Perasaannya diliputi keresahan, nafasnya tersendat asap kehitaman, dan darahnya berdesir bagai pasir di padang diterpa angin ribut.

Marko dengan cepat membawa tubuhnya menuju Shailendra secepatnya. Sudah cukup ia berhamburan dan hampir kehilangan jati dirinya selama satu bulan belakangan. Shailendra belahan jiwanya. Jiwa itu utuh dan satu, bila setengahnya tiada, bagaimana figur tubuh sisanya dapat hidup?

“Sayang, wait for me. Aku kesana” gumamnya berulang-ulang sambil terus menambah kecepatan pada pedal gas mobilnya di setiap tikungan yang ia lintasi.

Rintik hujan dan basahnya jalan tak menghalangi Marko menemui Shailendranya. Urusan tergelincir juga tak ia hiraukan, yang penting hanya Shailendra sekarang.

Lampu lalu lintas terakhir sebelum ia benar-benar sampai pada kediaman Shailendra.

Pijakan pada pedal gas ia kendurkan, erat pegang kedua tangan pada benda berbentuk lingkaran ia lepaskan, dan pembatasnya dengan udara penuh kesesakan itu ia beri ruang.

Marko telah sampai, ia keluar dari mobilnya, sesegera mungkin menghampiri yang tersayang.

Tok tok!

Marko gemetar sejadinya, air matanya berlomba-lomba meloloskan diri dari pagar pengurungnya.

Ceklek

Pintunya perlahan terbuka.

Marko sudah sepenuh jiwa dan raga siap menerima segala caci, hujat, serapah yang akan Shailendra dan sang Bunda katakan. Memang ia pantas mendapatkannya. Namun tak apa, ia datang kesini bukan untuk sakit hati, tapi untuk menyembuhkan dan mempersatukan yang sempat hancur agar kembali.

Marko tetap menunduk ketika pintu tersebut telah terbuka sempurna.

Memejamkan matanya erat.

Namun setelah beberapa detik terdiam, Marko justru merasakan usapan lembut pada tengkuk lehernya yang basah karena keringat.

“Masuk, Nak” ucap Bunda.

Sebetulnya ia ingin berlutut di hadapan sang Bunda, namun ia tak punya cukup waktu. “Bun, Eca, bun” hanya itu yang keluar dari ranumnya.

“Di dapur” balas Bunda sambil mengarahkan dagunya ke arah yang akan Marko tuju.

“Makasih Bunda” sahut Marko kemudia beranjak dari sana.

;

“Hey” sapa Marko dari belakang. Shailendra masih sibuk dengan acaranya di dapur.

“Bentar, Jean. Aku masih—”

Ucapannya terputus ketika ia memutuskan untuk berbalik menghadap sang asal suara.

It's me

Shailendra membeku. Seseorang yang ia rindu sekaligus yang membuat matanya menangis tersedu, ada di hadapannya.

Karena melihat Shailendra tak kunjung menunjukkan reaksi, Marko memberanikan diri berjalan mendekatinya.

Satu jengkal lagi hingga Marko dapat kembali meraih daksa seorang Shailendra.

Namun gagal.

Shailendra berbelok arah kemudian pergi meninggalkan Marko.

Apa Marko diam saja? Tentu tidak. Ia ikuti kemanapun Shailendra berjalan. Shailendra itu mata angin sekaligus petanya.

Saat sampai di ruang tamu, Shailendra memanggil sang Bunda sambil melempar raut wajah menuntut seperti, “Dia kenapa bisa disini?”.

Bunda malah mengangguk saja.

Karena tak mendapat jawab pasti, Shailendra dengan berat hati meminta Marko “Pergi.”

“Eca”

“Pergi, Ka”

“Shailendra, dengerin dul—”

“Aku belum siap ka! Aku bilang pergi ya pergi!” tukas Shailendra dengan nada tingginya padahal tubuhnya bergetar.

“Eca, aku ngira ini cara terakhir supaya aku bisa ngomong empat mata sama kamu. Tapi kalo kamu maunya aku pergi, yaudah aku pergi. Talk to me later, Ca. Aku mohon” pinta Marko kemudian perlahan meninggalkan rumah Shailendra.

Shailendra hanya menatapi lantai, ia tak sanggup.

Belum sempat Marko beranjak seluruhnya, satu suara mengusik telinga Shailendra.

Talk to him, gue yang nyuruh”

Itu Jeano.

Shailendra menatap mata Jeano, mencari letak gurauan disana. Namun nihil. Jeano sangat baik dan pengertian terhadapnya selama ini, haruskah ia mendengarkan Jeano kali ini?