Farrel sakit

Sesaat setelah membaca pesan dari Heaven, Farrel dengan cepat membersihkan badannya kemudian menyeduh chamomile tea yang sempat Heaven beli beberapa hari lalu. Demi Tuhan, badannya terasa seperti mau remuk, kepalanya pusing, suhu tubuhnya memanas, bahkan sesekali diiringi dengan bersin-bersin.

Sakit menjadi ketakutan tersendiri bagi Farrel, ditambah Heaven pasti akan mengomelinya sepanjang hari. Tentang Gimana sih kok bisa sampe sakit? atau mungkin Makannya jangan es terossss, makan tuh juga yang bener yang akan terlontar dari ranum Heaven setiap kali Farrel sakit.

Kini waktu menunjukkan pukul 16.15 dan benar saja, Farrel mendengar suara pintu unit apartmentnya dibuka.

Farrel yang awalnya membuka mata sambil melamun kini pura-pura tertidur dengan selimut yang hampir menutupi seluruh badannya—sekaligus mencari afeksi, ingin diperhatikan Heaven.

Setelah 5 menit pura-pura terlelap, Farrel belum juga menemukan tanda-tanda Heaven memasuki kamarnya. Farrel mendecak kesal, “Lama amat gak masuk-masuk kamar, gumamnya.

Ceklek!

Panjang umur…

Farrel kembali dengan acara pura-pura tidurnya, sedangkan Heaven disana hanya mengintip, kepalanya menyembul ingin memastikan apakah Farrel benar-benar mengistirahatkan tubuhnya. “Segala sakit sih, Bang.” ucap Heaven.

Farrel memang laki-laki dengan ambisinya yang menggebu-gebu. Merasa Heaven terlalu lama di ambang pintu dan tak kunjung menghampirinya, ia pun memanggil Heaven. Tepat ketika Heaven akan menutup pintu kamar itu lagi.

Ven..” panggilnya dengan suara serak.

Pintu yang awalnya hampir tertutup pun terbuka kembali. Heaven kembali mengintip, siapa tahu ia salah dengar.

Ven. Sini.” pintanya.

Ngapain? Gue males deket-deket sama yang lagi sakit.” balas Heaven sarkas.

Farrel pun mencebikkan bibirnya. Selain tubuhnya yang sensitif ternyata suasana hatinya juga sama.

Setelah berkata demikian, Heaven sungguh beranjak dan menutup pintu kamar itu.

Farrel yang mengetahui itu berusaha tak memikirkannya terlalu berat, biar saja Heaven marah. Setidaknya hanya untuk sekarang.

Tak lama setelah itu, suara pintu kamar kembali dibuka terdengar lagi. Menampakkan Heaven dengan baskom yang Farrel duga berisi air hangat. Jangan lupakan kantong kresek di tangannya yang lain, yang Farrel duga berisi obat-obatan.

Heaven pun duduk di sebelah Farrel. “Geser!” katanya.

Heaven mulai memasukkan kemudian memeras handuk kecil yang akan ia gunakan untuk mengompres Farrel. Ia juga mengeluarkan beberapa obat yang baru saja ia beli di apotik, sebelumnya stok obat yang mereka punya masih banyak tapi Heaven rasa ada obat lain yang mungkin lebih manjur khasiatnya, makannya ia membeli obat lagi.

Sebelum menaruh perasan handuk ke dahi Farrel, Heaven terlebih dahulu memeriksa suhu tubuh Farrel dengan telapak tangannya. Sedangkan yang diperiksa memejamkan matanya perlahan sambil menikmati segala perawatan yang Heaven berikan, ini yang gue tunggu! batin Farrel menang.

Ngapain senyum-senyum?” protes Heaven. Senyum Farrel pun langsung memudar sedetik kemudian.

Ven..” panggil Farrel.

Tak ada balasan. Sebetulnya ingin memanggil lagi, tapi sumpah ia takut Heaven murka. Namun ia tak nyaman bila terus-terusan diam seperti ini.

Maaf.” akhirnya memberanikan diri untuk berucap lagi.

Yang diajak bicara kini malah menaruh perasan handuk ke dahi Farrel, tanpa membalas panggilan Farrel.

Ven, maaf. Gue—

Gak ada yang harus dipermasalahin. Orang juga gak ada yang mau sakit. Jadi mending lu diem, nurut aja sama apa yang gue kasih ke lu.” sela Heaven.

Farrel langsung terpaku. Heaven memang segalak itu ketika ia sakit, tapi galaknya amat sangat imbang dengan pedulinya. That’s the thing that makes Farrel fall deeper.

Sambil memilah obat yang ia beli sebelumnya, Farrel kembali menginterupsi, “Pengen gue cium tapi gue lagi sakit, ntar lo ketularan lagi.

Itu tau.” sahut Heaven singkat.

Setelah menemukan obat yang cocok dengan penyakit Farrel, alih-alih memberikan obat itu pada Farrel, Heaven justru menatapi Farrel dari kepala hingga kakinya. Hampir 1 menit Heaven seperti itu.

Farrel tersenyum, “Kenapa, Sayang? Hm?” tanyanya sambil mengubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada headboard kasur.

Kenapa?

Apanya yang kenapa?” tanya Farrel sambil tersenyum lagi. Kesayangannya itu mulai terlihat sedih dan khawatir kali ini.

Kenapa bisa sakit sih? Lu inget gak sih sidang lu tuh udah h-5? Gue yang takut tau, Gie. Jangan gini laahhh.

Lu habis ngapain? Dari mana?” tambahnya.

Farrel lagi-lagi menukik senyum.

Iya, maaf ya, bikin lo khawatir. Gue gak lupa kok kalo sidang udah h-5,” balasnya sambil mengusap lembut telapak tangan Heaven dengan ibu jarinya.

Sebenernya..

..gue habis kehujanan kemarin. Gue pulang ngampus malem kan, terus ujan dueresss banget. I had no clue, Sayang. Lo tau sendiri kan parkiran sama FT tuh sejauh apa?

Terus lu ujan-ujan gitu dari FT sampe parkiran?” sela Heaven. “Pinter.” tambahnya sambil melempar tatap sinis pada yang sedang sakit di sampingnya.

Hehehe…

Haha hehe lu. Udah pulang ngampus selalu larut, mikirin hafalan, mikirin sidang, ujan-ujanan lagi. Gue tau lu capek banget pasti malem itu, tapi kalo lu nekat terus kaya kemarin jatuhnya lu juga bakal sakit-sakit terus. Bukannya gue ngedoain yang jelek-jelek, tapi sekarang lu liat deh, cuacanya lagi gak nentu. Daya tahan tubuh tuh berasa lagi diuji. Jadi lu jangan sembarangan.

Farrel mencebikkan bibirnya, matanya berbinar dan terbuka semakin lebar. Bukan karena sedih tapi karena terharu, Heavennya se-perhatian itu dengan kesehatannya—padahal dirinya sendiri sering kali acuh.

Gue benci sakit. I wanna fucking hug you. Like right nowww.” ucapnya sambil merengek.

Minum dulu obatnya. Udah makan belum tadi?” tanya Heaven memastikan.

Udaaahhh, Sayang.” kemudian Heaven pun menyodorkan obat yang sudah ia pisahkan dari bungkusnya.

Cepet sembuh. Augie. Jangan sungkan minta tolong sama gue kalo lu butuh apa-apa. Maaf tadi gue sempet ngungkit sidang, padahal harusnya gak usah lah, anjing. Lu nya lagi sakit juga, malah bikin kepikiran.

Gue mau mandi.” ucap Heaven lagi kemudian hendak berdiri.

Ven, boleh cium?” interupsi Farrel.

Mendengar penuturan itu Heaven menghela nafas, “Cium kepalanya aja. Gue gak mau sakit juga,

nanti gak ada yang ngerawat lu.” katanya.

Farrel tersipu kemudian menarik lengan Heaven dan mencium pucuk kepalanya berkali-kali, “Thank you, Baby.