Did they gonna make it up?

13 Januari 2021, Pukul delapan hampir sembilan.

Bagai rembulan dikekang pagi, bagai matahari kehilangan cahaya, dan bagai air laut yang airnya surut. Jauh dan melepaskan Shailendra Yesaya adalah suatu ketidakmungkinan bagi seorang Abiyantaka Marko.

Hampir satu bulan Marko kehilangan kontak dengan yang tersayang. Shailendra sungguh hilang dan Marko hancur bukan kepalang.

Beribu cara dilakukan tapi Shailendra tetap Shailendra, sakit hati tetap sakit hati, dan pengkhianatan tetap pengkhianatan. Bahkan hewan pun tahu bagaimana sakitnya dikhianati.

Tepat pada hari ini, Marko kembali mengirimi Shailendra pesan. Bukan pesan singkat, itu lengkap hanya padat saja. Marko menanyakan ia sedang apa, apakah harinya bahagia, dan seterusnya.

Jika menjadi Shailendra, semua orang pasti tahu jawabannya. Tidak sedang apa-apa, harinya bahagia atau tidak tentu saja tidak. Mana ada yang bahagia sehabis diduakan?

Kemauan bulat Shailendra mencegat Marko untuk terus mengirimnya pesan. Marko tentu saja menuruti. Ia berpikir, ia bisa saja kehilangan Shailendra lebih cepat dari ini apabila ia melanjutkan mengirimkan pesan.

Sampai pada akhirnya Marko memilih jalan yang terakhir, Jeano. Marko jelas paham Jeano membencinya karena menjadi seorang bajingan. Tapi tak ada jalan keluar lagi selain yang satu ini. Jeanolah tumpuan harapan terakhirnya. Marko juga berpikir bila tak dibicarakan empat mata, bagaimana selesainya?

;

Sesampainya Jeano di rumah Shailendra, ia dengan cepat menyapa Bunda dari Shailendra kemudian berlari kecil menghampiri sobat yang katanya sedang mencari-cari dirinya. “Enjo, liat siapa yang dateng?” tanya Shailendra dengan raut muka yang tak kalah menggemaskan. “Yey Om dateng!!” Raut wajah Jeano seketika masam, “Kok om sih?” protesnya. “Enjo, Om Jean!!!” Bukannya menjawab, Shailendra malah mengalihkan perhatian. Kenzo yang diberitahu seperti itupun menendangkan kaki-kaki mungilnya ke udara, senang sekali ditengok Om Jean. “Widih bos kecil, ayo sini gendong” ucap Jeano sambil merentangkan kedua tangannya kemudian mengangkat tubuh mungil Kenzo untuk ia bawa dalam pelukannya. “Wuihh, berat banget anak Om. Banyak makan yaaa?” goda Jeano sambil mencubit ringan hidung bangir Kenzo. Kenzo tertawa. Namun bagai berada dalam semesta yang berbeda, Shailendra justru bungkam. Mengetahui buah hatinya kegirangan bermain dengan Jeano, membuatnya berdiam di belakang keduanya. “Kenapa rasanya lebih hancur? Marko, it should be you. It should be us right now.” batinnya. Seperti pada kuarter yang berbeda, Shailendra tak menyadari tirta bening telah meloloskan diri dari penjaranya yang paling indah. Mata dan kesedihan Shailendra tak punya tempat berdiam diri lagi; He cries. Jeano menoleh ke belakang. “Aku ke belakang dulu” ucap Shailendra sesaat setelah Jeano memergokinya, dengan cepat pula ia menyingkirkan air mata itu dengan kasar. “Biar gue yang ke depan,” potong Jeano. “Calm yourself down. Kenzo safe in my arms” tambahnya sambil berbisik kemudian beranjak dari tempatnya. Sebetulnya alasan Jeano ke depan bukanlah membawa Kenzo dan memberi Shailendra ruang, tapi lebih kepada karena ia sedang menunggu presensi dari seseorang.