Nanda
Sesaat setelah Nanda menjemput Heaven, tanpa basa-basi Nanda langsung membuka google maps dan mengarahkan setir mobilnya ke lokasi tujuan.
Tentu saja ia senang karena Heaven mengajaknya berduaan 3 hari berturut-turut. Tapi di sisi lain, ia juga tak tenang. Mengetahui Heaven dan Farrel putus saja ia tak percaya. Secara, Heaven terlihat jelas cinta mati dengan Farrel, begitu pula sebaliknya. Hal itu yang membuat Nanda acapkali takut-takut ketika hanya berdua dengan Heaven saja.
Kini keduanya telah sampai di lokasi tujuan, Pantai.
Nanda tak banyak melontarkan pertanyaan ketika Heaven mengajaknya pergi ke pantai. Yang ada di pikiran Nanda hanya, oh pengen refreshing kali, maklum orang lagi suntuk. Maka dengan sigap ia turuti permintaan sahabat karibnya itu.
Keduanya kini tengah berjalan depan-belakang. Nanda bagian belakang—bagian membuntuti saja. Sambil membawa sepatunya dan sepatu Heaven yang telah mereka lepas agar tak terkena pasir dan air laut.
Sambil berjalan di belakang Heaven, ia bertanya, “Kenapa tiba-tiba pengen mantai sih?“
Heaven tetap melanjutkan kegiatannya, “Suntuk aja.” balasnya sambil kakinya bermain dengan pasir.
“Menurut lu. Gua mau nurutin permintaan lu kesini karena apa?” tanya Nanda, kemudian menjatuhkan badannya ke pasir—tak lupa menarik lengan Heaven sehingga Heaven ikut jatuh ke sana.
“Aduh! Kok ditarik sih guenya!” protesnya sambil membersihkan bajunya yang terkena desiran pasir.
“Duduk dulu, gembul. Gua cape.” balas Nanda sambil mengusak-usak rambut fluffy milik Heaven.
Heaven akhirnya merebahkan diri, menumpu tubuh dengan kedua sikunya. Membiarkan wajah cantiknya terpancar oleh silaunya matahari sore. Matanya berkali-kali mengerjap karena saking silaunya, tapi tak apa, Heaven menikmati itu.
Sedangkan yang di sampingnya melihat kagum. Bagaimana bisa seorang punya kulit semanis itu, bahkan tanpa dirasakan pun terlihat manis? Hanya Heaven yang punya. Nanda kemudian tersenyum.
“Pertanyaan gua belum dijawab.” ucap Nanda memecah keheningan.
“Hmm.. ya kayanya karena lu mau bantu gue refreshing kan?” jawab Heaven sambil merubah posisinya menjadi miring—menghadap Nanda dengan bertumpu pada satu sikunya.
Nanda tersenyum mirik. Pandangnya kembali mengarah ke deburan ombak—tak merespon jawaban Heaven.
“Emang ada alesan lain?” tanya Heaven menyita atensi Nanda.
“Ada,“
Heaven memiringkan kepala, seperti bertanya 'apa?'.
“Gua mau nurutin lu karena gua mau ngomong sesuatu.“
Heaven yang mendengar itu pun beranjak dari posisinya. Kini ia terduduk sempurna sama seperti Nanda. Ia hanya takut tapi penasaran akan apa yang akan Nanda sampaikan.
“Huh?“
“Kalo soal jadi pacar lu. Sorry. Gue gak bisa, Nda.” tambahnya.
Nanda yang atensinya kembali direnggut Heaven pun kini mengarahkan pandangnya kembali menatap Heaven sepenuhnya. Tangannya dengan berani mengusap pelan bagian kepala hingga pipi laki-laki di sebelahnya.
“Bukan itu..
.. Gua juga tau lu gak akan bisa kalo yang itu,” ucapnya.
“Ini soal Bang Farrel.” tambahnya kemudian dihadiahi raut wajah Heaven yang langsung berubah 180°.
“Not this time, Nda.” katanya sambil kepalanya menoleh ke arah yang lain—membuat tangan Nanda terlepas dari pipinya.
“Hey, no..” kemudian Nanda kembali membawa Heaven agar menghadap ke arahnya lagi. “Look,” katanya.
Heaven masih juga acuh. Melihat ke arah laut seakan tak ada Nanda di depannya.
Satu, dua, tiga menit.
Heaven masih seperti itu.
Nanda yang tak bisa apa-apa pun akhirnya menghela nafasnya kasar, mengusap wajahnya dan menyigar surai tebalnya ke belakang—layaknya orang frustasi.
“Lu bahagia sama gua, Ven. Lu bisa bahagia sekarang. Tapi lu lebih bahagia kalo lu sama bang Farrel.“
“I can see it in your eyes. Everyone can see it in your eyes.” ucap Nanda tanpa ragu sambil.
Tatap Heaven yang semula terfokus pada laut lepas kini terjatuh ke bawah. Runtuh sudah pertahanannya.
Hiks..
“Hey...” panggil Nanda sambil memegang pundak Heaven.
“Tapi dia hiks makin kesini makin hiks susah dingertiin, Nda. Gue hiks juga bisa capek. Gue capek kalo gini terus,
Gue selalu jujur, gue selalu ini selalu itu sesuai kemauan dia. Tapi hiks seakan dia gak pernah puas akan hal itu. Gue selalu hiks aja salah di mata dia.
Gue hiks...“
Ucapannya berhenti jarena isakannya yang terus mencekat. Nanda pun membawa Heaven ke pelukannya, membiarkan Heaven membasahi kemejanya, dan tanpa menuntut apa yang akan Heaven ucapkan selanjutnya.
“It's okay..“
“I know..“
Ucapnya di setiap isakan yang Heaven gaungkan.
“Boleh gua ngomong sekarang?” tanya Nanda sambil mengusap punggung Heaven. Kemudian dapat ia rasakan anggukkan Heaven di dalam pelukannya.
Nanda menarik nafasnya dalam.
“Gua rasa waktu itu lu berdua lagi sama-sama capek, Ven. Lu capek dengan aktifitas lu, bang Farrel capek dengan aktifitasnya dia. Gua bukannya menggurui. Tapi banyak juga yang salah paham—bahkan salah ambil keputusan waktu mereka lagi capek..
..Kalo lu gak tau, capek bisa bikin emosi kita gak kekontrol. Bukti nyatanya itu elu. Lu seenaknya bilang putus, sedangkan Farrel secara gak langsung seenaknya marah-marah ke lu. Coba lu pikir lagi, lu berdua tuh salah disini.“
Isakan Heaven mulai mereda setelah mendengar penuturan Nanda.
“Iya kan? Gua bener gak?” tanya Nanda.
Heaven mengangguk ragu dalam pelukannya.
“Tapi—“
“Ven. Kalo lu berdua mau terbuka dan gak keras kepala, gak ada namanya beginian. Lu tuh dua-duanya capek, makannya jadi acak adul begini. Coba dah lu omongin lagi, face to face sama bang Farrel. I know everything is gonna be okay.” sela Nanda.
Kemudian Nanda membawa Heaven untuk melonggarkan pelukannya, membuat Heaven menatapnya.
“Lu udah ngerti kan sekarang masalah lu tuh dimana?” tanyanya lagi sambil mengusap bekas air mata yang menempel di pipi gembil Heaven.
Heaven mengangguk.
“Kenapa lu baik banget? Lu gak ngerasa gue dateng ke lu pas gue sedih doang?” tanya Heaven kali ini.
Nanda menggeleng, “Gua tau lu. Kita temenan gak setahun, dua tahun. Lagian gunanya gua disini apa kalo bukan jadi tempat bahagia, sedih, bahkan susahnya lu?” katanya.
“Soal lu jadi pacar gua. Gak usah dipikirin. Gua gak bakal bisa macarin lu sampe kapan pun karena gua gak mau kehilangan lu.” tambahnya.
Heaven mengangguk lagi dan lagi.
“Soal orang yang chat lu gak jelas, gimana?” tanya Nanda sambil menyisir helai rambut Heaven; yang terkena angin, ke belakang telinga pemiliknya.
Heaven menyodorkan handphonenya, “Lu katanya mau bales, nih.” katanya.
—
“Udah? Seneng kan?” tanya Nanda setelah menemani Heaven makan pop mie dan meminum milo hangatnya.
“LENGKAAAPPPP!” balasnya sambil mengacungkan jempol.
Sambil berjalan menuju mobil, keduanya berbincang ringan. Membicarakan kuliah, jadwal kelas, susahnya jadi anak FIKOM, susahnya jadi anak FT, dan sebagainya. Hingga keduanya berada dekat dengan posisi mobil Nanda terparkir.
“Eh eh, kemana lu?” tanya Nanda ketika melihat Heaven hendak membuka pintu mobilnya.
“Lah masuk mobil kan? Katanya pulang?“
Nanda kemudian menggelengkan kepala dan tersenyum.
“Lu pulang sendiri,“
“LU UDAH GILA KAH???” protes Heaven sedikit berteriak.
“GUE BELUM SELESAI NGOMONG.” balasnya tak kalah keras.
“Tuh. Udah ditunggu.” tambah Nanda sambil menunjuk ke sembarang arah dengan dagunya.
Heaven pun mengikuti arah dagu Nanda.
Kakinya lemas. Ingin jatuh dan berguling di atas pasir rasanya.
“Nda.. No.. W-what is this again?” tanyanya sambil melempar tatap memohon.
Ya, tentu saja memohon. Yang ditunjuk Nanda itu Farrel. Farrel berdiri di sana. Di bawah pohon kelapa, bersandar pada mobilnya, sambil tersenyum ke arah Heaven. Senyum andalan Heaven.
“Sana pulang. Dia udah nunggu dari tadi.“
Heaven menatapnya sekali lagi.
Sedangkan yang ditatap kini bersiap membuka pintu mobilnya dan hendak pergi dari sana sekarang juga.
“Iyaaaa buru sanaaaa!” ucap Nanda.
“Lu.. hati-hati. Makasih banyak buat hari ini.“
Kemudian Heaven pun berlari ke arah Farrel dengan perasaannya yang tak karuan. Sedangkan Nanda tersenyum lega kemudian meninggalkan pantai saat itu juga.