privacy but untuk tau kamu punya kakak atau enggak that's fine isn't it? wajar aku sekarang bersikap kayak gini, soalnya aku ngerasa, I feel like I'm worthless jerry. Kita temenan bertahun-tahun tapi untuk sekedar cerita aja kayaknya kamu ragu ya sama aku?”

Hampir tiga menit Jerry terdiam setelah ungkapan panjang Naura barusan, harus menjawab apa kalau Naura sudah seperti ini? Jerry tau ini salah, hanya saja, ia melakukan ini karena suatu alasan, bukan sekedar dasar sifat kekanakan saja.

“Kenapa diem aja? gak bisa jawab aku?”

“Nau, bukan gitu,”

“Aku lakuin semua ini ada alesannya kok, dengerin aku dulu ya? ya?”

“I think I can't, Jerry.”

“Nau? please?”

“Sorry. Kamu pulang ya? Maaf, I need some time alone.”

“Nau.. one more chance, please?”

“Aku gak sebenci itu sama kamu jer.”

“Then lemme explain,”

“Jer pulang ya? makasih bobanya, aku suka. Maaf ya. Hati-hati di jalan, jangan lupa sampe rumah cuci tangan sama kaki, minum air putih juga yang banyak ya.”

Tuturnya, padahal suasana hatinya sedang kesal tapi masih sempat-sempatnya ia mengingatkan Jerry layaknya Ibu mengingatkan anaknya.

“*Well.. okay if that's want you want. Sorry Nau, aku pulang.”

hello

Tentang aku dan seisi duniaku.

Sebelum menyusuri lebih jauh cerita ini, alangkah baiknya ku perkenalkan dulu diriku dan seluruh isi semestaku.

Namaku Nayanika Adriana, usiaku 18 tahun. Orang-orang panggil aku Naya, terkecuali bagi mereka yang sudah sangat dekat denganku, mereka menggunakan panggilan Ika.

Aku bukan perempuan baik, cantik, ataupun representasi dari kata sempurna yang lainnya. Seringkali aku merasa aku banyak teman karena aku orang yang berkecukupan. Ya, orang tuaku adalah pemilik perusahaan ternama dan memiliki beberapa cabang hingga di negeri seberang. Tapi apa semuanya membuatku bahagia? Mari bersama telusuri kisah ini untuk tahu kebenarannya.

Sekarang izinkan aku memperkenalkan isi semestaku yang pertama dan mungkin satu-satunya; Haksa Antariksa. Lelaki 18 tahun, sang pekerja keras sekaligus sang penyihir cinta.

Lelaki dengan segala kesempurnaannya. Segala kekurangannya renyuh direngkuh oleh sempurna. Lelaki yang mungkin pertama kali akan kutemui dikala hidupku dan segala isinya hancur berantakan. Lelaki pemilik senyum seluas samudera antartika, seterang bintang vega, dan seindah nabastala senja.

Haksa, satu-satunya sang pemberi tempat beristirahat dikala semesta sedang berubah menjadi jahat.

Tak hentinya ku ucap kalimat yang sama, “pemilik senyum seluas samudera antartika”, itu kalimat penggambaran yang cocok untuknya. Ku harap kalian tak jatuh hati padanya karena aku yang akan lebih dulu merenggutnya.

TBC.

Chaos 2

TW // Family issue


“Aku mau ke Korea.”

Suasana seketika hening, campur keringat dingin, campur jedag-jedug dalam hati.

“Jangan aneh-aneh, dek.” sahut Yuna.

“Aneh-aneh gimana sih, Ma?”

Inilah alasan Jerry selalu mengurungkan niatnya untuk terbuka pada kedua orang tuanya. Apapun yang ia lakukan selalu ternilai seperti bercandaan saja. Sambil memejamkan mata sebentar guna mengatur nafasnya, ia kembali berbicara.

“Selama ini Mama sama Papa gak tau kan apa aja yang aku lakuin? Apa aja kesibukanku selama masih sekolah bahkan sampe lulus kuliah kayak gini? Apapun yang aku ceritain ke Mama sama Papa selalu kelihatan bercandaan ya? Ma, Pa, aku bukan anak kecil lagi. Aku udah tau mana yang bener mana yang salah,”

“Mungkin Mama sama Papa gak mau tau tapi biar aku kasih tau, anggep aja ini yang pertama dan terakhir kalinya Mama sama Papa denger cerita dari mulutku secara langsung,

Aku selama ini ngeband Ma, Pa. Cuma motivasi kecil karena aku dan temen-temen belum juga dapet kerja.

Ternyata orang-orang notice aku dan temen-temen, sampe kami dijamin sama produser,

Mama sama Papa gak tau juga kan kalo selama ini aku udah sering manggung? Haha ya namanya aku anak tersisihkan wajar sih kalo gak dipeduliin,”

PLAK!

Belum tuntas ia berbicara ternyata langsung disambut dengan tamparan keras di pipi kanannya.

“Ma.... mama nampar aku?”

“Gini ya Ma caranya Mama mengungkapkan rasa yang namanya ekspresi?”

“AYO SEKARANG TAMPAR KOKO MA! TAMPAR! TEGA GAK MAMA?!”

“Mama gak pernah ajarin kamu buat jadi anak kurang ajar ya, dek.” sela Yuna.

“Ma? aku bahkan belum selesai ngomong. Segitu gak diapresiasinya ya aku di keluarga ini? Ma sadar gak sih? Apa yang aku jaga dan usahain mati-matian selama ini bisa koko dapet dengan cara cuma-cuma? Ma, arti perjuangan yang aku lakuin selama ini gak pernah ada harganya kalo inget-inget soal itu,”

“Aku ngalah dengan ikut pindah ke Surabaya sejak injek bangku SMA, ninggalin banyak hal di CT, bahkan aku ninggalin perempuan yang aku sayang banget yang sekarang malah jadi pacarnya atau mungkin udah jadi mantannya koko!”

“Itu baru satu hal, Ma, Pa. Yang lain masih banyak. Aku kira dengan ikut pindah ke Surabaya bisa bikin Mama sama Papa notice kalo aku juga layak, sama kayak koko, tapi lambat laun ternyata sama aja,”

“Apa yang aku mau selalu aku korbanin loh Ma demi supaya gak nyusahin Mama Papa tapi disaat koko yang mau itu semua dengan gampangnya koko dapetin tanpa tau kalo disini aku yang harus ngorbanin perasaan sekaligus harapanku,”

“Jujur dari awal aku gak suka koko kesini, karena apa? ya karena aku gak mau apa yang jadi kebahagiaanku di kota ini malah ikut direbut sama dia. Eh ternyata beneran hahaha. Perempuan yang aku sayang banget dari SMA juga ikut diambil sama dia!”

“Jangan tanya siapa! Naura jawabannya, asal kamu tau aku sayang banget ko sama Naura, tapi kayaknya semua sia-sia semenjak kamu dateng kesini. Emang paling bener aku ke Korea biar lupa sama semuanya, udah capek banget aku harus terus-terusan ngorbanin perasaanku.” ucap Jerry panjang sekali seakan tanpa boleh dijeda.

“Jer,” panggil Calvin.

“Aku mau nyiapin barang-barang buat ke Korea. Entah minggu depan atau bulan depan pokoknya secepatnya aku berangkat. Kalo Mama sama Papa gak setuju yaudah, aku tetep berangkat, aku punya cukup tabungan buat hidupi diri sendiri disana. Maaf aku gak nurut.” selanya.

“Terakhir, aku balik kalo aku udah sukses. Biar Mama bisa lebih menghargai aku nantinya karena aku udah bisa besarin namaku sendiri.” tutur Jerry lagi.

Dengan begitu ia langsung beranjak dari duduknya kemudian menuju ke kamar.

Flashback OFF!

“Ya Tuhan aku jahat banget ya? Jerry sampe kayak gitu kemaren, cerita ke Naura apa gak dong ini, bingung banget.” gumam Calvin.

“Ah yaudah lah cerita aja, lagian Jerry sahabatnya kan.” sambil menggidikkan bahunya, tanda pasrah.

POV Calvin.

Setelah mendapati pertanyaan dari Naura, sejenak Calvin memikirkan apa yang terjadi malam itu.

“Emangnya malem itu kenapa ya?” gumamnya.

“OH SHIT!” umpatnya ketika sudah mengingat sesuatu.

- - - -

Flashback ON!

Chaos (?)

Setelah mendapati bahwa perempuan yang diajaknya berkeliling selama ini adalah seorang public figure, Calvin hanya bisa terdiam sejenak, sesekali memikirkan soal bagaimana bisa dirinya tidak sadar kalau yang ia temui adalah seorang Faustina Naura.

Agaknya Surabaya ingin meninggalkan kenangan yang sedikit pahit untuknya, padahal tujuannya hari ini hanya ingin menghabiskan waktu dengan Naura, berdua lagi, di hari terakhir ini tapi ternyata malah berujung seperti ini.

Sembari memasukkan barang-barangnya kembali ke koper Calvin keluar dari kamarnya menuju ruang tamu, kebetulan ada Mami dan Papinya disana. Tak perlu basa-basi, langsung saja ia mendudukkan diri di antara kedua orang tuanya, tubuhnya yang kekar itu seakan membelah tembok penyatu di antara Mami dan Papinya. Berhubung ini juga menjadi hari terakhirnya berada di Surabaya, manja-manjaan sebentar tidak ada salahnya kan?

“DEK, ADEK!” panggil Yuna sedikit berteriak.

“Hm? gak usah teriak ma, aku deket sini.” balas yang baru saja dipanggil.

(Disini Jerry dan Calvin beda ya manggilnya, kalo Jerry manggilnya Mami, Calvin manggilnya Mama, begitu juga Papa Papi)

“Sini duduk sini, gak mau kangen-kangenan sama kokomu? besok dia udah balik lagi loh.”

“Mumumu adeknya koko, sini kith kith peyuukk.” sela Calvin.

“Huweekk hih jijik!” sahut Jerry sambil berjalan menghampiri tempat dimana yang lain sedang duduk disitu.

Setelah menemukan posisi duduk yang paling nyaman, Jerry berpikir sejenak sambil menimbang-nimbang tentang tawaran dari Pak Produser soal ia yang akan diberangkatkan ke Korea. Jerry kira ini waktu yang tepat untuk berbicara pada kedua orang tuanya.

“Ma, Pa.” panggil Jerry namun hanya dibalas deheman oleh keduanya karena sedang asik-asiknya menonton film.

“Aku mau ke Korea.”

Tbc.

Lanjut narasi kedua👇👇

i

u