Ayah Ibu, Pra izin menerima diri.
tw // family issues, divorced, and mentioning cheating.
Ketika Heaven meminta Farrel untuk menjalankan mobilnya, ia bersungguh-sungguh. Meski segala keabu-abuan dan ketakutan tengah menerkam zona nyamannya, tapi ia elak semuanya.
Rumah Ibu Heaven sudah bisa dipandang mata, sudah dekat sekali. Farrel kemudian menolehkan kepalanya dan mengambil tangan Heaven yang sibuk bergelut meremat ujung pakaiannya, “It's gonna be okay.” ucapnya kemudian mengecup tangan mungil itu.
Tok tok tok!
Seakan bukan pemilik rumah, Heaven mengetuk pintu itu 3x. kemudian dapat Farrel lihat tangannya gemetar.
“Sembunyi di belakang gue.” katanya kemudian menarik Heaven ke belakangnya.
Tak lama setelah itu, pintu rumah terbuka. Menampilkan sosok yang selalu Heaven banggakan, Heaven sayangi, dan Heaven hormati. Ibunya.
Tanpa berucap sepatah kata pun, Ibu Heaven hanya membukakan pintu kemudian kembali acuh. Bahkan tanpa ada ucapan silakan masuk.
Merasa terlalu lama menunggu untuk dipersilakan masuk, Farrel masuk lebih dulu. Tanpa permisi. Awalnya lengan bajunya ditarik Heaven tapi kemudian Farrel meyakinkan Heaven sekali lagi, akhirnya keduanya pun masuk dan duduk di kursi yang ada di ruang tersebut.
“Ibu-“
Belum selesai bicara, ucapan Heaven disela.
“Siapa ini?” tanyanya ketus.
Heaven terdiam.
“Saya Farrel, Ibu. Pacarnya Heaven.” sahut Farrel sambil menjulurkan tangannya, hendak bersalaman dengan Ibu Heaven.
Namun bukannya membalas uluran tangan Farrel, Ibu Heaven justru tersenyum mirik dan berdecih, “Tidak tahu malu.” katanya. Sedangkan Farrel balas dengan kekehan pelan kemudian menurunkan tangannya. Kalo bukan gara-gara Heaven juga gue gak mau, batinnya.
Heaven yang awalnya terdiam kini kepalanya semakin tertunduk ke bawah. Ciut ia dibuat oleh Ibunya.
“Dimana Ayahnya, Bu?” dengan berani Farrel buka suara.
Bertepatan dengan pertanyaan yang dilontarkan Farrel, terdengar suara sepeda motor dimatikan tepat di halaman rumah itu.
“Permisi..” ucap Ayah Heaven sambil kepalanya mengintip pintu rumah yang terbuka lebar. Mata sang Ayah berbinar melihat anak sulungnya mendongak dengan tatap yang tak dapat ia percaya bahwa itu nyata.
Heaven beranjak dari duduknya kemudian mendekap Ayahnya erat.
“Pra... sudah sebegini besarnya kamu, Nak..” kata Ayahnya.
Heaven menangis sejadinya dalam pelukan Ayahnya. Tak menyia-nyiakan sedikit pun waktu untuk meluapkan segala kerinduan yang sedari lama mengganggunya.
“Heaven, salah. Maksudnya Pra. Pra, kangen banget sama Ayah. Pra kangen disayang sama Ayah.” ucapnya.
“Duduk yuk? Kita bicarakan. Ayah nggak kemana-mana, Pra.“
Kemudian Heaven menuruti Ayahnya.
Kini di ruangan itu sudah terduduk Ayah, Ibu, Heaven juga Farrel.
“Mana anak-anakku yang lain?” tanya sang Ayah.
Ibu Heaven pun menatapnya sinis, “Saya titipkan ke rumah Budhenya. Tidak sudi mempertemukan anak saya dengan kamu.” katanya.
Ayah Heaven terkekeh, namun kekehannya dapat didengar oleh semua yang ada di ruangan itu.
“Anakmu dengan selingkuhan-selingkuhanmu, maksudmu?” balas sang Ayah tanpa ragu.
Tatapan Ibu Heaven semakin berapi-api. Siap menerjang dan memerangi sang Ayah sekarang juga.
Heaven mendongak, Menatap sang Ibu nanar sambil menuntut penjelasan.
“Bener kaya gitu, Ibu?” tanyanya.
“Kamu percaya sama dia, Mas?“
Heaven yang mendengar itu pun memberanikan diri menegakkan kembali pundaknya, menengadahkan kepalanya, siap dengan apapun yang akan keluar dari mulutnya.
“Memang apa yang bikin Pra harus gak percaya sama Ayah? Coba Ibu sebut alasannya.“
Ibu Heaven terpaku.
Heaven terkekeh tidak percaya setelah mengetahui reaksi Ibunya.
“Pra gadang-gadang Ibu. Pra perlakuin Ibu kaya ratu. Semua uang Pra Pra kasih ke Ibu tapi ini kah yang Pra dapet? Ibu bohongin Pra, Bu?“
Farrel sedari tadi masih bungkam. Membiarkan Heaven mengeluarkan seluruh isi kepalanya. Farrel berjanji dengan dirinya sendiri, ia akan angkat bicara jika Heaven tak lagi kuat dengan opininya.
“Om, sebelumnya maaf saya menyela. Nama saya Farrel, Om. Saya pacarnya Heaven. Saya cuma kasih saran, tentu boleh dilakukan boleh ditolak. Menurut saya, supaya masalahnya gak terlalu berbelit-belit, Om bisa langsung ngomong soal itu gak ya? Kasihan Heaven, Om..” ucap Farrel menyita atensi tiga orang yang sedang bergelut dengan pikirannya masing-masing.
Sang Ayah tersenyum mendengar permintaan Farrel.
“Saya turuti tapi Pra janji setelah ini Pra jangan sedih, deal?” balas sang Ayah sambil menatap Heaven.
Heaven mau tak mau mengangguk pasrah.
“Ibumu-“
“Berhenti, Mahendra!” sela sang Ibu.
“MAU SAMPE KAPAN, IBU???” sela Heaven juga. Nada bicaranya tak kalah tinggi.
“Ssssttt. Hey. hey. Udah. Duduk dulu ya?” ucap Farrel menahan tangan Heaven. membuatnya kembali duduk, merangkul pundak sekaligus mengecup kepala yang lebih muda.
Farrel menoleh kemudian tatapannya dibalas oleh Ayah Heaven, Farrel pun mengangguk. Seakan mempersilakan Ayah Heaven untuk melanjutkan ucapannya.
“Pra..
.. Ayah bahkan nggak pernah kecelakaan, apa lagi meninggal. Ayah selalu disini, cuma Ayah belum berani untuk menampakkan diri di depan anak-anak Ayah. Yang menguasai pikiran Ayah cuma kalimat-kalimat kutukan dari Ibumu yang membuat langkah Ayah seakan-akan dihalangi.
Sewaktu Pra dan Hera masih kecil, seumur anak TK. Ibumu selingkuh. Ibu jarang sekali pulang ke rumah. Hingga pada klimaksnya, Ibu pulang dengan perut yang sudah membesar. Lebih parahnya, itu terjadi hingga dua kali.“
“M-maksud Ayah..?” sela Heaven.
“Iya. Hugo dan Haina itu bukan anak kandung Ayah.“
“Demi Tuhan, Ayah nggak pernah sekalipun selingkuh apalagi meninggalkan Pra, Adik-adikmu, dan Ibumu. Entah apa yang merasuki pikiran Ibumu sampai-sampai memutar fakta sehingga membuat Ayah dikucilkan, dibenci, bahkan dianggap sudah mati oleh darah daging Ayah sendiri.“
“Pra-“
“Maaf, Om, saya sela lagi. Berhenti ya, Om? Heaven hampir sesak, bahaya, Om, kalau dilanjutkan.” ucap Farrel.
“Saya bukannya mau merebut hak Om dan Ibu sebagai orang tua Heaven. Tapi disini saya mau meluruskan. Ibu, mulai sekarang kalau ada apa-apa, butuh uang, hubungi saya..” ucapnya sambil menyerahkan potongan kertas dengan nomornya yang sudah tertera disana. “.. Jangan hubungi Heaven karena sejatinya Heaven statusnya masih anak Ibu dan Om, yang dimana seharusnya yang meminta uang itu Heaven. Apalagi dia masih kuliah sekarang. Heaven kuliah aja udah banyak pikiran, belum lagi ditambah mikirin keuangan keluarga dan sebagainya.“
“Saya ngomong gini bukan berarti saya sombong dan merasa kaya. Tapi saya mau bantu Om dan Ibu. Bantu Heaven juga. Jadi, Heaven gak perlu repot-repot kerja serabutan lagi.” tambahnya.
Tidak ada jawaban. Maka Farrel anggap semuanya selesai. Yang Farrel cari hanyalah kebeneran dari Ayahnya Heaven dan penawaran untuk Ibunya Heaven. Sisanya, ia hanya menuruti saja kemauan kesayangannya untuk bertemu sang Ayah.
“Sayang, mau pulang sekarang?” tanya Farrel kemudian mendapat anggukan kecil dari Heaven.
“Ibu, Om. Saya pamit.” ucap Farrel sambil menggandeng tangan Heaven.
“Saya juga pamit pulang. Makasih, Ran. Salam buat anak-anak. Kalau kamu masih punya hati nurani, kamu nggak bakal tutup-tutupi lagi fakta soal saya—Ayahnya anak-anak, ini masih hidup.“
Pembicaraan di ruangan itu terpaksa berhenti demi mementingkan kenyamanan bersama khususnya Heaven. Ibu Heaven bahkan tak lagi buka suara, yang mana semua yang diucapkan Ayahnya adalah benar adanya.
Kemudian Ayahnya, Heaven, dan Farrel kini berjalan keluar hendak meninggalkan rumah itu. Hingga akhirnya ayah Heaven bertanya, “Pra, mau ikut Ayah?“
Heaven menatap Farrel lamat, kemudian berganti menatap Ayahnya. “Ayah, maaf ya?” katanya. Farrel pun tak menyangka jika Heaven akan memilih dirinya.
“Nggak apa-apa. Ayah tahu. Ayah juga pernah muda dan jatuh cinta.“
Sambil berjalan ke arah sang Ayah, Heaven berucap, “Farrel itu hidupnya, Pra, Ayah.” katanya sambil tersenyum menatap Ayahnya.
“Ayah selalu disini, Pra. Hubungi Ayah kapan pun Pra mau.“
“Hati-hati di jalan, Ayah.“
“Hati-hati di jalan, putra sulung Ayah.” ucap sang Ayah sambil menegakkan pundak anak sulungnya.
“Pra..” panggil sang Ayah lagi.
“Iya, Ayah?“
“Pura-pura itu memang hal yang tercela, tapi bagi pribadi tertentu, pura-pura itu suatu usaha untuk bergerak, terlebih ketika pura-pura tertawa. Pra, menangis bukan larangan. Menangis yang banyak selama Pra masih bisa keluarkan air mata. Karena menangis bukan berarti Pra kehilangan diri, tapi menangis berarti Pra berani mencoba menerima diri. Ayah pulang duluan ya?“
“Sekali lagi, hati-hati di jalan, Heaven putra sulung Ayah.“