Selesai aja ya?

Tiga bulan sudah mereka lewati untuk menjalani hubungan sembunyi-sembunyi ini. Heaven rindu diantar-jemput, rindu ketika ia selalu dijadikan prioritas, dan rindu ketika Farrel dengan sepenuh hati memusatkan perhatian hanya padanya.

Apa dayanya sekarang tak lagi sama. Farrel mengingkari ucapannya soal “peraturan” yang katanya tak akan ia sangkut-pautkan di dalam hubungan sembunyi-sembunyi ini.

Maka, ketika Farrel mengajaknya pulang bersama. Heaven bahagia bukan main. Setelah 3 bulan baru bisa pulang bersama ya?

“Hai,” sapa Farrel ketika Heaven memasuki mobilnya.

Saat Farrel hendak memasangkan seat belt—seperti yang ia lakukan biasanya, tangannya ditepis pelan oleh yang lebih muda. “Aku bisa sendiri kok, makasih yaa.” katanya. Farrel awalnya memasang raut muka bingung, tapi akhirnya ia hanya mengangkat bahunya. Mobilnya pun ia jalankan.

Tak ada pembicaraan sama sekali padahal sudah terhitung 3 kali lampu merah.

“Ven?”

“Gie.”

“Kamu dulu aja,”

“Coat cokelatmu mana?” tanya Heaven tepat pada titik sasarnya.

Farrel menghela nafas.

“Kenapa malah sighing gitu?” tanya Heaven terkekeh.

“Kok diem? Gak mau ngomong nih ceritanya?” tanya Heaven lagi karena Farrel tak kunjung menjawab pertanyaannya.

“Udah deket sama apart. Ngobrolnya nanti aja ya? Aku capek bangettt.” balas Farrel tanpa beban mengalihkan pembicaraan mereka.

Heaven terkekeh tidak percaya.

“Selesai aja ya backstreetnya?” pinta Heaven.

Karena sudah memasuki area apartemen dan Farrel sedang sibuk dengan entrance card serta mencari parkir di basement, ia tak kunjung menjawab pinta sekaligus pertanyaan yang Heaven lontarkan.

Saat sudah menemukan parkir yang tepat dan mematikan mesin mobilnya, Farrel membuka seat beltnya kemudian menatap Heaven.

Hanya mentap saja, tak ada satu kata pun yang keluar dari ranumnya.

“Atau kamu mau selesai hubungannya juga gak apa-apa.” ucap Heaven kemudian keluar dari mobil lebih dulu.

Isi pikirannya sudah tak karuan. Ia sudah lelah karena pekerjaan, ditambah berita malam tak jelas yang beredar di base kampus soal coat milik kekasihnya.

“Ven!”

“Heaven berhenti!”

Pintanya tak dihiraukan, maka Farrel tanpa henti mengejar yang lebih muda. Heaven jalan begitu cepat, bahkan ketika menaiki lift, Heaven tak menunggu Farrel untuk masuk lebih dulu. Ia sudah terlampau lelah bukan main. Dari pada ucapannya semakin tak terkontrol, lebih baik ia tak melihat wajah Farrel. Setidaknya untuk malam ini.

“Ven, dengerin aku.” pinta Farrel sesaat setelah memasuki unit apartemennya.

“Aku tidur di sofa malem ini.” ucap Heaven. Tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya lagi, ia beranjak untuk membersihkan diri dan mendiamkan Farrel yang masih setia terpaku di depan pintu.