Hard 2 Face Reality

Jarum jam terus berdentum menemani kesunyian apartment Farrel tanpa kehadiran sang matahari, Heaven. Hingga tibalah jarum jam berhenti pada angka 9, waktunya Farrel menjemput mataharinya yang sedari pagi menyibukkan diri dengan kesibukan di kampus.

“Gue di depan gedung fakultas”

Itu pesan yang Farrel kirimkan saat ia sudah sampai tujuan.

“Hah?” balas Heaven dari seberang sana.

“Kok boleh parkir disitu?”

Pesan masuk lagi di handphone Farrel.

“Pak Darto gue sogok”

“Anjing”

“Gue udah deket”

Setelah mendapat pesan itu, Farrel menutup handphonenya kemudian mengedar pandang dari dalam mobilnya. Mencari dari mana arah Heaven akan muncul.

Saat melihat Heaven hampir dekat dengan posisi mobilnya terparkir, Farrel dengan cepat keluar dan mengitari mobil. Membukakan pintu mobil untuk yang lebih muda.

Sekali lagi, membukakan pintu mobil untuk yang lebih muda.

Heaven yang berjalan semakin dekat hanya bisa memasang wajah kikuk.

Saat sampai di depan Farrel Heaven bertanya, “Apaan sihh?” sambil terkekeh salah tingkah.

Masuk atau gue cium.

Heaven sudah tak kaget lagi dengan penuturan Farrel yang suka melantur itu. Maka dengan perlahan ia menaruh tas bawaannya ke kursi belakang dan mendudukkan diri di kursi sebelah kemudi.

Farrel tersenyum.

Udah nih. Mau sampe kapan lu disitu?” katanya kemudian Farrel langsung menutup pintu mobil dan kembali ke posisinya.

Kini mereka sudah keluar dari area kampus. Sambil mengutak-atik handphonenya, Heaven tiba-tiba bertanya.

Tumben bawa mobil?”

Karena hendak melintasi perempatan, Farrel lebih dulu memfokuskan pandangannya ke spion mobil.

Setelah melewati perempatan, Farrel baru merespon. “Biasanya kan juga bawa mobil, By.” katanya.

Lu suka Justin kan?” tanya Heaven berusaha menghilangkan atmosfir sunyi di dalam mobil.

Farrel hanya balas dengan anggukan.

Gue sambungin spotify ke sini ya?” tanya Heaven lagi, sambil menunjuk speaker mobil Farrel.

Iya, Sayaanggg.” balasnya namun tetap fokus dengan jalanan.

Gue lagi suka dengerin lagu ini.” ucap Heaven kemudian tak lama dari itu, lagu Hard 2 Face Reality milik Poo Bear ft Justin Bieber & Jay Eletronica merasuki gendang telinga.

Farrel tersenyum kecil.

Masih hendak menahan segala peluk, cium, berbagai afeksi yang ingin ia berikan pada Heaven saat ini. Mengingat keduanya masih berada di jalanan yang ramai, yang dimana dapat membahayakan keduanya bila Farrel melakukan itu sekarang.

Mengetahui sudah memasuki jalan dengan arus lancar dan tak terlalu ramai, Farrel mengarahkan tangannya ke depan Heaven.

Lagu yang terputar masih sama. Maka sambil mengikuti irama lagu, Heaven lagi-lagi kikuk. “Huh?

Siniin tanganmu.” perintah Farrel.

Heaven pun dengan ragu-ragu mengulurkan tangannya kemudian menaruhnya di atas uluran tangan Farrel. Tangan mungilnya tenggelam di antara tangan yang lebih besar dan berurat.

Dibawanya tangan Heaven untuk Farrel genggam sambil menyetir.

Gie, bahaya ah.” protes Heaven.

Semakin lo nolak semakin bahaya, Ven.

Heaven akhirnya diam.

Kemudian Farrel mengganti aksinya. Kini tangan mungil yang ada di genggamannya itu ia kecupi berkali-kali. Sambil tetap fokus pada jalanan di depannya, ia kecupi tangan mungil itu.

Augie..

Ini tujuan gue, Ven.” sela Farrel.

Gue bawa mobil supaya lo gak masuk angin. Gue gak mau lo sakit. Angin malem gak baik buat orang yang lagi kecapean. Dan soal pertanyaan lo di chat tadi—

Let's just forget about that, okay?” sela Heaven memasang raut wajah memohon.

Dengerin gue dulu ya? Mau?” tanya Farrel.

Setelah mendapat anggukan dari Heaven, Farrel mengarahkan mobilnya untuk ia bawa ke pinggir jalan. Hendak berhenti sejenak agar bisa berbicara dengan Heaven lebih leluasa.

Tanpa melepas genggaman tangannya, Farrel menatap Heaven lamat.

Gue bilang gini bukan berarti gue mau bikin lo down. Tapi gue cuma pengen bantu hilangin rasa penasaran yang mungkin bisa kapan aja menganggu dan menyiksa pikiran lo sendiri. Kalo lo ngerasa gue kelewatan ngomongnya, lo bilang ya?” ucap Farrel kemudian mengecup tangan mungil itu lagi.

Heaven pun mengangguk.

Rasanya punya figur papa yang ada di samping gue sedari kecil itu bahagianya bukan main. Gue bisa ngerasain apa aja yang mungkin gak bakal gue rasain ketika gue udah se-dewasa sekarang. And it's true. I feel it,

Mendengar penuturan singkat Farrel, kepala Heaven tertunduk.

Tapi gak punya figur papa yang ada sedari kita kecil bukan berarti kita gak bisa apa-apa, Heaven.” lanjut Farrel membuat kepala Heaven terangkat lagi.

Farrel menukik senyum, “Ada yang takdirnya tumbuh besar dengan orang tua yang lengkap, ada yang takdirnya tumbuh dengan cuma mama aja atau papa aja, atau bahkan ada yang takdirnya tumbuh tanpa kedua-duanya. Dan itu bukan suatu patokan buat menilai lemah atau gak nya seseorang. Sekarang gue tanya, apa yang bikin lo gak pernah nyerah bahkan sampe detik ini?” ucap Farrel.

Jujur gue gak tau. Yang selalu gue pegang cuma bayangan tentang Ayah yang mungkin bakal bangga liat gue disini gak pernah berhenti berjuang buat hidup gue dan adek-adek gue. Gue berkali-kali pengen nyerah, but I'm glad you're here. Selain karena Ayah, lu salah satu yang selalu ngeyakinin gue kalo semua bakal baik-baik aja selama gue berusaha.

Ditambah sekarang gue ketemu Ayah, yang gue kira udah gak ada selama belasan tahun. Ada sesuatu yang gue gak tau apa terus menyeruak di dalem gue, bikin gue seakan harus lebih maju dari pada gue yang sekarang. Semenjak gue ketemu Ayah.” tambahnya.

Farrel menukik senyum terbaiknya. Senyum yang selalu Heaven suka.

Kalo gitu, apa lagi yang masih mengusik pikiran lo?

Fakta tentang Ibu yang nyembunyiin semuanya, fakta tentang gue yang harus nerjang semuanya sendirian padahal seharusnya gue bisa lebih bebas kalo gue didampingi Ayah.

Farrel merapikan anak rambut Heaven ke belakang telinga pemiliknya. “Tapi lo pernah nyesel gak selama ini?” tanyanya.

Heaven reflek membalasnya dengan gelengan.

Gimana gue bisa mikir itu sedangkan gue mau gak mau harus menopang hidup 4 orang di pundak gue?

Kalo gitu berarti clear dong masalahnya? Ada dan tanpa Ayah lo bisa kan? Lo kuat kan?” ucap Farrel.

Heaven mengangguk.

Farrel merentangkan kedua tangannya. Siap menerima yang lebih mungil untuk berhambur dan bersandar pada dadanya sepenuhnya.

Sambil mendekatkan badannya ke pelukan Farrel, Heaven bergumam, “Lu emang paling bisa ya nenangin semua rasa penasaran yang bikin pikiran gue tersiksa?

Not really. I just do my best, I guess?” balas Farrel sambil tangannya masih setia mengusap punggung Heaven.

Lu pasti gak pernah sadar kalo pelukan lu ini..” sambil menunjuk dada Farrel dengan jari telunjuknya, “.. selalu bisa nenangin gue. Apapun masalah gue, sebesar apapun itu. Di berbagai kesempatan, yang gue butuh pasti pelukan lu.” ucapnya.

Farrel terkekeh.

Udah habis berapa lagu ya buat pelukan gini?” ledek Farrel karena Heaven tak kunjung melepas peluknya sedangkan lagu yang terdengar terus berputar.

Heaven hanya menggelengkan kepala dalam pelukan Farrel.

Don't ever think that reality is hard to face, karena kemana pun kita pergi, dimana pun kita ada, reality is always surrounding us. It's there. If we can't accept reality then we can't grow and to be better gonna be our next nightmare.