Baru saja memijakkan diri pada gravitasi. Shailendra melempar satu pertanyaan penuh arti namun berduri.
“Kenapa?”
Marko kebingungan.
“Kenapa gimana? Didn't you want this to end?“
“Maksud kaka? Yang berakhir kitanya apa masalahnya?”
“Masalahnya, Sayang. Aku udah gak bisa lagi lebih lam—”
“Hussh hushh” potong Shailendra sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibirnya, meminta Marko bungkam.
“Yang pertama, fine aku minta maaf karena kesannya aku lari dari masalah,”
“Sayang..”
“Listen to me, Ka” sela Shailendra.
“Maaf. Tapi soal kaka gak bisa lebih lama kaya gini. Are you sure, Ka? Kalopun aku gak mergokin kaka, will you stop, Ka? Aku kira enggak”
“Maaf. Aku memang udah gak semenarik dulu, tapi kita bisa kan ka perbaikin bareng-bareng dulu? Validasi apa sih yang mau kaka dapet kok tega banget sampe selingkuhin aku?”
“Kita bukan bocah SMA lagi, Ka. Kita udah nikah, udah ada Kenzo, Ka. Aku.. Aku..”
Ucapan Shailendra terbata, tak terhitung berapa kali lagi ia harus menangis. Sungguh hatinya sakit memutar kejadian beberapa waktu lalu soal Marko.
“Sayang, aku minta maaf”
“Apa yang harus aku maafin dari kamu, Ka?”
“Maaf aku khilaf, aku—”
“Iya, Marko. I know. Tapi apa selingkuh itu satu-satunya cara yang kamu punya? Kemana larinya komunikasi yang sedari dulu kita jalin? Kenapa gak diomongin sih?” sela Shailendra.
“Aku udah tinggalin dia, Ca”
“Don't call me kamu, please. It feels like I'm too far to be hold by you” tambah Marko.
Shailendra tersenyum mirik.
“Gitu? Ya kaka ninggalin dia karena udah ketawan sama aku. Iya kan?” sahutnya. “Dan, you feel like you're too far to be hold by me? The one who creates the distance between us is you, Ka. Jangan meminta lebih”
“Eca, enggak gitu..”
“Maunya kaka apa?”
“Baikan” sahut Marko singkat.
“Kaka kira kita berdua ini masih pacaran hah?”
“I can't live without you, Ca”
“Apa yang mau kaka cari lagi dari aku? Bukannya aku udah gak bisa muasin hasrat kaka lagi? Bukannya aku udah gak kenceng lagi? Bukannya aku udah semakin tua dan gak mentingin penampilan lagi?”
“You free to go, Ka. Daripada balik tapi harus nahan malu karena masih sama aku” tambah Shailendra.
Dengan cepat, Marko berjalan ke arah Shailendra. Tak peduli berapa ribu tolakan yang akan ia terima, Shailendranya butuh didekap, dijauhkan dari kekejaman dunia.
Buk! Marko mendekap Shailendra paksa.
“Cry on my shoulder” pinta Marko sambil menahan tolak, pukul, dan tendangan dari Shailendra.
“Lepas, Ka.. Hiks..” ucapnya sambil melayangkan pukul pada bahu lebar Marko.
“Ssuut ssutt”
“Ada aku, Sayang. Ada aku” sahut Marko sambil mengusap sayang punggung Shailendra.
Shailendra rindu afeksi ini.
Hiks
Hiks
Hiks
;
Hampir sepuluh menit Shailendra berada dalam dekap hangat Marko, membanjiri helai tipis yang Marko gunakan. Terbentuk lingkaran besar dengan warna yang lebih gelap daripada warna kaos Marko yang sesungguhnya. Membuktikan bahwa Shailendra telah menangis sejadi-jadinya.
“Sudah?” tanya Marko, memberanikan diri bertanya pada Shailendra.
Ia pun merasakan anggukan dalam dekapannya, Shailendra sudah selesai menangis.
Jujur saja, sebetulnya Marko takut mendekap Shailendra terlalu lama seperti ini. Takut kesayangannya ini tak nyaman. Akhirnya Marko pun hendak melepaskan dekapannya. Kedua tangannya sedikit demi sedikit ia longgarkan.
Saat hendak melepaskan seutuhnya, tubuhnya justru ditarik kembali.
Shailendra menginginkan lebih.
Marko menukik senyum kemudian mendekap Shailendra lebih erat lagi. Bagai matahari di peluk awan pagi.
“Say something” pinta Shailendra untuk yang pertama kali.
Marko menghela nafasnya berat.
“Eca..” panggil Marko sambil memainkan surai kecoklatan milik Shailendra.
Shailendra berdeham, suaranya teredam dalam dekap Marko.
“If this is my last chance, let me—”
“I'm not letting you go, Ka. Stay here. Apapun yang terjadi,”
“Udah cukup ka sebulan belakangan aku tersiksa. Kaka tau kan kalo kaka ibarat nadi? Kalo kaka hilang, aku bisa mati” sela Shailendra sambil menggelengkan kepalanya di pundak Marko. Ia tak akan melepas Marko dan tak akan ada rumus “last chance” di antara mereka berdua.
There's always a chance for them.
“Should I stay?” tanya Marko memastikan kembali.
“Apapun yang terjadi, you should stay. Aku dan perasaanku gak akan bisa kemana-mana lagi, Ka. You locked them“
“Maaf, Sayang”
“Jangan diulangin, Ka. Kita bukan anak kecil lagi”
“Thank you, Sayang” sahut Marko kemudian mencari keberadaan dahi milik Shailendra. Mengecupnya seakan hari di dunia ini sisa satu hari.
Nyatanya cinta mereka layaknya nadi dan matahari. Bila salah satunya musnah, maka sisanya bukan musnah juga, melainkan luluh lantah.